Senin, 30 November 2015

Materi Mengapa Harus Menghafal Al-Qur'an? (PPT-JPEG)














Materi ini pernah disampaikan dalam acara Wisuda Akbar Jaringan Rumah Qur'an Haramain, Surakarta. Untuk mendapatkan materi dalam format Power Point silakan click:
http://www.slideshare.net/hakimuddinsalim/mengapa-harus-menghafal-alquran

Minggu, 29 November 2015

PELUANG BEASISWA S2 STUDI ISLAM DI QATAR


Qatar Faculty of Islamic Studies (QFIS), salah satu fakultas dari Hamad Bin Khalifa University (HBKU), setiap tahunnya menawarkan beasiswa untuk pelajar internasional yang berminat untuk melanjutkan studi pascasarjana di HBKU, Qatar.

QFIS menyediakan beberapa program Master yang dapat anda pilih, sebagai berikut:
1. M.A. in Islamic Studies in Contemporary Fiqh
(Peserta harus merupakan lulusan S1 dari bidang Syariah)
2. M.A. in Public Policy in Islam
3. M.Sc. in Islamic Finance
(Peserta harus merupakan lulusan S1 dari bidang Bisnis, Ekonomi, Keuangan, Akuntansi, Syariah, dan bidang studi terkait lainnya)
4. M.A. in the Study of Contemporary Muslim Thought and Societies
5. M.Sc. in Urban Design and Architecture in Islamic Societies
(Peserta harus merupakan lulusan S1 dari bidang Arsitektur, Teknik Arsitektur, Arsitektur Landscape, Desain Interior/Desain Arsitektur, atau Perencanaan Kota dengan IPK minimal 2.8 (skala 4.0)
6. M.A. in Islamic Studies in Comparative Religions

Nantinya para kandidat terpilih berhak mendapatkan beasiswa penuh, meliputi:
- Tanggungan biaya pendidikan
- Akomodasi
- Internet, telepon, rekreasi
- Tunjangan kesehatan
- Transportasi di dalam maupun di luar Qatar Foundation

Persyaratan untuk mengikuti beasiswa S2 luar negeri dari QFIS adalah sebagai berikut:
- Telah menyelesaikan studi S1 dari Universitas/Perguruan Tinggi yang telah terakreditasi Sangat Baik/setara dengan IPK minimal 3.4 (skala 4.0).
- Memiliki skor TOEFL minimal 550/IELTS minimal 6.0. Untuk pelamar program M.A. in Islamic Studies in Contemporary Fiqh dan M.A. in Islamic Studies in Comparative Religions, skor TOEFL yang dibutuhkan minimal 450/IELTS minimal 5.0.
- Telah lulus Arabic Placement Test dengan skor minimal 80% pada pusat bahasa di Qatar (mahasiswa diharapkan lulus tes bahasa Arab dalam tahun pertama studi, kegagalan dalam tes tersebut dapat mengakibatkan pencabutan beasiswa).
- Telah melakukan wawancara via telepon saat seleksi akhir, untuk memastikan bahwa pelamar memiliki kemampuan bahasa Arab yang sesuai.

Kelengkapan dokumen yang dibutuhkan adalah sebagai berikut:
- Form Aplikasi Pendaftaran Beasiswa QFIS yang telah dilengkapi (Download)
- Salinan paspor
- Salinan ijazah S1 dari universitas yang telah terakreditasi di negara asal
- Transkrip nilai
- 2 (Dua) pas foto terbaru ukuran paspor
- Bukti kecakapan bahasa Inggris berupa hasil skor TOEFL/IELTS
- Hasil skor Pass Arabic Test.

Seluruh dokumen aplikasi di atas dapat dikirimkan via email ke alamat: admissions_QFIS@qf.org.qa. Pendaftaran untuk kandidat internasional akan dibuka pada tanggal 1 Januari 2016 untuk Fall Semester (Musim Gugur).

Untuk mendapatkan informasi terkait QFIS Scholarship, para pelamar dapat menghubungi pihak kantor Admisson and Registration pada nomer telepon +974 4546588 atau +974 4546560 dan juga dapat melalui email: qfisinfo@qfis.edu.qa. atau Twitter @QFIS_QF

Untuk info selengkapnya, dapat anda baca di: (Bahasa arab) (Bahasa inggris)

(Manhajuna)

Sabtu, 28 November 2015

TADABBUR AL-QUR`AN DAN KEMENANGAN DA’WAH



“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka mentadabburi ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran” (QS. Shaad: 29).

Tinta emas sejarah telah mencatat, dalam kurun waktu hanya 23 tahun Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam berhasil melahirkan generasi terbaik dengan kulaitas ilmu dan amal yang pantas diteladani. Dengan keterbatasan materi dan sulitnya kondisi, muncul kader-kader da’wah yang tangguh, dengan soliditas dan kemampuan survival yang tak diragukan lagi. Di bawah ancaman musuh dan tekanan tirani, justru terbina angkatan mujahid terhebat yang di kemudian hari menjadi para penakluk dan pemakmur sepertiga bumi.

Tentu capaian dahsyat itu bukan sekedar soal yang menempa mereka adalah seorang Nabi, atau soal mu’jizat dan kepentingan Alloh ta’ala untuk memenangkan agama-Nya. Tapi yang harus kita renungi adalah rahasia apa di balik capaian dahsyat itu? Toh dalam sejarah panjang para Nabi dan Rasul, sunnatullah atau sunnah kauniyah tetap berlaku. Artinya, keajaiban demi keajaiban itu baru akan muncul jika ikhtiar manusiawi sudah maksimal diupayakan. Justru dengan inilah, generasi penerus da’wah berikutnya mendapatkan celah untuk mencontoh dan meneladani.

