Selasa, 21 Desember 2010

KULIAH VS NIKAH

Cerita ini berawal dari realita bahwa kelima anggota halaqah saya ternyata bujang semua. Mereka adalah mahasiswa Madinah yang sedang menghadapi masa-masa genting pencarian dan penantian. Sangat mendesak untuk menyampaikan materi baitul muslim kepada mereka. Sayang, sebagai Murobbi, saya bukan orang yang pantas menyampaikan materi itu. Apalagi kalau bukan karena status marital saya yang tidak berbeda dengan mereka. Berkali-kali saya menyinggung tentang masalah ini, selalu saja mereka menjawab, "Ah, omdo! Omong doang..". Terpaksa saya harus menghadirkan muwajjih khusus yang bisa membahas tentang pernikahan dan serba-serbinya.

Singkat cerita, akhirnya tiga orang Ustadz bersedia memberikan wejangan khusus kepada kami. Mereka adalah Ust. Asfuri Bahri, Lc (Staf BPK Pusat), Ust. Fahmi Rusydi, Lc (Ma'had Al Hikmah Bangka) dan Ust. Asril Abdullah, Lc (Pengasuh PP Husnul Khatimah)  Kebetulan ketiganya sedang mengikuti diklat yang diselenggarakan Rabitah Alam Islami di Mekkah. Yang pasti beliau-beliau sudah menikah dan punya anak, jadi nggak bakal ada lagi  cletukan "NATO, no action talking only" seperti biasa.

Di restoran Ma'azim, pada pinggiran kota Madinah yang bergaya lesehan, dauroh singkat tentang nikah itu dilaksanakan. Setelah menikmati nasi Bukhori dan ayam panggang, kemudian mendengarkan tilawah dari seorang di antara kami, saya sebagai moderator langsung memulai obrolan dan mempersilakan para Asatidz untuk mulai berbicara. Ustadz Asfuri dengan gayanya yang kalem memberikan motivasi menikah kepada kami. Ustadz Fahmi bercerita tentang masa lalunya ketika menjadi sekjen KAMMI Pusat periode pertama. Bagaimana antara Ikhwan dan Akhwat pada waktu itu begitu terhijab, bahkan menikah satu atap organisasi masih menjadi suatu hal yang tabu. Sedangkan Ustadz Asril menyampaikan tentang etika pergaulan dengan lawan jenis dan serba-serbi kehidupan berkeluarga.

Yang sangat menarik adalah ketika Ustadz Asfuri bercerita tentang proses pernikahannya dulu, sewaktu masih menjadi mahasiswa LIPIA Jakarta. Betapa miskinnya beliau pada saat itu. Bagaimana beliau menikah hanya bermodalkan sebuah Hadits Rasulullah SAW, bahwa ada tiga golongan manusia yang dijamin pasti akan ditolong Allah. Salah satunya adalah seorang pemuda yang menikah untuk menjaga keselamatan agamanya. Menurut beliau, esensi 'ubudiyah menikah adalah ketawakalan yang tinggi kepada Allah ta'ala. Memang sangat spekulatif, tapi dalam spekulasi itu ada kenikmatan yang luar biasa yang lahir dari rasa harap kepada Sang Maha Penolong.

Dan memang benar, soal menikah sulit terlogika dengan akal manusia. Secara nalar setelah menikah beban kehidupan seorang hamba akan bertambah. Namun yang tidak disadari, ternyata Allah juga menambahkan kekuatan kepada hamba tersebut untuk mampu memikul bebannya. "Jika mereka miskin, maka Allah akan menjadikan mereka kaya..", begitulah termaktub dalam Al Qur'an. Saya sendiri, meskipun belum merasakan langsung, menyaksikan bagaimana teman-teman mahasiswa Madinah membuktikannya.

Sebut saja namanya Asman. Mahasiswa fakultas Hadits ini menikah sejak tingkat dua. Istrinya ditinggal di Indonesia. Kini sudah dikaruniai seorang putri. Setiap menerima tunjangan beasiswa, ia harus membaginya menjadi dua, sebagian buat hidup selama sebulan dan sebagian yang lain harus dikirim ke Indonesia. Namun dengan beban keluarga tersebut tidak menjadikannya lemah dalam belajar. Ia pernah bercerita bahwa IPK-nya terus meningkat sejak ia menikah, meski beberapa waktu kosong harus ia isi dengan mencari nafkah. Kontribusinya dalam dakwah juga diakui teman-teman. Ia tetap aktif berkarya, menulis, menterjemah dan bahkan menjadi striker bola tim nasional kami. Wajahnya tenang, teduh dan tetap ceria.

