Rabu, 05 Oktober 2011

Pantun Poligami Dari Pak Menteri

Cerita ringan ini terjadi sebelum liburan musim panas kemarin. Sayang kalau beberapa hikmah yang ada di dalamnya terlupakan begitu saja. Malam itu tiba-tiba HP saya berdering, "Akhi, Antum besok bisa dampingi Pak Tifatul ke Mekah?". Ternyata telepon dari pengurus Talbia Travel, meminta saya untuk mendampingi Menkominfo Ir. Tifatul Sembiring dan istri menuju ke kota Mekah guna melaksanakan ibadah Umroh.

Agak berat sebenarnya menerima order ini, karena lusa saya harus mengikuti tes seleksi S2 yang sangat menentukan perjalanan hidup saya ke depan. Namun keinginan untuk ngobrol banyak dengan Pak Tif (begitu beliau sering dipanggil) juga mendesak dalam hati. Sedangkan di seberang sana pihak travel harap cemas menanti jawaban. "Toyyib, insya Allah bisa Ustadz", akhirnya kalimat itu terlontar juga.

Esok harinya, setelah sempat masuk kuliah, saya langsung meluncur menuju hotel Dyar International menyiapkan keberangkatan. Berkoordianasi dengan bell boy untuk mengemas barang dan menghubungi sopir GMC yang akan membawa kami menuju Mekah. Di luar kelaziman memang, seorang Menteri, yang biasanya menjadi tamu Kerajaan, menginap di hotel sekelas Dyar yang biasa saja dan berada di ring kedua dari Masjid Nabawi. Seringnya orang-orang penting dari Indonesia menginap di Obroy, Hilton, atau minimal Movenpick. Uniknya lagi, beliau berangkat tanpa pengawal atau ajudan sama sekali.

Setelah semua beres, dan kami berta'aruf sebentar, GMC langsung meluncur menuju tempat Miqot Dzulhulaifah untuk memulai Ihrom. Sepanjang perjalanan dari hotel ke Miqot kami isi dengan rencana perjalanan dan berta'aruf dengan sopir GMC yang orang Arab asli. Saya memanggilnya Aboyya. Ternyata percakapan Arab Pak Menteri lumayan juga.

Sebelum kami melanjutkan perjalanan menuju Mekah, Pak Tif minta diantar membeli minuman dan snack untuk bekal di perjalanan. Waktu itu kami sempat saling berebut untuk membayar. "Akhi, Antum kan mahasiswa, masa ntraktir kami? Ntar aja kalo dah jadi bos". Hehe.. Pikir saya waktu itu beliau adalah tamu, harus dihormati. Apalagi harganya tidak seberapa. "Tuh kan, gara-gara Antum mau mbayari, istri ane jadi pekewuh mau nambah lagi. Udah, pake ini aja.." Akhirnya beliau lah yang mentraktir kami semobil. Pintar juga Pak Tif membuat alasan.

GMC yang kami tumpangi pun mulai meninggalakan Miqot. Kami semua melantunkan niat Umroh, "Labbaika Allahumma umrotan..". Saat itu suasana menjadi hening, tidak ada obrolan sama sekali. Yang terdengar hanya lantunan kalimat talbiyah. Saya dan sopir berada di depan, sedangkan Pak Tif dan istri duduk di kursi tengah.

Rasa kantuk pun mulai menyerang saya. Maklum kecapekan habis kuliah. Diktat materi untuk ujian S2 nanti pun tidak bertahan lama saya baca. Waktu itu, dengan penuh semangat Pak Tif beserta istri masih terus melantunkan kalimat talbiyah. Bahkan ketika sudah berjalan 100 KM lebih dari Miqot. Dalam batin saya, selama saya membimbing jama'ah Haji dan Umroh, tidak ada yang pernah sesemangat ini.

Setelah beberapa saat tertidur, saya pun terbangun. Dan subhanallah, Pak Tif masih bertahan melantunkan kalimat talbiyah yang memang disunnahkan dalam ibadah Umroh sejak mulai Ihram hingga nanti melihat Ka'bah. Saat merasa bosan, Pak Tif mengambil mushaf untuk tilawah dan mengulang hafalan Qur'an. Ia pun berpindah-pindah dari satu lagu murottal ke lagu yang lain. Sampai Aboyya di sebelah saya pun bertanya, "A haqqan huwa wazir?". Apa benar dia seorang Menteri? Menurutnya aneh ada Menteri seramah dan sealim ini. Apalagi dari Indonesia. "Ajiiiib.... ", kata Aboyya lagi.