Salah satu rahasia kesuksesan yang harus diteladani dari para pioner da’wah itu adalah bagaiamana ta’aamul atau interaksi mereka dengan Al-Qur`an. Bukan sekedar kualitas dan kuantitas bacaan yang menonjol dari mereka, namun tadabbur dan tafakkur terhadap firman-firman Alloh itu, membuat mereka kokoh dan tegar menempuh perjuangan. Al-Qur`an yang memang turun secara munajjaman (bertahap) mereka baca dengan penuh penghayatan dan perenungan yang mendalam, hingga melekat kuat pada lisan, pikiran, dan jiwa. Mereka tidak akan berpindah dari sepuluh ayat ke sepuluh ayat berikutnya, sebelum benar-benar memahami dan mengamalkannya.

Seperti Abu Bakar As-Shiddiq radhiyallohu ‘anhu yang terkenal “cengeng” saat membaca Al-Qur`an. Penghayatannya yang mendalam terhadap Al-Qur`an membuatnya selalu terisak saat tilawah. Hingga ketika suatu hari Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam memerintahkannya untuk menjadi imam sholat, ‘Aisyah radhiyallohu ‘anha mencegahnya, “Wahai Rasulullah, sungguh Abu Bakar adalah lelaki yang berhati sangat lembut. Jika ia menggantikanmu menjadi imam, orang-orang tidak akan bisa mendengarkan suaranya karena banyak menangis” (HR. Imam Muslim).

Atau seperti yang diceritakan ‘Ubbad bin Hamzah, bahwa suatu hari ia pergi ke rumah Asmaa binti Abi Bakar radhiyallohu ‘anhuma dan mendapatinya sedang membaca surat At-Thuur ayat 27, “Maka Alloh memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka”. Lalu ‘Ubbad meninggalkannya sendirian dan pergi ke pasar untuk sebuah urusan. Ketika ‘Ubbad kembali lagi, ternyata Asmaa masih membaca ayat tersebut berulang-ulang sambil bercucuran air mata.

Imam Nawawi menukil perkataan Hasan bin ‘Ali radhiyallohu ‘anhuma yang menggambarkan bagaimana hubungan para Sahabat dengan Al-Qur`an, “Sesungguhnya generasi sebelum kalian (para Sahabat) melihat Al-Qur`an seperti surat cinta dari Rabb mereka. Mereka mentadabburinya di waktu malam, dan memperjuangkannya di siang hari”.

Generasi salafus sholeh setelah mereka pun tak jauh berbeda. Seperti Sa’id bin Jubair yang mengulang-ulang surat Al-Baqarah ayat 281, “Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Alloh. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)”. Sa’id mengulangi satu ayat tersebut lebih 20 kali untuk bisa mentadabburinya.

Atau seperti Hasan Al-Bashri yang membaca surat An-Nahl ayat 18 berkali-kali hingga pagi: “Dan jika kamu menghitung-hitung ni`mat Alloh, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Alloh benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”, sebagaimana dikutip Ibnu Abid Dunya, dalam Attahajjud wa Qiyamullail.

Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya juga menyitir perkataan Muhammad bin Ka’ab Al-Qorodhy: “Tatkala aku hanya membaca surat Al-Zilzalah dan surat Al-Qori’ah, namun kuulang berkali-kali dan kutadabburi, maka itu lebih aku sukai dari pada semalam suntuk khatam membaca Al-Qur`an”.


Lalu dalam Al-Qur`an sendiri, Alloh ta’ala berkali-kali memuji tadabbur orang-orang beriman terdahulu: “Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Alloh, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Alloh Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis” (QS. Maryam: 58).

Alloh juga memuji tadabbur Ahlul Kitab yang mau menerima kebenaran Islam,”Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Qur'an) yang telah mereka ketahui seraya berkata: wahai Rabb kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi” (QS. Al-Maidah: 83).

Bahkan Alloh menyebutkan bahwa tadabbur dan ta’attsur seorang hamba terhadap Al-Qur`an merupakan tanda sempurnanya iman, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang apabila disebut nama Alloh gemetarlah hati mereka; dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, menjadikan mereka bertambah iman, dan kepada Rabb mereka jualah mereka berserah” (QS. Al-Anfal: 3).

Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam Miftah Daaris Sa’adah menegaskan, “Tidak ada yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba, dalam kehidupan dunia dan akheratnya, selain membaca Al-Qur`an dengan penuh penghayatan dan memusatkan segenap pikiran untuk merenungi artinya”.

Sebaliknya, kecaman dan ancaman Alloh menanti orang-orang yang enggan memahami dan merenungi Al-Qur`an, “Maka apakah mereka tidak mau mentadabburi Al Qur’an, ataukah hati mereka telah terkunci?” (QS. Muhammad: 24).

Dalam surat Al-Baqarah ayat 78, Alloh mencela orang-orang terdahulu yang hanya tilawah saja tanpa mau tadabbur: “Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al-Kitab, kecuali amaaniyya dan mereka hanya menduga-duga”. Imam Syaukani dalam tafsirnya menjelaskan, yang dimaksud dengan amaaniyya disini adalah sekedar menjadi bacaan tanpa upaya pemahaman dan penghayatan.

Juga dalam surat Al-Furqon ayat 30, dimana Rasulullah mengadukan perilaku sebagian umatnya: “Wahai Rabbku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an ini suatu yang mahjur (tidak dipedulikan)”. Ibnul Qoyyim kembali menjelaskan bahwa salah satu bentuk dari hajrul Qur’an adalah dengan tidak berusaha memahami dan merenungi kandungannya.

Kita patut bersyukur melihat perkembangan umat dewasa ini terkait dengan Al-Qur`an. Bagaimana antusiasme masyarakat untuk belajar Al-Qur`an meningkat pesat. Dimulai dari marhalah attilawah (membaca), dengan banyaknya metode belajar membaca Al-Qur`an, maraknya gerakan bebas buta Al-Qur`an, atau ramainya komunitas gemar tilawah, seperti ODOJ (one day one juz).