Saya pernah mendapatkan jawaban yang tidak terbantahkan darinya soal menikah. Waktu itu ketika mahasiswa asal Garut ini memotivasi saya, saya beralasan ingin fokus studi dulu, S2, S3 dan seterusnya. Kemudian ia balik bertanya, "Antum masih kuat menahan tidak? Masih bisa menjaga pandangan? Kesucian diri?" Saya pun menjawab, "Sulit!". Asman kembali menimpali dengan sebuah kaidah, "Akhi, daf'ul mafasid muqoddam 'ala jalbil masholih". Bahwa menghindari kemafsadatan itu harus didahulukan daripada mencari kemaslahatan.

Betul juga kata Asman. Khayalan yang tidak halal dan pandangan yang tidak terjaga itu adalah mafsadat. Apalagi kalau sudah terjerumus kepada pacaran, konsumsi pornografi, onani dan penyakit bujang lainnya. Sedangkan belajar, S2, S3 dan status sosial, itu semua adalah maslahah. Jadi menikah untuk menahan mafsadat tersebut tadi harus menjadi prioritas, dibanding sekedar menggapai maslahat yang tidak darurat. Memang betul, yang sudah menikah sebagian waktunya tersita untuk mengurusi keluarga. Tapi coba hitung, berapa waktu yang dibuang para bujang untuk melamun, berimajinasi, chatingan, fesbukan, colek sana-sini, HTS-an atau abi-umian? Sedangkan yang pertama berpahala dan yang kedua mengarah ke dosa? (Deg! Kena banget Coy..).

Bahkan sebenarnya antara nikah dan studi tidak perlu dibenturkan. Semua bisa berjalan saling beriringan. Faruq Azad telah membuktikannya. Mahasiswa asal India ini adalah teman sekelas saya di fakultas Syari'ah semester kedua. Waktu itu ketika masuk kelas pertama kali kami membawa daftar mata kuliah yang tertulis di atasnya IP semester pertama. Saya yang saat itu duduk di sebelahnya mengintip berapa IP yang diraihnya. Luar biasa, 4.98, Hampir sempurna! Kemudian iseng saya bertanya kepadanya, "Antum sudah menikah?" Faruq menjawab, "Sudah". Lalu ia balik bertanya berapa nilai saya. Saya pun menjawab, "4.86". Kemudian setelah dia tahu nilai saya tidak lebih tinggi darinya dan ternyata saya belum menikah, dia pun berkata, "Miskin Anta!" yang artinya, kacian deh luuu… 

Ada lagi, Abdul Latif panggilannya. Ia adalah tetangga kamar saya, asal Yaman. Ia sudah menikah dengan satu anak. Namun kemampuan ilmiyahnya membuat mulut semua orang ternganga. Ia peraih IP lima. Sempurna! Ia juga hafal Alqur'an 30 juz. Bahkan ia juga menguasai qiro'ah sab'ah. Ia pun hafal ratusan Hadits dan Syair Arab. Tahun kemarin ia menjadi perwakilan kampus dalam ajang mahasiswa nasional. Orangnya sangat ramah, tenang, dewasa dan berwibawa. Saya sering memintanya privat khusus dalam I'rab Nahwu dan ilmu Mawaris.

Begitulah, tugas belajar tidak menghalangi langkah mereka untuk menggenapkan separuh agama. Bagi mereka menikah bukan sekedar melaksanakan sunnah, tapi menikah adalah proyek besar membangun peradaban umat: turut serta melahirkan generasi robbani. Pernikahan yang barokah, akan menghasilkan lompatan-lompatan fantastis dalam hidup seseorang. Secara kedewasaan, spiritual, finansial, performa lahir, dan banyak hal lain. Bahkan teman saya bilang, dengan menikah kemudian berpisah, bisa menjadi kenangan tersendiri bagi kehidupan suami istri dan menambah harumnya bumbu romantika berkeluarga.

