Cerita ringan ini terjadi sebelum liburan musim panas kemarin. Sayang
kalau beberapa hikmah yang ada di dalamnya terlupakan begitu saja.
Malam itu tiba-tiba HP saya berdering, "Akhi, Antum besok bisa dampingi
Pak Tifatul ke Mekah?". Ternyata telepon dari pengurus Talbia Travel,
meminta saya untuk mendampingi Menkominfo Ir. Tifatul Sembiring dan
istri menuju ke kota Mekah guna melaksanakan ibadah Umroh.
Agak
berat sebenarnya menerima order ini, karena lusa saya harus mengikuti
tes seleksi S2 yang sangat menentukan perjalanan hidup saya ke depan.
Namun keinginan untuk ngobrol banyak dengan Pak Tif (begitu beliau
sering dipanggil) juga mendesak dalam hati. Sedangkan di seberang sana
pihak travel harap cemas menanti jawaban. "Toyyib, insya Allah bisa
Ustadz", akhirnya kalimat itu terlontar juga.
Esok
harinya, setelah sempat masuk kuliah, saya langsung meluncur menuju
hotel Dyar International menyiapkan keberangkatan. Berkoordianasi dengan
bell boy untuk mengemas barang dan menghubungi sopir GMC yang
akan membawa kami menuju Mekah. Di luar kelaziman memang, seorang
Menteri, yang biasanya menjadi tamu Kerajaan, menginap di hotel sekelas
Dyar yang biasa saja dan berada di ring kedua dari Masjid Nabawi.
Seringnya orang-orang penting dari Indonesia menginap di Obroy, Hilton,
atau minimal Movenpick. Uniknya lagi, beliau berangkat tanpa pengawal
atau ajudan sama sekali.
Setelah semua beres, dan kami berta'aruf sebentar, GMC langsung meluncur menuju tempat Miqot Dzulhulaifah untuk memulai Ihrom. Sepanjang perjalanan dari hotel ke Miqot
kami isi dengan rencana perjalanan dan berta'aruf dengan sopir GMC yang
orang Arab asli. Saya memanggilnya Aboyya. Ternyata percakapan Arab Pak
Menteri lumayan juga.
Sebelum kami melanjutkan
perjalanan menuju Mekah, Pak Tif minta diantar membeli minuman dan snack
untuk bekal di perjalanan. Waktu itu kami sempat saling berebut untuk
membayar. "Akhi, Antum kan mahasiswa, masa ntraktir kami? Ntar aja kalo
dah jadi bos". Hehe.. Pikir saya waktu itu beliau adalah tamu, harus
dihormati. Apalagi harganya tidak seberapa. "Tuh kan, gara-gara Antum
mau mbayari, istri ane jadi pekewuh mau nambah lagi. Udah, pake ini
aja.." Akhirnya beliau lah yang mentraktir kami semobil. Pintar juga Pak
Tif membuat alasan.
GMC yang kami tumpangi pun mulai meninggalakan Miqot. Kami semua melantunkan niat Umroh, "Labbaika Allahumma umrotan..". Saat itu suasana menjadi hening, tidak ada obrolan sama sekali. Yang terdengar hanya lantunan kalimat talbiyah. Saya dan sopir berada di depan, sedangkan Pak Tif dan istri duduk di kursi tengah.
Rasa
kantuk pun mulai menyerang saya. Maklum kecapekan habis kuliah. Diktat
materi untuk ujian S2 nanti pun tidak bertahan lama saya baca. Waktu
itu, dengan penuh semangat Pak Tif beserta istri masih terus melantunkan
kalimat talbiyah. Bahkan ketika sudah berjalan 100 KM lebih dari Miqot. Dalam batin saya, selama saya membimbing jama'ah Haji dan Umroh, tidak ada yang pernah sesemangat ini.
Setelah beberapa saat tertidur, saya pun terbangun. Dan subhanallah, Pak Tif masih bertahan melantunkan kalimat talbiyah yang memang disunnahkan dalam ibadah Umroh sejak mulai Ihram hingga nanti melihat Ka'bah. Saat merasa bosan, Pak Tif mengambil mushaf untuk tilawah
dan mengulang hafalan Qur'an. Ia pun berpindah-pindah dari satu lagu
murottal ke lagu yang lain. Sampai Aboyya di sebelah saya pun bertanya, "A haqqan huwa wazir?". Apa benar dia seorang Menteri? Menurutnya aneh ada Menteri seramah dan sealim ini. Apalagi dari Indonesia. "Ajiiiib.... ", kata Aboyya lagi.