Kemudian meningkat ke marhalah al-hifzh (menghafal), dengan banyak berdirinya Pesantren Tahfizhul Qur`an, menjamurnya jaringan rumah Al-Qur`an, atau meriahnya audisi Hafizh Cilik di berbagai stasiun televisi. Fenomena menggembirakan di tanah air ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu.

Namun demikian, bersamaan dengan rasa kesyukuran itu kita tidak boleh cepat berpuas diri. Umat harus segera dibawa melangkah pada marhalah ta’amul ma’al Qur`an (tahapan berinteraksi dengan Al-Qur`an) berikutnya, yaitu tadabbur. Untuk kemudian bisa teraih marhalah al-‘amal wadda’wah ilaih (tahapan pengamalan dan menyeru kepadanya). Itu semua harus dimulai dari diri kita sendiri, para pejuang da’wah. Minimal membiasakannya pada program dan agenda di internal barisan. Jika tidak, petunjuk macam apa yang ingin kita berikan kepada umat, kalau kita sendiri belum tertunjuki?

Alasan-alasan klasik, seperti tidak mampu berbahasa Arab, hanya akan mempertontonkan kekufuran kita atas nikmat akal dan kesempatan hidup puluhan tahun yang telah Alloh berikan. Lagian sudah tersedia terjemah Al-Qur`an dengan berbagai macamnya. Pun sudah banyak tafsir Al-Qur`an dalam bahasa Indonesia. Kemalasan dan kelalaian diri lah yang membuat kita belum juga beranjak, yang itu semakin memperlambat datangnya kemenangan.

Syekh Musthofa As-Siba’i, dalam kitabnya Hakadzaa ‘Allamatni Al-Hayah mengingatkan kita: “Sesungguhnya pengaruh yang dahsyat dari Al-Qur`an atas jiwa-jiwa orang beriman hanya bisa dengan merenungi maknanya, bukan sekedar menikmati keindahan lantunannya. Juga dengan tilawah orang-orang yang mengamalkannya, bukan sekedar dengan tajwid orang-orang yang mahir membacanya. Sungguh, orang-orang beriman terdahulu bisa mengguncangkan bumi saat jiwa mereka mampu terguncang oleh makna-makna Al-Qur`an. Mereka sukses membuka dunia, saat akal-akal mereka terbuka menerima hakikat Al-Qur`an. Mereka berhasil menguasai alam semesta saat perilaku dan keinginan mereka dikuasai oleh prinsip-prinsip Al-Qur`an. Dan begitulah sejarah kejayaan masa lalu itu akan terulang!”.

:: Artikel ini ditulis untuk situs dakwah dan ukhuwah www.manhajuna.com

Kamis, 26 November 2015

BEASISWA S2 & S3 KING SAUD UNIVERSITY, RIYADH



Tahun ini, King Saud University (KSU) kembali membuka beasiswa untuk pelajar internasional tingkat pascasarjana. Pelamar beasiswa dapat mengajukan aplikasi permohonan beasiswa secara online, yang akan dibuka pada tanggal 14 Desember 2015. Pendaftaran dapat dilakukan secara online lewat portal pendaftaran di https://dgs.ksu.edu.sa/DGS3/Login.aspx

Jurusan yang Ditawarkan
Tidak setiap jurusan di KSU menawarkan progam S2 dan S3 untuk mahasiswa asing. Jurusan yang menawarkan program S2 dan S3 pun tidak setiap tahun membuka pendaftaran. Namun, secara umum hampir seluruh jurusan membuka pendaftaran program studi S2 & S3 yang ia miliki. Daftar jurusan yang dibuka pendaftarannya dapat dilihat di:

Untuk mendapat gambaran umum tentang jurusan/program studi yang ditawarkan bisa menuju website masing-masing jurusan (http://ksu.edu.sa/en/colleges). Jurusan yang dibuka untuk perempuan juga bisa dilihat di http://womencampus.ksu.edu.sa/ (Arabic). Kampus laki-laki dan perempuan terpisah.Disyaratkan ada mahram (Suami, bapak atau saudara laki-laki) yang tinggal di Arab Saudi.

Persyaratan Pendaftaran
Persyaratannya adalah sebagai berikut (dalam bahasa Arab):

Untuk program Master/S2: 
-Usia pemohon beasiswa tidak melebihi 30 tahun untuk program S2/Master 
-Paspor 
-Ijazah S1 dan Transkrip 
-GRE (151 Quantitative Reasoning) atau test “Qudrat Jam’iyah” (Test ini hanya di Saudi Arabia, diadakan oleh Qiyas) 
-TOEFL, IELTS (Tergantung jurusan yang diambil) 
-Rekomendasi dari 2 dosen 

Untuk program Doctoral/S3: 
-Usia pemohon beasiswa tidak melebihi 35 tahun untuk program S3/Doctoral 
-Paspor 
-Ijazah S2 dan Transkrip 
-TOEFL iBT 61 (atau yang setara), IELTS 5, STEP 81 (STEP hanya ada di Saudi Arabia, diadakan oleh Qiyas) 
-GRE (151 Quantitative Reasoning) atau test “Qudrat Jam’iyah” (Test ini hanya di Saudi Arabia, diadakan oleh Qiyas) 
-Rekomendasi dari 3 dosen 
Untuk jurusan agama juga diminta TOEFL, dan GRE atau tes Qudrat Jami’ah.

Cara Mendaftar
Sebelum mendaftar secara online pastikan Anda sudah membaca petunjuk pendaftaran (English) dan(Arabic). Langkah pertama adalah membuat account di portal pendaftaran (klik bagian “New Student Registration” untuk membuat account baru). Setelah memiliki account Anda bisa login dan mulai mengisi form yang ada. Anda akan diminta mengupload berkas-berkas yang dibutuhkan (paspor, ijazah, transkrip, hasil tes TOEFL, dll).

