“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”. (QS. At-Tahrim: 6)
Kisah nyata ini, terjadi di
sebuah komunitas ilmu dan dakwah. Yang mana ada seorang istri dari mereka yang
sudah menikah bertahun-tahun, namun belum bisa membaca surat Al-Fatihah. Bukan
hanya tidak mengenal tajwid, Al-Fatihah yang tanpanya sholat tidak syah,
ia tidak hafal dan terbata-bata membacanya.
Padahal konon sang suami
adalah seorang kandidat doktor ilmu agama. Pemahaman dan komitmen dakwahnya
juga tidak diragukan. Entah karena terlalu rajin menulis desertasi atau sibuk
berdakwah, musibah itu benar-benar terjadi dalam keluarganya.
Realita itu baru terungkap
saat di komunitas mereka diadakan halaqah tahfizh Al-Qur’an bagi para
istri. Dari sinilah terpaksa pimpinan komunitas tersebut menetapkan kurikulum khusus
yang wajib diajarkan kepada para istri, disertai mekanisme evaluasi atau ujian
secara periodik dan berkala. Jika salah seorang istri tidak lulus, maka ada
konsekuensi khusus untuk suaminya.
Itu baru satu kisah. Ada
banyak cerita yang lain tentang para aktivis dan da’i, yang mungkin karena
terlalu sibuk berdakwah di masyarakat, terlalu banyak amanah di organisasi, ia
lupa mendakwahi dan mengajari ilmu orang terdekatnya: istrinya sendiri. Ironis
memang, tapi itulah faktanya.
Seperti seorang istri yang
mengeluhkan suaminya yang tidak pernah ada di rumah. Dari pagi hingga siang
bekerja di luar. Baru pulang sebentar, sorenya sudah pergi lagi hingga larut
malam. Alih-alih mau membantu kerjaan istri, saat ada sedikit waktu di rumah,
ia memilih khusyu’ di depan laptop atau gadget. “Afwan Mih, Abi
lagi banyak amanah nih!”, begitu jawabnya ketika ditanya.
Ada lagi yang sudah lama
memendam sebel kepada suaminya, yang sepanjang pekan tak pernah ada waktu untuk
keluarga. Senin sampai Jum’at sibuk bekerja. Sabtunya adalah jadwal rutin untuk
liqo, rapat dan ngisi kajian umum. Hari Ahad yang tersisa, lebih sering
terpakai untuk hadir kondangan, seminar, daurah, tabligh akbar, atau
acara insidental yang lain.
Atau ada juga yang gundah
tentang suaminya yang penghafal Al-Qur’an, namun sepanjang usia pernikahannya,
belum pernah diajak tadarus bareng. Jangankan tahsin berdua atau
saling menyimak hafalan, sang suami yang sering menjadi imam qiyamullail di
berbagai acara dakwah itu, hampir tak pernah menjadi imamnya saat tahajud di
rumah.
Beda lagi yang terhimpit
masalah ekonomi. Saat suaminya yang belum mapan terlalu sering bepergian, tanpa
meninggalkan uang pegangan. Mau berangkat khuruj katanya. Awalnya cuma
sepekan. Lalu bertambah sebulan, kemudian menjadi berbulan-bulan. Hingga sang
istri pun menanggung malu karena harus menjadi beban bagi kerabat dan tetangga.
Tentu alasannya adalah perjuangan. Namun ceritanya akan lain, jika semua diatur
dan disiapkan.
Lebih parah dari itu, cerita
tentang seorang istri pendakwah ternama yang terjerumus dosa. Pesona keilmuan sang
suami ternyata hanya benderang di depan para mad’u-nya, namun
meredup dalam kehidupan berkeluarga. Ia tak pernah dinasehati, diajak
berdiskusi, apalagi belajar mengaji. Walhasil, bukan hanya pakaian dan cara
berhias yang jauh dari kriteria agama, sang istri pun terlibat perselingkuhan
dengan teman lama. Wal ‘iyadzu billah.
Itulah beberapa cuplik
cerita dari fenomena yang ada. Para istri aktivis itu, jika bukan karena rasa
malu, mungkin mereka akan pasang status besar-besar, “Aku juga butuh ilmumu!”.
Atau membentang spanduk lebar-lebar, “Aku juga butuh dakwahmu!”. Yang
lebih ekstrim, mereka akan menyalahkan dakwah dan berteriak keras-keras, “Wahai
dakwah, jangan rebut suamiku!”.
Sayangnya, sering para suami
hanya bisa menjawab jeritan hati para istri tersebut dengan satu kata: sibuk.
Padahal Rasulullah 'alaihis sholatu wassalam sebagai qudwah utama
para aktivis, di tengah kesibukannya sebagai Nabi, pemimpin negara, bahkan
panglima perang sekalipun, ia tetap meluangkan waktu untuk mentarbiyah dan
mendakwahi istri-istrinya. Para ummahatul mukminin itu, tidak hanya
kebanjiran hormat, namun juga berkelimpahan ilmu dan nasehat.