Kembali kepada dauroh kami tadi. Setelah mendapatkan motivasi menikah dari Ustadz Asfuri, terlihat teman-teman tambah bersemangat dan semakin antuzias mengikuti obrolan. Termasuk saya sendiri. Pandangan saya menerawang jauh, membayangkan rangkaian moment spesial itu. Mengkhayal saat-saat nadhor, ta'aruf, khitbah, akad, malam pertama, honeymoon, program pacaran, punya anak, so sweet.. (lebay.com).

Namun tiba-tiba para Ustadz kembali melanjutkan uraian yang membuat kami semua kaget. Khusus kami para penuntut ilmu, yang sudah dinantikan umat di Indonesia, mereka bertiga sangat menyarankan kalau bisa jangan buru-buru nikah dulu. Menunda sebentar sampai selesai S3 ada baiknya. Kata mereka, nanti kalau sudah menikah kami tidak akan bisa fokus lagi belajar. Apa lagi kalau sudah punya anak. Kebutuhan biologis, kasih sayang, materi, susu bayi, masalah dengan mertua, dan seterusnya, akan banyak menyita perhatian dan tenaga. Apalagi kalau harus melanjutkan S2 ke pelosok Sudan, Libia atau Pakistan, mau bawa istri? Glek! Tubuh kami yang sejak tadi sudah melangit karena motivasi, tiba-tiba saja jatuh kembali ke bumi. Kok jadi begini endingnya?!

Yah, sebenarnya nasehat tambahan Ustadz di atas ada betulnya. Bagi sebagian orang, menikah sambil kuliah ternyata menimbulkan banyak masalah. Apalagi bagi para mahasiswa S1 di Madinah, yang belum boleh membawa serta istri. Dosen kami di kelas pernah bilang, "imma an tu'adzdzibaha au tu'adzdzibaka". Kalau tadi adalah kisah suksesnya, coba simak kisah sedihnya berikut ini.

Sebut saja namanya Usman (bukan nama sebenarnya). Mahasiswa asal Bandung ini menikah pada liburan musim panas pertama, yaitu masuk tahun kedua kuliah. Awalnya Usman terkenal sebagai mahasiswa yang rajin. Selalu datang ke kelas paling awal dan duduk paling depan. Ia juga aktif mengikuti kajian para Masyayikh di Masjid Nabawi. Namun setelah menikah, teman-temannya merasakan perubahan yang sangat mencolok dari perilakunya. Ia menjadi sering melamun. Di kelas selalu sambil chating. Ia pun mulai jarang kelihatan di masjid Nabawi. Itu semua berimbas pada prestasi akademiknya.

Lain Usman, lain lagi Hammad. Ia langsung menikah setelah dinyatakan lolos seleksi ke Madinah. Semangat! Mahasiswa angkatan lama ini bahkan baru bisa menyelesaikan jenjang S1 setelah delapan tahun lamanya. Sepertinya beban keluarga adalah penyebabnya. Kasihan memang, dua kali istrinya melahirkan secara sesar ia tidak bisa pulang mendampingi. Meskipun ia sangat produktif dalam dakwah dan bisnis, namun proses tholabul ilmi  yang menjadi amanahnya menjadi tidak maksimal.

Ada lagi yang lain. Rio namanya. Teman seangkatan saya ini, sekilas adalah mahasiswa yang cerdas, dilihat dari cara berbicara dan wawasannya. Namun ternyata prestasi akademiknya tak seperti penampakan dhohirnya. Nilainya pas-pasan. Bahkan sering absen kuliah. Ia pun jarang keluar dari kamar, apalagi aktif di beberapa organisasi yang ada. Saya tidak bisa memastikan apakah itu karena ia sudah punya tanggungan keluarga atau ada faktor lain. Namun yang saya ketahui ketika masuk tanggal tua ia harus kerepotan mencari pinjaman sana-sini untuk mengirim wesel ke Istri. Terlihat beban yang cukup berat menggantung di wajahnya.

Soal finansial, ada lagi yang lebih parah. Panggil saja namanya Abu. Mahasiswa asal Afrika Selatan ini terkenal sebagai rajanya hutang. Terlebih di kalangan mahasiswa Indonesia. Ia berpindah dari mahasiswa satu ke mahasiswa yang lain untuk meminjam uang, bahkan kepada orang yang belum ia kenal. Parahnya, ia juga terkenal bandel dalam membayar utang. Telat satu atau dua semester itu biasa. Ketika ditanya alasannya kenapa, ia selalu bercerita tentang anak dan istrinya di pelosok Afrika sana.