Secara umum form pendaftaran berisi hal-hal berikut: 
-Student’s basic information (Informasi tentang pendaftar) 
-Type of study and academic degree (Program yang mau diambil. Pilih ‘Normal’ lalu pilih Master/PhD. Untuk jenis scholarshipnya pilih “External Scholarship”) 
-Basic requirements (Informasi tambahan tentang Anda) 
-Experience information (TOEFL, GRE, dll) (Bisa dilewati, tetapi hendaknya segera dikirim) 
-Whom to contact in emergencies (CP saat darurat) 
-University degree information (Ijazah Anda sebelumnya) 
-Information on recommendation letters (Rekomendasi bisa online, dengan mengirim scannya) 
-Selecting the discipline desired (Jurusan yang akan Anda daftari) 
-Sending the application 
-Exit. 

Setelah selesai mengisi form pendaftaran Anda memili dua pilihan: sent (kirim) atau preview (lihat kembali). Jika Anda telah yakin mengisi seluruh informasi yang dibutuhkan maka pilih sent, jika masih ragu cek kembali dengan klik preview. Sebagai catatan penting, Anda dapat mengupdate aplikasi/data yang telah dikirim sampai batas akhir masa pendaftaran.

Pengumuman diterima atau tidak, akan disampaikan lewat email. Biasanya agak lama prosesnya. Jika butuh info lebih lanjut silahkan kontak bagian pendaftaran Pascasarjana KSU, Email: dgsad@ksu.edu.sa. Twitter: @DGS_KSU Sudah siap mendaftar di KSU?!, langsung klik link berikut: https://dgs.ksu.edu.sa/DGS3/Login.aspx

Sumber: www.manhajuna.com

Beasiswa Diploma di Riyadh untuk Guru Bahasa Arab


Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud berlokasi di kota Riyadh, Arab Saudi didirikan pada tahun 1974 M. Saat ini sedang membuka masa pendaftaran untuk mahasiswa asing pada jurusan Diploma tinggi untuk pengajar bahasa arab dengan masa kuliah 1 tahun dan mendapatkan semua fasilitas beasiswa secara penuh seperti umumnya mahasiswa asing (Non-arab) yang kuliah di universitas-universitas di Arab saudi.

Berikut ini persyaratan untuk calon penerima besiswa dari luar Arab Saudi;
- Mengisi form pendaftaran yang dapat diunduh disini
- Terjemahan ijazah S1 asli dan transkip nilai (nilai rata-rata di ijazah minimal 8)
- Terjemahan akte lahir
- Terjemahan surat keterangan sehat
- Terjemahan SKCK
- Fotocopy paspor
- 2 Surat rekomendasi dari perseorangan atau yayasan islam
- Pendaftar harus sebagai pengajar bahasa arab saat mendaftar dan dibuktikan dengan surat keterangan dari tempat ia mengajar
- Foto terbaru

Terjemahan yang dimaksud di atas adalah terjemahan dalam bahasa arab yang diterjemahkan oleh penerjemah yang resmi dan tersumpah dan dilegalisasi oleh Menkumham & Menlu.

Jika semua persyaratan sudah terpenuhi, silahkan di scan terlebih dahulu dengan format JPG atau PDF, kemudian kirim semua dokumen persyaratan ke alamat email: arabicdip@gmail.com atau jika memungkinkan, bisa langsung menyerahkan ke bagian “علم اللغة التطبيقي” di gedung Arabic Institute di Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Arab saudi. (Manhajuna)

Selasa, 24 November 2015

Materi Ta'dhim As-Sholah (Agar Sholat Terasa Dahsyat)


























Materi ini pernah disampaikan dalam beberapa acara: Daurah Ta'mir se Karanganyar, Kajian Jaliayat di Damam, Kajian Jaliyat di Riyadh, Kajian I'tikaf Masjid Bilal bin Rabah Isykarima, Kajian Ramadhan Masjid Istiqlal, Kajian Ahad Pagi di Pesantren Solo Peduli Karanganom, Kajian I'tikaf Masjid Ar-Ridho, Kajian I'tikaf DSH Klaten, dll. Untuk mendapatkan materi dalam format PPT silakan click: http://www.slideshare.net/hakimuddinsalim/tadhim-assholah-upaya-merevitalisasi-sholat-lima-waktu-kita

Minggu, 22 November 2015

SENGGUK TANGIS ABU BAKAR OLEH AL-QUR'AN



Tidak ada generasi yang lebih pantas untuk dijadikan rujukan hidup selain para Sahabat Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam. Mereka adalah khairul quruun (sebaik-baik generasi) yang telah Alloh ta’ala pilih dari seluruh hamba untuk menjadi teman, pendamping, penolong, dan pembela utusan-Nya tercinta.

Di dalam Al-Qur’an dengan tegas Alloh ta’ala memaklumatkan keridhoan-Nya kepada mereka dan orang-orang yang mau mengikuti kebaikan mereka, “Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha terhadap mereka dan mereka ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selamanya. Itulah kemenangan yang besar” (QS.At-Taubah: 100).

Salah satu sisi keteladanan yang bisa kita ambil dari mereka adalah bagaimana mereka berinteraksi dengan Al-Qur’an. Para pembela Rasul ‘alaihis sholatu wassalam itu adalah saksi mata bagaimana Al-Qur’an diturunkan dan apa sebabnya. Mereka tahu persis bagaimana Al-Qur’an dipahami oleh Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam dan di-implementasikan dalam keseharian. Mereka bisa segera bertanya atas apa yang mereka bingungkan, sebagaimana mereka akan diluruskan jika salah pemahaman dan pelaksanaan. Maka praktis bagi kita manusia akhir zaman, mereka adalah sumber pegangan kedua setelah hadits-hadits Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam dalam ta’aamul bersama Al-Qur’an.