Hingga
ketika jarak ke kota Mekah tinggal 100 KM lagi, Pak Tif minta untuk
mampir terlebih dahulu ke rumah makan. Saya sampaikan ke beliau bahwa
sepanjang jalan antara Madinah dan Mekah tidak ada rumah makan yang
layak. Pak Tif pun menjawab, "Mau layak kayak apa sih Akhi? Biasa aja,
yang penting bersih". Akhirnya kami pun berhenti di sebuah Math'am sederhana dan kembali Pak Tif mentraktir kami makan siang dengan fahm dajjaj dan samak maqli. Saya berdua dengan Aboyya dan Pak Tif satu meja sama istrinya.
Selesai
makan, kami pun melanjutkan perjalanan menuju kota Mekah. Kali ini
obrolan di antara kami jauh lebih cair. Banyak hal yang saya tanyakan
kepada Pak Tif terkait dengan kondisi terakhir dakwah, perpolitikan
Indonesia, atau prestasi-prestasi dan program terbaru Kominfo. Pak Tif
pun balik bertanya tentang aktivitas di kampus dan kondisi terkini Arab
Saudi serta Timur Tengah. Banyak hikmah dan wawasan baru yang saya
dapatkan dari perjalanan sejauh kurang lebih 500 KM ini.
Untuk
memperhangat suasana, tiba-tiba Pak Tif menyampaikan sebuah cerita yang
cukup jenaka. Kurang lebih cerita ini tentang seorang pengusaha asal
Amman, Jordania. Sebut saja namanya Amir. Di samping berbisnis di
Jordan, Amir juga mengelola usaha di Baghdad, Iraq. Jadi setiap beberapa
hari ia bolak-balik pergi ke Baghdad, sedangakan istrinya tinggal di
Amman. Cukup berat baginya berpisah dengan keluarga yang hampir seminggu
sekali.
Suatu hari Amir pergi ke Baghdad menggunakan
bus antar negara. Seperti biasa ia memilih tempat duduk di belakang
sopir bus. Di tengah perjalanan ia mendengar sang sopir melantunkan
sebuah pantun dengan penuh kegembiraan:
Bunga mawar bunga melati
Bermekaran di sepanjang jalan
Alangkah indah hidupku ini
Hidup antara Bagdad dan Amman
Begitu
terus sepanjang jalan sang sopir berdendang. Hingga sampailah bus pada
tujuan. Amir pun tinggal di Baghdad selama seminggu. Saat urusan Amir
selesai, ia pun segera kembali menuju Jordan. Tak disangka ia kembali
dapat bus dan sopir yang sama seperti saat ia berangkat seminggu yang
lalu. Ia pun kembali mendengar sang sopir berpantun ria:
Bunga mawar bunga melati
Bermekaran di sepanjang jalan
Alangkah indah hidupku ini
Hidup antara Bagdad dan Amman
Amir
pun menjadi penasaran, apa yang membuat sopir ini terlihat begitu
bahagia dengan pantunnya? Padahal seperti yang ia rasakan, sang sopir
harus bolak-balik antara Amman dan Baghdad meninggalkan istri dan
keluarga. Amir pun memulai obrolan sama sang sopir. Setelah bercakap ngalor-ngidul,
tiba-tiba iseng Amir bertanya, "Pak sopir, ngomong-ngomong Anda punya
istri berapa?". Sang sopir pun menjawab, "Oh, saya punya istri dua. Yang
satu tinggal di Amman, satunya lagi di Baghdad". Sedikit cuek, sang
sopir kembali mendendangkan pantun kesukaannya dengan sedikit dilagukan.
Sedangkan
Amir terus berkecamuk batin dan pikirannya. "Wah, pantesan ia begitu
gembira, ia punya istri dua! Ia tidak akan pernah merasa sedih saat
bekerja. Di Baghdad ada istri yang melayaninya, dan di Amman istri kedua
siap sedia. Uenak tenan..", kata Amir dalam hati. Amir pun menjadi
kepingin nikah lagi untuk yang kedua. Ia pikir seorang sopir aja bisa,
apalagi dia yang pengusaha. Cleguk!
Singkat cerita,
Amir pun melaksanakan niatnya berpoligami. Ia menikahi seorang gadis di
Baghdad. Ia pun terus bolak-balik antara Amman dan Bagdad. Namun sayang,
kehidupannya bukan bertambah bahagia. Justru sebaliknya, makin
sengsara. Poligami yang ia jalani kurang sukses. Amir tidak bisa
memenejemen emosi dan rasa cemburu kedua istrinya. Yang terjadi dari
hari ke hari hanya pertengkaran dan kemarahan. Saat di Amman, ia
bertengkar dengan istri pertamanya. Saat di Baghdad, ia pun berselisih
dengan istri mudanya.