Banyak lagi kisah sedih yang lain. Ada yang sampai stres karena harus berpisah dengan istri. Ada yang sampai nggak kuat dan terpaksa pulang ke tanah air sebelum tamat. Ada juga kisah lucu bagaimana ketika pulang ke Indonesia ternyata sang anak yang sudah besar tidak mengenal bapaknya dan bertanya, "Om ini siapa ya?" atau malah lari terbirit-birit sambil menangis menuju sang Ibu. Semua memberikan pelajaran bahwa ada banyak konsekuensi pernikahan yang harus kembali dipertimbangkan (mlempem mode:on).

Tak terasa obrolan kami sudah berjalan dua jam lebih. Penjaga restoran sudah memberikan sinyal pengusiran (yalla shodiq..:p). Kajian nikah kami harus berakhir sampai disini. Namun saya sebagai moderator agak bingung mengambil kesimpulan. Antara yang awal dan akhir. Antara menikah atau fokus dulu kuliah. Antara menghormati anjuran para Ustadz dan mengakomodir teman-teman yang lagi bersemangat.

Akhirnya secara sepontan terlontar juga sebuah penyimpulan seadanya. Bahwa dalam masalah ini berlaku teori relativitas. Tergantung kemampuan dan kondisi kejiwaan masing-masing. Bagi yang terbiasa melakukan banyak hal dalam satu waktu, bercabang dalam pikiran, sepertinya menikah saat kuliah adalah anugerah di atas anugerah. Apalagi kalau sudah sangat kebelet (hehe..). Namun bagi para penuntut ilmu yang belum mampu, dalam berbagai sisinya, dan tidak bisa fokus menghadapi bermacam masalah, sepertinya pilihan untuk menunda menikah ada baiknya. Tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Yang penting sebelum memutuskan, silakan masing-masing bertanya kepada diri sendiri, di barisan mana ia berada. Tak lupa beristikharah juga, bertanya pada Yang Maha Tahu Segalanya. Allahu muwafiq ila aqwamit thoriq.
  
.:. Untuk kelima adikku tersayang, teruslah berjuang menggapai cita dan cinta. Tertunda bukan akhir segalanya..^^

(Termuat dalam Media Sosial Kompasiana click here)

Minggu, 09 Mei 2010

Selamat Jalan Kakek Tercinta


Kemarin siang, ketika mengendarai motor sepulang dari kuliah, tiba-tiba handphone saya berdering. Oh, SMS dari rumah rupanya. " Ass. Mbah Kakung Le, td jam 2. Pmakaman hr minggu, jam 2". Innaalillah! SMS dari Bunda tadi membuyarkan pikiran saya akan tugas paper dan skripsi yang menumpuk. Iya betul, Simbah saya tercinta telah berpulang ke rahmat Allah, setelah beberapa tahun terakhir terbaring sakit.

Perasaan tidak percaya bercampur duka menyelimut di hati dan kepala. Permintaan saya kepada Allah agar bisa mendampingi Simbah saat ia dipanggil ternyata tidak dikabulkanNya. Sedih memang, tapi semoga ini adalah yang terbaik untuk semua. Pulang ke Indonesia? Ah, rasanya tidak mungkin. Perjalanan pesawat dari Saudi ke Jakarta butuh waktu sepuluh jam. Belum perjalanan dari Jakarta ke Klaten. Seandainya dengan cepat saya bisa mendapatkan tiket pesawat, waktu tetap tidak cukup. Apalagi ujian mid semester pekan ini akan dimulai, pihak kampus tidak mungkin memberi izin. Akhirnya hanya dengan tumpahan doa kepada Allah dan menulis catatan ini, saya berusaha mengikis duka dan lara.