Di antara para sosok agung sahabat Rasul ‘alaihis sholatu wassalam yang penting bagi kita untuk bercermin kepadanya adalah Abu Bakar As-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Sahabat yang bernama asli Abdullah bin Abi Quhafah itu digelari As-Shiddiiq karena menjadi orang yang pertama kali beriman dan membenarkan apa pun kata Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam. Ia lah pendamping Nabi ‘alaihis sholatu wassalam saat hijrah yang diabadikan dalam Al-Qur’an, “Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita” (QS. At-Taubah: 40).

Sosok dermawan bertubuh kurus yang telah memerdekakan Bilal bin Rabbah itu terkenal sebagai lelaki yang bakkaa’, banyak menangis dan cepat meneteskan air mata saat membaca Al-Qur’an. Maka ketika suatu hari Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam memerintahkannya untuk menjadi imam sholat, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha putrinya tercinta berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh Abu Bakar adalah lelaki yang berhati sangat lembut. Jika ia menggantikanmu menjadi imam, orang-orang tidak akan bisa mendengarkan suaranya karena banyak menangis” (HR. Imam Muslim).

Menurut Abu Bakar, tangis seseorang saat membaca Al-Qur’an merupakan bukti kelembutan hatinya. Sebaliknya, saat sang qaari’ bebal dengan lantunan Al-Qur’an, itu merupakan salah satu tanda kekerasan hatinya. Sebagaimana yang Abu Bakar katakan di hadapan orang-orang Yaman saat menceritakan betapa dulu para Sahabat selalu menangis saat mendengar Al-Qur’an, “Begitulah kami dahulu, namun sekarang hati-hati telah mengeras”.

Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu juga terkenal dengan suaranya yang sangat jernih dan merdu dalam membaca Al-Qur’an. Ia membacanya dengan tartil, penuh kekhusya’an dan penghayatan. Hingga ketika itu, pada awal da’wah Islam di Makkah, para pemuka Quraisy meminta Abu Bakar untuk tidak membaca Al-Qur’an di tempat umum. Mereka memintanya sholat dan membaca Al-Qur’an sesuka hatinya di rumah. Itu semua karena banyak perempuan dan anak-anak Quraisy yang trenyuh dan terpengaruh saat mendengar tilawah Abu Bakar.

Namun ketika akhirnya sosok yang selalu terdepan dalam beramal itu menuruti keinginan mereka untuk sholat dan membaca Al-Qur’an di rumahnya, justru para perempuan dan anak-anak Quraisy berduyun-duyun mendatangi rumahnya untuk mendengarkan bacaannya yang terisak-terisak menyentuh hati. Para pemuka Quraisy pun menyerah, tidak bisa berbuat apa-apa karena Abu Bakar termasuk kalangan terhormat dan bernasab tinggi di antara mereka.

Lelaki mulia itu, yang Rasulullah pernah bersabda tentangnya: “Jika aku mengangkat seseorang sebagi kekasih, maka aku akan mengangkat Abu Bakar As-Shiddiq sebagai kekasihku” (HR. Bukhori Muslim), selain terkenal dengan banyak tilawah, ia juga masyhur dengan pemaknaan yang dalam terhadap Al-Qur’an. Itu terlihat dari kalimat-kalimat yang ia tuturkan yang tak pernah kosong dari ayat-ayat Al-Qur’an. Ia selalu berusaha mengkaitkan ayat Al-Qur’an dengan realita hidup keseharian, yang membuat firman Alloh itu menjadi terasa hidup dan membumi.

Seperti yang diceritakan Ibnu Abbas saat tersiar berita wafatnya Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam. Ketika itu kaum Muslimin banyak yang tidak percaya dengan berita tersebut. Bahkan Umar bin Khattab mengancam akan memenggal leher orang yang mengatakan bahwa Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam telah meninggal. Hingga akhirnya datang Abu Bakar memintanya duduk dan meminta orang-orang yang sudah ramai berkumpul di dekat Masjid Nabawi untuk tenang.

Setelah Abu Bakar keluar dari rumah Rasulullah dan menyeka air matanya, ia berkata: “Barangsiapa yang selama ini menyembah Muahammad, maka ketahuilah bahwa ia telah wafat. Namun barangsiapa yang selama ini menyembah Allah ta’ala, maka Ia adalah Dzat Yang Maha Hidup dan tidak akan mati!”.

Lalu Abu Bakar membaca ayat, “Dan tidaklah Muhammad kecuali hanya seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur” (QS. Ali Imron: 144).

Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mengomentari apa yang terjadi di atas: “Demi Alloh, seolah orang-orang tidak tahu bahwa Alloh ta’ala pernah menurunkan ayat ini hingga Abu Bakar membacakannya. Maka semua orang pada waktu itu menerimanya, lalu kami mendengar setiap orang melantukannya”.

Begitu melekatnya Al-Qur’an dalam hati, pikiran dan lisan Abu Bakar juga terlihat saat ia sendiri menjelang wafat. Imam Ahmad meriwayatkan sebuah kisah bagaimana ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bersyair sedih di sisi Abu Bakar saai ia sedang sakaratul maut: “Tidak dapat dipungkiri betapa tak bergunanya menghindari kematian, saat nyawa di kerongkongan dan dada mulai kesempitan ”.

Dengan terbata-bata Abu Bakar menjawab putrinya tercinta itu dengan mengatakan, “Bukan begitu wahai putriku, akan tetapi katakanlah:”Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari dari padanya”(QS. Qaaf: 19). Lalu ia meminta ‘Aisyah agar nanti mengkafaninya dengan dua helai kain yang ia gunakan, karena menurutnya orang yang masih hidup lebih membutuhkan kain yang baru dari pada orang mati.