Banyak sekali fragmen tarbiyah Rasul 'alaihis sholatu wassalam untuk mereka. Seperti
Aisyah binti Abi Bakar radhiyallahu ‘anhuma, yang tidak hanya sekedar
menjadi zaujah bagi Rasulullah, tetapi juga sebagai murid utama dan
tersetia. Dia merasakan betul “ada bedanya” menjadi istri seorang pendakwah,
karena sang suami sangat giat mengajarinya berbagai disiplin ilmu seperti
akhlak, aqidah, fiqih, faraidh, dan tafsir.
Hingga Aisyah pun menjadi sosok perempuan Islam yang
paling faqih, yang menjadi rujukan keilmuan para sahabat pada waktu itu,
sebagaimana yang dikatakan oleh Atho’ bin Abi Rabbah radhiyallahu ‘anhu,
“Aisyah adalah manusia yang paling paham dengan agama, paling berilmu dan
paling baik pendapatnya”.
Aisyah juga menjadi sumber utama periwayatan hadits,
tercatat sebanyak 2210 hadits telah diriwayatkan oleh para sahabat dari Aisyah.
Hingga Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Tidaklah kami
mendapatkan suatu masalah tentang hadits, lalu kami datang dan bertanya kepada
Aisyah, kecuali pasti kami mendapatkan jawabannya”.
Takdirnya sebagai perempuan, tak menghalanginya
berkiprah dalam kancah ilmiah. Hingga dari didikan Aisyah telah lahir para imam
dan ulama terkemuka dari kalangan Tabi’in seperti: ‘Urwah bin Zubair,
Masruq bin Ajda’, dan Qosim bin Muhammad, yang menimba ilmu dari Aisyah di
balik hijab di Masjid Nabawi.
Saat sang istri berbuat kesalahan, Rasulullah ‘alaihis
sholatu wassalam juga tidak segan dan bosan untuk mengingatkan. Tentunya dengan
kelemah-lembutan. Seperti suatu hari ketika Aisyah membeli kain penutup yang
bergambar makhluk hidup. Sebagai pengingkaran, Rasulullah tidak jadi masuk dan berdiri
di depan pintu.
Saat itu Rasulullah hanya terdiam dan menampakkan
ekspresi tak suka. Aisyah pun merasa bersalah dan berkata, “Wahai Rasululullah,
aku bertaubat kepada Alloh dan Rasul-Nya, apa salahku?”. Maka Rasulullah ‘alaihis
sholatu wassalam bertanya dengan lembut tentang kain bergambar itu. Aisyah pun
menjelaskan semampunya.
Hingga Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam bersabda,
“Sesungguhnya para pembuat gambar ini akan diadzab di hari kiamat. Akan
dikatakan kepada mereka: hidupkanlah apa yang telah kalian buat!”. Lalu
Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam melanjutkan, “Sesungguhnya rumah
yang terpajang di dalamnya gambar mahluk hidup, tidak akan dimasuki Malaikat”
(HR. Imam Bukhari).
Lain lagi para aktivis yang pandai berkilah. Saat
dikritisi tentang istrinya yang bertolak belakang dengan apa yang
diperjuangkan, cepat-cepat berapologi dengan kisah Nabi Nuh dan Nabi Luth ‘alaihimassalam.
Alih-alih melakukan evaluasi dan introspeksi diri, mereka seperti terhibur dengan
kekufuran para istri utusan Alloh itu.
Padahal di belakang cerita pengkhianatan mereka berdua,
ada sejarah panjang ratusan tahun kegigihan dan kesabaran Nabi Nuh dan Nabi
Luth dalam mendakwahi keluarga. Apalagi para Ulama bersepakat, bahwa pengkhianatan
dan kekufuran keduanya bukan dalam baghyu dan fahisyah.
Allah ta’ala telah mengingatkan para suami untuk serius menjaga
istrinya dari siksa neraka. Bahkan sebagai penekanan, deskripsi tentang dahsyatnya
neraka begitu jelas disini, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan” (QS. At-Tahrim: 6).
Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam juga telah
mewanti-wanti, “Sesungguhnya Alloh akan bertanya kepada setiap pemimpin
tentang yang dipimpinnya, apakah ia menjaganya atau menterlantarkannya. Hingga
Alloh akan bertanya kepada para lelaki tentang istrinya”. (HR. Ibnu
Hibban).
Meluangkan waktu untuk mentarbiyah istri menjadi
sangat penting lagi, jika para suami menyadari bahwa itu bukan sekedar
kewajiban, namun kebutuhan yang sulit tergantikan. Karena para istri adalah al-madrasah
al-ula (sekolah yang pertama) bagi anak-anak. Hasil didik macam apa yang
akan lahir jika sekolahnya tak terawat bahkan rusak?
Cerita-cerita ironis di awal
tadi mungkin hanya secuil fenomena yang menggejala. Semoga yang terjadi pada
sebagian besar keluarga dakwah tidak demikian adanya. Seorang aktivis sejati
tentu memahami bahwa istrinya adalah objek dakwah yang utama. Ia sadar betul
bahwa tahapan dakwah kedua setelah memperbaiki diri sendiri (islahun nafs) adalah
membina keluarga yang Islami (takwin bait muslim), bukan yang lainnya.
:: Artikel ini ditulis untuk situs dakwah www.manhajuna.com
0 komentar:
Posting Komentar