Nama lengkapnya adalah KH.Abdul Salam. Waktu kecilnya dulu ia dipanggil dengan nama "Temon". Ketika muda ia berguru kepada beberapa Kyai terkenal di Jatinom seperti KH.Abdul Hamid, KH.Abdul Khanan atau Mbah Bong. Bersama teman segenerasi seperti H.Ahmad Qomari, Alm Mbah Ahmad Sahlan dan Alm Mbah Muslih, ia belajar ilmu agama. Simbah juga ikut serta perjuangan Hizbullah melawan penjajah Jepang dan terlibat dalam pemberantasan PKI. Simbah pernah bercerita, bahwa suatu hari ia dikejar tentara dan lari bersembunyi di masjid sambil berdoa. Ketika para tentara itu masuk ke masjid, seolah mereka tidak melihat apa-apa dan langsung pergi lari terbirit-birit.

Para tetangga akrab memanggilnya dengan "Mbah Doel". Sedangkan jama'ah pengajian dalam forum resmi memanggilnya dengan sebutan "Kyai", bahkan sejak sebelum Simbah naik Haji. Mungkin lebih tepatnya Simbah adalah Kyai tanpa pesantren. Atau Kyai kampung. Kalau saya lebih suka menyebutnya sebagai seorang Da'i. Jumlah pengajian dan jama'ahnya memang cukup banyak, meliputi beberapa desa di kawasan kecamatan Jatinom dan sekitarnya. Diantaranya adalah Desa Plaeng, Pandeyan, Jagran, Dukuh, Tangkilan, Tanggu, Padas, Belan, Manton, Padangan dan Bonyokan. Tiap pekan ia menyambangi mereka untuk menyampaikan siraman rohani Islam. Saya masih ingat, di hari ketiga bulan Syawal, biasanya kami sekeluarga dibikin bingung oleh tamu yang sangat banyak jumlahnya. Rumah joglo Simbah yang cukup luas, penuh sesak dengan jama'ah. Mereka datang dari beberapa desa secara serentak menggunakan truk pasir. Memang agak udik kedengarannya.

Pekerjaan Simbah setiap hari adalah sebagai pedagang alat-alat besi dan pertukangan. Simbah mempunyai dasaran kecil di beberapa pasar. Sederhana memang. Tapi dari situlah, bersama sang istri ia berhasil membesarkan ketujuh anaknya menjadi sarjana. Oiya, Simbah juga sangat hobi membaca. Koleksi Kitab kuningnya lumayan banyak. Biasanya beliau mendapatkannya dari pusat penjualan buku bekas di Pandan Simping, Sriwedari atau Shoping Jogja, sambil kulakan dagangan. Begitulah hidupnya; siang berdagang, malamnya berdakwah.

Inilah yang paling berkesan bagi saya sejak kecil hingga kini. Ketika Simbah keluar malam untuk mengisi pengajian, sering sekali ia mengajak saya. Waktu itu sangat jarang jemputan. Paling-paling diantar naik sepeda ketika pulang. Akhirnya kami berjalan kaki. Menyusuri sawah dan gelap malam. Kadang ia menggendong saya. Kadang kalau lelah Simbah menyuruh saya berjalan sendiri, sambil mengajarkan sebuah doa, "Ya Qowiyyu Ya Matin". Biar kuat katanya.

Setelah sampai di desa tujuan, ada dua hal yang biasanya saya lakukan. Kalau isi pengajian Simbah menarik, seperti kalau ia menyitir kisah para Nabi dan Wali Songo, saya akan setia mendengarkan sampai akhir. Tapi kalau tidak, saya akan tidur di sampingnya dan bangun ketika cemilan pengajian dihidangkan. Merepotkan memang. Tapi beliau tetap sabar penuh pengertian. Bagi saya ia adalah seorang kakek yang sangat baik, murah senyum, jarang marah dan mudah untuk dimintai uang jajan.

Setelah saya masuk pesantren, mulai timbul sedikit gesekan di antara kami. Biasa, perbedaan pandangan antar generasi. Paham anti bid'ah yang saya dapatkan berbeda dengan pandangannya yang sangat tradisional. Suatu hari, ketika saya sedang libur dari pesantren di tahun pertama, desa sebelah mengadakan pangajian Maulid Nabi SAW dan Simbah diminta jadi pembicara utama. Waktu itu pihak panitia juga meminta saya menyampaikan kultum pembuka. Nah, dengan semangat anak SMP yang baru gede, yang baru dapat secuil ilmu, saya menyampaikan kultum tentang masalah bid'ah yang menyinggung hakikat Maulid Nabi. Langsung ketika itu dalam pengajian inti, Simbah "menyerang balik" apa yang saya sampaikan. Huh, malunya minta ampun!