Itulah beberapa fragmen kehidupan Abu Bakar As-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu bersama Al-Qur’an, yang memberi pesan kepada kita bahwa sejatinya menjadi Ahlul Qur’an bukan sekedar soal kuantitas bacaan, merdunya lantunan, atau kuatnya hafalan. Namun lebih dari itu, penghayatan dan pemaknaan atas apa yang kita baca, juga sejauh mana Al-Qur’an mempengaruhi hati, jiwa, dan tingkah-laku kita, menjadi tolok ukur yang utama. Semoga kita manusia akhir zaman, mau dan mampu meneladani ta’alluq dan ta’attsur sahabat termulia itu dengan Al-Qur’an. Radhiyallahu ta’ala ‘anhu wa ‘anis shohabati ajma’aiin.

:: Artikel ini ditulis untuk rubrik Jejak Salaf di www.ibnu-abbas.com

Jumat, 20 November 2015

Mengenang "Dua Menara" dari Kampung Dua Menara (2)


Mengapa semua ayat tentang jihad (kecuali ayat shafqah dalam surat At-Taubah), perintah berjuang dengan harta selalu didahulukan dari pada berjuang dengan jiwa? Menurut sebagian ulama hal itu karena harta bersifat darurat dan multi fungsi dalam perjuangan. Ada juga yang berpendapat karena sifat bakhil yang menghinggapi kebanyakan manusia. Betapa banyak orang yang ringan berkorban dengan tenaga, lisan, keringat, bahkan nyawa, namun berat untuk berkorban dengan harta. Hanya sedikit orang yang bisa terjaga dari kekikiran dan kebakhilan, “Dan barangsiapa yang terjaga dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. At-Taghabun: 16).

Salah satu yang kami kenal dari mereka yang sedikit itu adalah dokter Tunjung. Menara kedermawanan yang menutup hidup pada usia 71 itu, mengajarkan kepada kita bagaimana berhubungan dengan harta dunia. Bahwa ia cukup di tangan saja, tak perlu masuk sampai ke dada.

Bukti nyata dari kedermawanan beliau adalah adanya Isykarima. Ma’had yang didirikan pada tahun 1998 itu adalah saksi bisu lapis-lapis al-‘athaa al-mutawaashil yang tak pernah henti mengalir. Beliau adalah pendiri sekaligus sebagai donatur utama, sehingga nama Isykarima menjadi sangat identik dengan beliau. Tentunya tanpa menafikkan peran donatur dan perintis lainnya.

Masih segar di ingatan, saat dulu kami masuk Isykarima hanya membayar uang sebesar Rp. 500.000 saja. Itu pun kembali kepada kami dalam wujud peralatan pribadi seperti ranjang dan kasur, bukan sebagai uang gedung atau sumbangan pendidikan. Uang SPP bulanannya pun hanya Rp. 150.000, tak sebanding dengan fasilitas dan menu makan harian yang jauh di atas rata-rata pesantren pada umumnya. Itu pun kami beberapa tahun sempat mendapat beasiswa prestasi, tanpa harus membayar uang sepeser pun.

Masih segar di ingatan juga, saat tiap bulan Pak Dokter beserta istri menengok kami sambil membawa aneka snack dan makanan, lalu dengan penuh kelembutan dan kebapakan bertanya, “Antum butuh apa lagi?”. Berbagai kebutuhan fasilitas belajar dan olahraga, tanpa harus repot meminta segera terpenuhi. Benar-benar seperti ayah kandung bagi para Asatidz dan santri.

Waktu itu kami pernah jatuh sakit hingga harus diopname di Kustati. Setelah dirawat intensif dan istirahat cukup kami diperbolehkan kembali ke Ma’had. Saat kami bertanya bagaimana dengan biaya rumah sakit? Salah seorang Ustadz menjawab, “Alhamdulillah sudah diselesaikan Pak Dokter”.

Kedermawanan itu terus melimpah kepada kami bahkan saat kami sudah lulus. Sebelum berangkat ke Madinah kami sempat berpamitan khusus kepada beliau. Maksud kami adalah ingin berterima kasih atas segala kebaikan beliau selama ini. Namun lagi-lagi tangan panjang Pak Dokter seperti tak mau berhenti menggapai keutamaan. Seamplop tebal uang beliau sisipkan saat salaman. Alasan bahwa seluruh kebutuhan untuk ke Madinah sudah dicukupi oleh orang tua pun tertolak mentah-mentah. “Nggak papa, terima aja, buat tambah sangu”, kata beliau.

Itu pun masih berlanjut setelah kami di Madinah. Setiap beliau berangkat umroh, semua alumni Isykarima di Madinah selalu mendapat “jatah” khusus dari beliau layaknya seorang ayah yang menengok anaknya. Fasilitas lebih dari cukup buat kami dari kampus seperti tak digubris oleh beliau. Tak lupa beliau selalu mengingatkan kami, “ Hafalan Qur’annya gimana?” atau “Jangan lupa sama ma’had ya...”. Pun demikian yang kami dengar dari beberapa alumni di tempat yang lain.

Suatu saat kami pernah membawa seorang teman mahasiswa Madinah dari Papua yang sakit lutut cukup akut menemui beliau. Berbagai rumah sakit dan dokter spesialis, plus pengobatan alternatif sudah dicoba tanpa hasil yang signifikan. Alhamdulillah, melalui tangan dingin beliau kini teman kami tersebut bisa berjalan normal. Lagi-lagi itu beliau lakukan tanpa sepeser pun memungut biaya. Sampai malu rasanya menerima kebaikan yang bertubi-tubi itu.

Tentunya hilir kedermawanan beliau bukan hanya kami. Berapa banyak lembaga dan proyek dakwah yang teraliri sakhaa’ dan karam beliau? Berapa banyak santri dan aktifis Islam yang telah beliau tolong? Berapa banyak pasien yang beliau obati dengan membayar sebagian atau bahkan gratis keseluruhan? Belum lagi kedermawanan “ringan” yang banyak diceritakan orang. Seperti cerita orang tentang pengajian di rumah beliau yang selalu disediakan makan malam. Cerita orang tentang para pedagang kecil yang dipersilakan numpang berjualan. Cerita orang tentang kran air yang sengaja ditaruh di luar pagar bagi siapa saja yang membutuhkan. Cerita-cerita kesaksian itu begitu riuh terdengar saat beliau menutup usia kemarin.