Hingga ketika jarak ke kota Mekah tinggal 100 KM lagi, Pak Tif minta untuk mampir terlebih dahulu ke rumah makan. Saya sampaikan ke beliau bahwa sepanjang jalan antara Madinah dan Mekah tidak ada rumah makan yang layak. Pak Tif pun menjawab, "Mau layak kayak apa sih Akhi? Biasa aja, yang penting bersih". Akhirnya kami pun berhenti di sebuah Math'am sederhana dan kembali Pak Tif mentraktir kami makan siang dengan fahm dajjaj dan samak maqli. Saya berdua dengan Aboyya dan Pak Tif satu meja sama istrinya.

Selesai makan, kami pun melanjutkan perjalanan menuju kota Mekah. Kali ini obrolan di antara kami jauh lebih cair. Banyak hal yang saya tanyakan kepada Pak Tif terkait dengan kondisi terakhir dakwah, perpolitikan Indonesia, atau prestasi-prestasi dan program terbaru Kominfo. Pak Tif pun balik bertanya tentang aktivitas di kampus dan kondisi terkini Arab Saudi serta Timur Tengah. Banyak hikmah dan wawasan baru yang saya dapatkan dari perjalanan sejauh kurang lebih 500 KM ini.

Untuk memperhangat suasana, tiba-tiba Pak Tif menyampaikan sebuah cerita yang cukup jenaka. Kurang lebih cerita ini tentang seorang pengusaha asal Amman, Jordania. Sebut saja namanya Amir. Di samping berbisnis di Jordan, Amir juga mengelola usaha di Baghdad, Iraq. Jadi setiap beberapa hari ia bolak-balik pergi ke Baghdad, sedangakan istrinya tinggal di Amman. Cukup berat baginya berpisah dengan keluarga yang hampir seminggu sekali.

Suatu hari Amir pergi ke Baghdad menggunakan bus antar negara. Seperti biasa ia memilih tempat duduk di belakang sopir bus. Di tengah perjalanan ia mendengar sang sopir melantunkan sebuah pantun dengan penuh kegembiraan:

Bunga mawar bunga melati
Bermekaran di sepanjang jalan
Alangkah indah hidupku ini 
Hidup antara Bagdad dan Amman

Begitu terus sepanjang jalan sang sopir berdendang. Hingga sampailah bus pada tujuan. Amir pun tinggal di Baghdad selama seminggu. Saat urusan Amir selesai, ia pun segera kembali menuju Jordan. Tak disangka ia kembali dapat bus dan sopir yang sama seperti saat ia berangkat seminggu yang lalu. Ia pun kembali mendengar sang sopir berpantun ria:

Bunga mawar bunga melati
Bermekaran di sepanjang jalan
Alangkah indah hidupku ini 
Hidup antara Bagdad dan Amman 

Amir pun menjadi penasaran, apa yang membuat sopir ini terlihat begitu bahagia dengan pantunnya? Padahal seperti yang ia rasakan, sang sopir harus bolak-balik antara Amman dan Baghdad meninggalkan istri dan keluarga. Amir pun memulai obrolan sama sang sopir. Setelah bercakap ngalor-ngidul, tiba-tiba iseng Amir bertanya, "Pak sopir, ngomong-ngomong Anda punya istri berapa?". Sang sopir pun menjawab, "Oh, saya punya istri dua. Yang satu tinggal di Amman, satunya lagi di Baghdad". Sedikit cuek, sang sopir kembali mendendangkan pantun kesukaannya dengan sedikit dilagukan.

Sedangkan Amir terus berkecamuk batin dan pikirannya. "Wah, pantesan ia begitu gembira, ia punya istri dua! Ia tidak akan pernah merasa sedih saat bekerja. Di Baghdad ada istri yang melayaninya, dan di Amman istri kedua siap sedia. Uenak tenan..", kata Amir dalam hati. Amir pun menjadi kepingin nikah lagi untuk yang kedua. Ia pikir seorang sopir aja bisa, apalagi dia yang pengusaha. Cleguk!

Singkat cerita, Amir pun melaksanakan niatnya berpoligami. Ia menikahi seorang gadis di Baghdad. Ia pun terus bolak-balik antara Amman dan Bagdad. Namun sayang, kehidupannya bukan bertambah bahagia. Justru sebaliknya, makin sengsara. Poligami yang ia jalani kurang sukses. Amir tidak bisa memenejemen emosi dan rasa cemburu kedua istrinya. Yang terjadi dari hari ke hari hanya pertengkaran dan kemarahan. Saat di Amman, ia bertengkar dengan istri pertamanya. Saat di Baghdad, ia pun berselisih dengan istri mudanya.