Belakangan saya baru paham bahwa masalah Maulid Nabi tidak sesempit yang saya pikirkan. Para Ulama dunia pun berbeda pendapat soal ini. Apalagi peringatan Maulid Nabi di Indonesia sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh kaum Sufi dan Tarekat di Timur Tengah, yang penuh dengan penyimpangan. Jadi sangat debatable dan tidak boleh sampai menjadi sebab perpecahan.

Masalah yang lain, Simbah sering didatangi orang untuk berobat. Aneh, memangnya dokter? Bahkan banyak yang datang dari luar kota. Dan yang paling sering adalah orang yang sakit gigi. Cara mengobatinya memang unik. Simbah menyuruh pasien untuk memegang bagian yang sakit, kemudian menuntunnya dengan sebuah doa. Setelah itu ia menulis sesuatu pada secarik kertas dan memakunya di dinding. Ketika itu, sering saya iseng mencabut paku tersebut. Yang mana, di kemudian hari pasien itu pasti kembali minta diobati lagi.

Belakangan saya baru tahu kalau doa yang Kakek gunakan untuk mengobati orang bukan sembarang doa, tapi adalah doa yang ma'tsur atau ada dasarnya dalam Hadits Shohih. Dan cara yang ia lakukan memang ada dalam metode pengobatan ala Nabi. Kecuali soal paku dan secarik kertas, sampai sekarang saya belum pernah mendapatkan dalilnya.
Begitulah, beberapa waktu berlalu, langkah kami belum bisa bertemu. Di desa, saya terkenal anti kenduri dan tahlilan. Sedangkan Simbah justru jadi tukang doa dan pimpinan.

Hingga akhirnya ketika saya mulai bergabung pada sebuah komunitas dakwah, dimana saya banyak belajar tentang fiqih dakwah, hubungan kami berangsur mesra. Apalagi kemudian saya melanjutkan kuliah ke Madinah, yang dari sana saya paham bahwa perbedaan itu suatu hal yang biasa. Kami pun saling memperlunak sikap, mendekatkan langkah, dan akhirnya ketemu di tengah.

Di usianya yang sudah tua, Simbah masih terus giat berdakwah. Hingga suatu hari terpaksa berhenti karena harus operasi kanker prostat. Setelah sembuh, ia kembali berdakwah. Kemudian kembali harus operasi karena penyakit Hepatitis. Sejak itu Simbah sudah tidak pernah keluar malam lagi. Aktivitas dakwah hanya dilakukan di masjid-masjid terdekat. Karena sudah sangat tua, waktu itu hampir 80 tahun, kadang isi pengajian yang ia sampaikan kehilangan arah. Sering Simbah menyampaikan khotbah Jum'at hampir satu jam lamanya. Tentunya para jama'ah menjadi sangat gerah. Akhirnya pihak keluarga memohon langsung ke Ta'mir Masjid agar Simbah tidak dijadwal lagi untuk berkhutbah.

Mulai saat itu, Simbah hanya tinggal di rumah. Aktivitasnya bergulir dari membaca buku, mengaji, makan, sholat dan istirahat. Sambil menjaga rumah saat semua keluarga mencari nafkah dan cucu-cucu sedang sekolah. Liburan musim panas tahun lalu, saya masih sering bersamanya. Tiap pagi saya membantu membopongnya untuk dimandikan. Ketika mengobrol, apa yang dibicarakan Simbah sudah agak samar. Saya hanya bisa menyimpulkan sekilas bahwa ia bertanya tentang masalah agama atau menceritakan pengalamannya ketika naik Haji. Terbetik dalam benak hati saya, sepertinya usia Simbah tak akan lama.

Dan benar saja, kini Simbah telah tiada. Pergi untuk selama-lamanya. Meninggalkan pesan kepada saya dan kita semua bahwa dunia hanyalah sementara. Bahwa pilihan hidup menjadi pendakwah adalah pilihan mulia. Bahwa estafet perjuangannya harus diteruskan dan dilanjutkan. Sungguh, kalau bukan karena harapan akan adanya pertemuan kedua nanti di surga, empedu hati ini akan pecah menahan sedih berpisah dengannya. Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu 'anhu…