Putra dari Pahlawan Nasional Prof. Dr. dr. R. Soeharso itu juga menaruh perhatian besar pada nasib Muslimin di belahan bumi lain. Bukan saja darah biru yang beliau warisi dari sang ayah, namun juga darah juang. Jika mendiang R. Soeharso dulu tercatat aktif melawan penjajah Jepang, hingga harus masuk daftar hitam Nippon yang harus dimusnahkan, begitu pula dengan dokter Tunjung yang terkenal royal memberi donasi untuk daerah konflik di berbagai dunia Islam. Tercatat juga bersama Sahabat Al-Aqsha beliau pernah menembus Gaza membawa bantuan dan alih teknologi bedah.


Yang lebih indah dari itu, menara kedermawanan itu berdiri kokoh tanpa sedikit pun berkabut keangkuhan. Justru ketawadhu’an dan kesederhanaan lah yang dipancarkan. Setidaknya itu yang yang kami rasakan dan diceritakan banyak orang. Masih terkesan di ingatan saat orang sepenting dan sesibuk beliau mau mendatangi walimahan sederhana kami di pelosok Jatinom sana. Beliau yang hadir bersama Ustadz Syihab, Syekh Hisyam, Mas Hanif, dan beberapa Asatidz lain begitu sabar menunggu hingga acara usai. Padahal saat menyerahkan undangan kami sempat su’udzon.Alah paling-paling beliau ga dateng, mana sempat?”, batin kami saat itu.

Beberapa kali bertemu, pakaian yang beliau pakai pun juga biasa-biasa saja. Rumah tempat tinggal beliau adalah rumah khas jawa “biasa” yang sederhana, sangat kontras dengan deretan mall dan perkantoran elit di jalan Slamet Riyadi. Beberapa kali berkesempatan masuk ke rumah ahli bedah anggota International College of Surgeons itu, tidak ada perabotan yang istimewa dan mewah di ruang tamunya. Wallahu hasiibuhu walaa uzakkii ‘alallahi ahada.

Itulah sekelumit kesaksian, di hamparan kebaikan yang tak terjangkau penglihatan. Berharap coretan ini menjadi obat kesedihan, saat raga tak turut hadir mensholatkan. Jika bukan karena harapan akan pertemuan kedua di surga, mungkin empedu hati ini akan pecah menahan duka. Kami menyayangi kalian berdua, namun Alloh lebih besar sayang dan rahmat-Nya. Selamat jalan wahai dua menara...

Kembali ke: Mengenang "Dua Menara" dari Kampung Dua Menara (1)

Mengenang "Dua Menara" dari Kampung Dua Menara (1)


Sesungguhnya milik Allah lah apa yang Ia ambil, dan segala sesuatu di dunia pasti menemui ajalnya. Kurang dari dua bulan, Kampung Dua Menara (sebutan familiar Ma’had Tahfizhul Qur’an Isykarima di kalangan alumni) kehilangan dua tokoh sentralnya. Bukan hanya Isykarima saja yang berduka, segenap kaum Muslimin bahkan masyarakat umum juga merasa lara, karena kiprah juang keduanya menembus batas-batas golongan, strata sosial, teritorial, bahkan agama. Siapa lagi kalau bukan gurunda tercinta Ust. H. Eman Badru Tamam, Lc dan ayahanda tercinta dr. H. Tunjung Sulaksono Soeharso, Sp.OT, FICS.

Bagi kami pribadi, Ustadz Badru adalah menara keilmuan yang tak pernah goyah memberi keteladanan. Ustadz muda asli Cirebon itu pertama memberi sentuhan ilmunya saat menjadi kepala Madrasah Mutawasithoh di Ponpes Al-Mukmin Ngruki tahun 1999. Saat itu beliau belum lama lulus dari Universitas Islam Madinah.

Di mata kami yang baru usai sekolah dasar, penampilan berwibawa dan enerjik ustadz alumni KMI Al-Mukmin itu dengan cepat membuat kami jatuh hati dan mengidolakannya. Suaranya yang merdu dan lagunya yang khas seperti imam Majidil Haram membuat kami berbinar-binar dan berebut shaf terdepan tiap yang muncul menjadi imam sholat jama’ah adalah beliau. Entah kenapa, jika beliau yang memimpin sholat terasa lebih khusyu’ dan syahdu.

Pun demikian ketika mengajar di kelas. Saat itu beliau mengajar materi fiqih, dengan kitab pegangan Minhajul Muslim karya Syekh Abu Bakar Jabir Al-Jaza`airy. Cara mengajarnya yang sistematis, dengan penjelasan yang gamblang, ditambah gaya beliau yang motivasional, membuat materi fiqih yang biasanya rumit dan membosankan menjadi mudah dan menarik. Jadwal mengajarnya pun menjadi moment yang ditunggu-tunggu setiap minggu.

Dua tahun di Mutawasithoh bersama Ustadz Badru membuat semangat menuntut ilmu kami menggelora dan cita-cita untuk kuliah di Madinah makin membara. Cerita-cerita tentang Al-Jaami’ah Al-Islamiyah yang sering beliau sampaikan, memotivasi kami untuk terus berdoa dan menyiapkan diri meniti jalan menuju kota Nabi. Hingga akhirnya di tahun ketiga kami harus berpisah dengan ustadz yang selalu tampil rapi itu karena perubahan sistem unit sekolah. Beliau tidak lagi mengajar di Mutawasithoh.