Hingga suatu hari, saat ia  melakukan perjalanan menuju Baghdad, ia kembali menumpang bus dan sopir yang sama. Ia pun memilih duduk paling depan dan di tengah perjalanan ia berbisik kepada sang sopir, "Eh, Pak sopir, tahu nggak, saya sudah nikah lagi dengan seorang gadis di Baghdad. Tapi baru beberapa bulan berjalan, hidup malah tambah sengsara saya rasakan. Saat di Amman, saya bertengkar dengan istri pertama. Di Baghdad juga sama keadaannya. Kalau boleh tahu, apa resep Pak Sopir sukses mengelola dua keluarga?"

"Ha..ha..ha..ha.." Sang sopir malah tertawa terbahak-bahak. Ia pun berbisik kepada Amir, "Anda salah sangka Tuan, apa yang Anda alami juga sedang saya alami. Makanya saya selalu berdendang: alangkah indah hidupku ini, hidup antara Baghdad dan Amman. Karena kalau saya sampai di Amman, bertemu istri pertama, saya disambut dengan pertengkaran. Begitu juga saat saya pulang ke Baghdad, yang ada hanya perselisihan. Jadi, saya benar-benar merasakan bahagianya hidup dan terbebas dari beban, adalah saat sendirian menyopir antara Baghdad dan Amman."

Seketika itu juga, saya, Pak Tif dan istri beliau tertawa lepas bersama. Hehe.. Beginilah kalau poligami hanya karena terprovokasi. Aboyya pun terbengong-bengong melihat kami tertawa bersama. Sejak tadi ia tidak paham apa yang kami obrolkan karena kami menggunakan bahasa Indonesia. Maka Pak Tif pun meminta saya untuk menceritakan kembali kisah tadi dengan bahasa Arab. Setelah selesai, kami semua kembali tertawa bersama, termasuk Aboyya.

Namun tiba-tiba Aboyya angkat bicara dengan nada serius. Menurutnya, masalah poligami cukup relatif. Beda orang, beda kisahnya. Semua tergantung bagaimana niatan dan cara menjalaninya. Aboyya bercerita bahwa ia punya seorang teman yang punya istri dua juga. Sudah berjalan beberapa tahun, semua baik-baik saja. Bahkan bisa dikatakan sangat bahagia. Padahal temannya itu keadaan ekonominya cukup sederhana. Kedua istrinya pun tinggal satu rumah. Tapi tidak ada masalah. Justru mereka saling membantu menyelesaikan tugas rumah tangga. Kalau hari ini istri pertama yang masak, maka besoknya gantian istri muda yang masak. Saat istri pertama baru melahirkan, maka istri mudalah yang membantu mengurus segalanya. Begitu juga sebaliknya saat istri muda giliran punya anak. Menurut Aboyya, keterpautan hati itu bukan manusia yang mengaturnya. Ta'liful qulub itu Allah yang menentukan.

Luar biasa! Kali ini kami mendapatkan tadzkiroh dari seorang sopir, yang mungkin secara dzohir biasa saja, bahkan kelihatan sangat awwam. Secara banyak sopir di Saudi yang peminum khamr dan meninggalkan sholat. Segera saja kami mengiyakan apa yang Aboyya sampaikan. "Wa allafa baina qulubihim. Lau anfaqta ma fil ardhi jami'an ma allafta baina qulubihim..", begitu firman Allah dalam Al Qur'an. Maka tak jarang kita dapatkan seseorang yang berpoligami dengan empat istri tapi terlihat tenang-tenang saja. Karena sekali lagi keterikatan hati itu di tangan Allah. Toh belum tentu yang memilih untuk beristri satu akan terhindar dari pertikaian. Buktinya angka perceraian semakin hari semakin tinggi.

Bagi kita yang berharap ta'liful qulub benar-benar bisa terwujud dalam keluarga, tidak ada jalan lain kecuali memohon kepada Allah ta'ala. Kalau perlu sesekali dalam doa rabithah yang terlantun, bukan wajah ikhwah yang dibayang, tapi wajah istri dan anak-anak tersayang. Allahumma allif baina quluubinaa..

Sabtu, 28 Mei 2011

Selamat Jalan Wahai Muslimah Tangguh...



Pagi itu, sebelum subuh, saya bertemu seorang teman di tempat wudhu, "Kim, tau Bu Yoyoh? Kata Pak Tif di twitter, beliau meninggal". "Masa sih? Baru kemarin Bu Yoyoh kirim SMS ke ane, yang bener ente?!", jawab saya. Langsung setelah Subuhan saya buka internet. Ternyata betul, Ustadzah Yoyoh Yusroh telah tiada. Innaa lillaahi wainnaa ilaihi roji'un.