Hingga suatu hari, saat ia
melakukan perjalanan menuju Baghdad, ia kembali menumpang bus dan sopir
yang sama. Ia pun memilih duduk paling depan dan di tengah perjalanan ia
berbisik kepada sang sopir, "Eh, Pak sopir, tahu nggak, saya sudah
nikah lagi dengan seorang gadis di Baghdad. Tapi baru beberapa bulan
berjalan, hidup malah tambah sengsara saya rasakan. Saat di Amman, saya
bertengkar dengan istri pertama. Di Baghdad juga sama keadaannya. Kalau
boleh tahu, apa resep Pak Sopir sukses mengelola dua keluarga?"
"Ha..ha..ha..ha.."
Sang sopir malah tertawa terbahak-bahak. Ia pun berbisik kepada Amir,
"Anda salah sangka Tuan, apa yang Anda alami juga sedang saya alami.
Makanya saya selalu berdendang: alangkah indah hidupku ini, hidup antara
Baghdad dan Amman. Karena kalau saya sampai di Amman, bertemu istri
pertama, saya disambut dengan pertengkaran. Begitu juga saat saya pulang
ke Baghdad, yang ada hanya perselisihan. Jadi, saya benar-benar
merasakan bahagianya hidup dan terbebas dari beban, adalah saat
sendirian menyopir antara Baghdad dan Amman."
Seketika
itu juga, saya, Pak Tif dan istri beliau tertawa lepas bersama. Hehe..
Beginilah kalau poligami hanya karena terprovokasi. Aboyya pun
terbengong-bengong melihat kami tertawa bersama. Sejak tadi ia tidak
paham apa yang kami obrolkan karena kami menggunakan bahasa Indonesia.
Maka Pak Tif pun meminta saya untuk menceritakan kembali kisah tadi
dengan bahasa Arab. Setelah selesai, kami semua kembali tertawa bersama,
termasuk Aboyya.
Namun tiba-tiba Aboyya angkat bicara
dengan nada serius. Menurutnya, masalah poligami cukup relatif. Beda
orang, beda kisahnya. Semua tergantung bagaimana niatan dan cara
menjalaninya. Aboyya bercerita bahwa ia punya seorang teman yang punya
istri dua juga. Sudah berjalan beberapa tahun, semua baik-baik saja.
Bahkan bisa dikatakan sangat bahagia. Padahal temannya itu keadaan
ekonominya cukup sederhana. Kedua istrinya pun tinggal satu rumah. Tapi
tidak ada masalah. Justru mereka saling membantu menyelesaikan tugas
rumah tangga. Kalau hari ini istri pertama yang masak, maka besoknya
gantian istri muda yang masak. Saat istri pertama baru melahirkan, maka
istri mudalah yang membantu mengurus segalanya. Begitu juga sebaliknya
saat istri muda giliran punya anak. Menurut Aboyya, keterpautan hati itu
bukan manusia yang mengaturnya. Ta'liful qulub itu Allah yang menentukan.
Luar
biasa! Kali ini kami mendapatkan tadzkiroh dari seorang sopir, yang
mungkin secara dzohir biasa saja, bahkan kelihatan sangat awwam. Secara
banyak sopir di Saudi yang peminum khamr dan meninggalkan sholat. Segera saja kami mengiyakan apa yang Aboyya sampaikan. "Wa allafa baina qulubihim. Lau anfaqta ma fil ardhi jami'an ma allafta baina qulubihim..",
begitu firman Allah dalam Al Qur'an. Maka tak jarang kita dapatkan
seseorang yang berpoligami dengan empat istri tapi terlihat
tenang-tenang saja. Karena sekali lagi keterikatan hati itu di tangan
Allah. Toh belum tentu yang memilih untuk beristri satu akan terhindar
dari pertikaian. Buktinya angka perceraian semakin hari semakin tinggi.
Bagi kita yang berharap ta'liful qulub
benar-benar bisa terwujud dalam keluarga, tidak ada jalan lain kecuali
memohon kepada Allah ta'ala. Kalau perlu sesekali dalam doa rabithah yang terlantun, bukan wajah ikhwah yang dibayang, tapi wajah istri dan anak-anak tersayang. Allahumma allif baina quluubinaa..