Namun demikian, karena ikatan hati yang sudah terjalin dengan kuatnya, saat itu dengan beberapa teman kami berinisiatif meminta beliau mengisi kajian kitab khusus buat kami. Beliau pun dengan senang hati bersedia. Meski yang hadir tidak banyak, dengan sabar dan telaten beliau membedah kitab fadhaail ‘ilmi di rumah dinas beliau yang hanya beberapa meter saja dari komplek asrama.

Bahkan saking ngefansnya sama beliau, bersama seorang teman bernama Saiful Shiddiq, kami rela kabur dari pondok tiap Jum’at pagi untuk menghadiri kajian kitab I’tiqod Ahlis Sunnah Wal Jama’ah yang beliau sampaikan di masjid Istiqomah, Penumping. Hingga kemudian kami melanjutkan studi ke Isykarima dan bersua kembali dengan Ustadz yang mempunyai kunyah “Abu Harits” itu.

Di Isykarima, sebagai mudir beliau diakui berperan sangat vital dalam membesarkan lembaga. Bukan sekedar sebagai konseptor utama atas manahij dirosiyah dan ansyithoh thullabiyah yang ada, namun figur kharismatik beliau benar-benar menjadi menara keilmuan dan keteladanan bagi kami para santri. Ketegasannya dalam menyampaikan kebenaran terpadu apik dengan sikap arif dan bijak dalam menanggapi masalah di lapangan.

Di kelas, beliau pernah mengajar kami materi Ushul Fiqih dan Dirosatul Firoq. Materi-materi pelajaran super njlimet itu menjadi ringan jika beliau yang menyampaikan. Apalagi Ustadz Badru terkenal mudah dalam ujian dan murah dalam memberi nilai. Tak terasa sudah dua belas tahun berlalu, beberapa kaidah Ushul dan definisi Firoq yang beliau ajarkan masih melekat di kepala.

Beliau juga sering berbagi tips dalam menuntut ilmu. Di antaranya yang masih kami terapkan sampai sekarang adalah soal membaca buku. Beliau selalu memotivasi kami untuk banyak membeli buku. Kalau belum sempat membacanya, minimal baca muqoddimah dan daftar isinya. Suatu saat kalau kita butuh, kita tahu kemana harus merujuk.




Setelah kami melanjutkan studi ke Madinah, hubungan baik guru-murid antara kami masih terjalin. Dua kali beliau berangkat umroh pun kita ketemuan. Dengan penuh ketawadhu’an beliau mau kami bonceng naik Dio (motor matic 50 cc) keliling Madinah untuk berburu ponsel bekas. Kadang saat libur musim panas, kami sowan ke kontrakan beliau di Ngruki, yang beliau sambut dengan welcome penuh kehangatan.

Beliau lah yang memberi taushiyah dalam acara akad pernikahan kami. Resep keluarga sakinah yang beliau sampaikan hingga kini masih rapi tersimpan dan sering kami putar kembali. Masih terngiang-ngiang doa indah beliau untuk kami, “Semoga keluarga ini menjadi keluarga ilmu, seperti keluarga Ali bin Abi Thalib dan Fathimah, yang dibimbing langsung Rasulullah ‘alaihis sholaatu wassalaam”.

Saat itu Ustadz Badru sudah terkena penyakit gula. Kemana-mana harus bawa suntik insulin sebagai pereda. Bahkan beberapa tahun berikutnya implikasi dari penyakit gula itu mulai merembet ke mata. Penglihatan beliau menjadi samar dengan radius kurang dari semeter, bahkan kadang gelap total. Namun demikian, semangat beliau untuk berdakwah menyebarkan ilmu tak pernah padam. Beliau masih aktif mengisi beberapa kajian, salah satunya kajian kitab Riayadhus Solihin, dengan cara matannya dibacakan orang lain lalu beliau yang memberi syarh.

Hingga waktu libur shoifiyah bulan Ramadhan lalu, saat kami bersama teman-teman IKARIMA Madinah datang menjenguk, beliau terlihat tambah lemah. Efek dari penyakit gula itu mulai menjalar ke ginjal. Namun demikian, beliau masih semangat memberi kami wejangan. Dengan asyik kami ngobrol tentang bahaya Syi’ah, fenomena neo Khawarij, dan problematika umat yang lain. Bahkan beliau menyampaikan rasa sedih dan kesepiannya karena tidak bisa lagi keluar rumah untuk berda’wah. Beliau berharap ada sebagian asatidz atau santri yang mau datang ke rumah beliau, sekedar untuk membaca bersama sebuah kitab.

Dua hari setelah lebaran, kami bersama Ustadz Muin berkesempatan kembali datang menjenguk. Mau menangis rasanya melihat kondisi Ustadz yang terkenal tegas itu. Muka beliau sangat pucat bahkan cenderung gelap karena efek gangguan ginjal yang beliau rasakan. Beliau tidak bisa minum banyak karena untuk buang air sangat susah. Bahkan yang membuat kami tidak mampu membendung air mata, beliau menyatakan khawatir tidak mampu melewati ujian sakit ini. Lalu Ustadz Mu’in pun membacakan beberapa ayat ruqyah dan ayat-ayat motivasi untuk beliau.

Hingga pada Haji kemarin, saat kami baru pulang dari Mina, di pagi hari tiba-tiba Ummu Kannaz (istri Mas Irfan Tunjung)  yang waktu itu serombongan dengan kami menyapa, “Ustadz, sudah tahu kabar belum? Ustadz Badru meninggal”. Deg! Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’un. Kami terdiam tidak bisa berkata-kata. Seperti tak percaya bahwa menara keilmuan itu telah tiada.

Saat melaksanakan thowaf ifadhoh, bukan bimbingan doa Ustadz Mu’in yang kami tirukan, namun doa mohon keampunan untuk beliau yang bisa keluar dari lisan. Sepanjang perjalanan di bus, kami dan Ustadz Mu’in pun bersenandung sendu, “Hal turaanaa naltaqi am annahaa, kaanatil luqyaa ‘alaa ardhis saroobi…”.