Kurang lebih sebulan yang lalu, saya berkesempatan membimbing rombongan Umrah Talbia Travel. Bu Yoyoh dan kedua anaknya ikut serta dalam rombongan tersebut. Disitulah awal interaksi saya dengan Bu Yoyoh dan keluarga. Selama ini saya cuma mendengar dan membaca tentang beliau dari kejauhan; seorang da'iyah senior yang sudah malang melintang di dunia dakwah, pada berbagai lininya.

Kesan yang tertangkap pertama kali dari Bu Yoyoh saat bertemu adalah kesederhanaan dan kebersahajaan. Tanpa banyak aksesoris, pernik-pernik, bahkan kosmetik, dibandingkan pada umumnya jama'ah Umroh. Begitulah menurut saya dan rombongan yang lain waktu itu. Bersama kedua putranya, Ayyash dan Ghozin, ia membaur dengan jama'ah tanpa tersekat sama sekali. Banyak yang tidak tahu kalau seorang ibu kelahiran 14 November 1962 itu adalah seorang anggota DPR RI.

Muslimah Tangguh. Mungkin istilah itu pantas disandang olehnya. Bagaimana tidak, karir dakwahnya telah dimulai sejak awal perintisan tarbiyah di Indonesia. Bahkan sebelum itu, saat ia masih belia. Ketika medan dakwah siayasi memanggil, ia pun berada di barisan terdepan kaum hawa. Terbukti, sudah dua kali ia menjadi anggota DPR Pusat sejak 1999. Masih segar di ingatan, saat Bu Yoyoh dan tim habis-habisan memperjuangkan UU Anti Pornografi.

Berbagai amanah pun diembannya, dari menjadi Dewan Pakar ICMI, DPP, Pesantren Ummu Habibah, PP SALIMAH, hingga menjadi pimpinan International Muslim Women Union (IMWU). Ia juga mendapat tanda jasa Mubaligh Nasional dari Departemen Agama Pusat pada tahun 2001.

Akan tetapi, tugas-tugas besar itu ternyata tidak membuat kewajibannya sebagai seorang ibu terbengkalai. Bu Yoyoh memiliki 13 orang anak dan 2 orang cucu. Luar biasa! Anak-anaknya pun sangat prestatif dan membanggakan. Di antara mereka ada yang studi di Al Azhar, Mesir. Ada juga yang mendapat beasiswa ke Eropa. Sebagian lagi kuliah di perguruan tinggi ternama Indonesia, seperti ITB dan UGM. Sedangkan Ayyash (kelas 3 SMP) dan Ghozin (kelas 2 SMP), keduanya adalah Hafidz Al Qur'an.

Malam itu, setelah siangnya kami berziarah keliling kota Madinah, Bu Yoyoh mengajak saya makan malam di restoran bersama kedua putranya. Banyak hal yang kami obrolkan waktu itu. Soal keinginan Ayyash untuk melanjutkan SMA di Madinah, hingga kesibukan Bu Yoyoh di forum internasional. Ia bercerita, bahwa setelah umroh nanti, ia harus langsung menuju Syiria untuk Konferensi Internasional soal Palestina. Sebelumnya, ia baru saja pulang dari Sudan untuk tugas yang sama. Bahkan bersama rombongan KNRP, Bu Yoyoh berhasil menembus masuk ke Ghaza. Iri rasanya melihat foto Bu Yoyoh bersama PM Ismail Haniya dan pimpinan Ghaza yang lain.

Setelah itu, komunikasi di antara kami tetap berlanjut. Khususnya membahas rencana Ayyash melanjutkan SMA di Madinah. Saat Bu Yoyoh kembali ke Saudi bersama Komisi I DPR RI untuk mengawasi pemulangan ribuan TKI yang terlantar di Jeddah, ia sempat menelepon. Dan kemarin, Bu Yoyoh kembali mengirim sms, "Aslm. Apa kabar Akh Hakim? Afwan, Ayyash semangat sekali ingin sekolah di Madinah dan tidak mau daftar ke SMU/Aliyah disini... Saya sudah buka web UM yang Antum beri, tapi disitu tidak ada pendaftaran, ada pengumuman kelulusan aja. Jadi saya mohon saran Antum bagaimana proses pendaftarannya, jazakallah..". Subhanallah, total sekali ia menjadi seorang ibu, gumam saya.

Dan ternyata, itu adalah SMS terakhir dari beliau. Berikutnya, yang terkirim adalah kabar musibah yang memilukan. Bukan, bukan musibah sebenarnya. Tapi pintu peristirahatan dari dunia yang melelahkan. Untuk kemudian melangit menghadap Sang Kekasih dengan penuh kebahagiaan.