Rabu, 21 Desember 2016

Siapa Dituduh, Siapa Menuduh


MENDOAKAN AHOK

Tidak diragukan lagi, dalam menghadapi pertempuran abadi antara Al-Haqq dan Al-Baathil, selain usaha dan aksi nyata, doa adalah senjata seorang Mukmin yang paling utama. Addu'aa silaahul Mu'min.
Terkait dengan Ahok, sebagian dari Muslimin ada yang "berbaik hati" menyeru untuk mendoakannya agar mendapat hidayah. Mungkin itu karena tafa'ul da'awi (optimisme dakwah) yang tinggi. Mungkin juga karena tertipu dengan citra yang dipropagandakan televisi. Salahkah?
Ibnu Bathal mengatakan, "Rasulullah senang dengan masuknya orang-orang kafir kepada Islam. Beliau tidak terburu-buru untuk mendoakan keburukan, selagi ia berharap keislaman mereka. Bahkan beliau mendoakan hidayah untuk mereka" (Syarh Shohih Al-Bukhori, 5/114).
Sebagaimana Rasulullah pernah mendoakan hidayah bagi 'Umar, meskipun ia masih dalam keadaan kafir. Atau seperti saat Rasulullah mendoakan anak cucu penduduk Thaif, setelah beliau diusir dan dilempari batu.
Namun, Rasulullah juga pernah mencontohkan doa kebinasaan bagi orang-orang kafir. Ibnu Bathal berkata, "Adapun yang tidak diharapkan keislamannya, dan dikhawatirkan mudhorotnya (bagi Islam), maka Rasulullah mendoakan kehancuran buat mereka" (Syarh Shohih Al-Bukhori, 5/114).
Hal itu sebagaimana doa Rasulullah untuk kebinasaan para dedengkot kafir Quraisy atau pasukan Ahzab yang menampakkan permusuhan kepada umat Islam dan menista agama-Nya.
Lalu, doa apa yang lebih tepat saat ini untuk Ahok? Apakah doa hidayah, atau doa keburukan dan kebinasaan?
Ibnu 'Ainy menjelaskan, "Sesungguhnya Nabi mendoakan keburukan atau kebinasaan bagi mereka, saat semakin keras permusuhan mereka, banyak menyakiti, dan tidak ada rasa aman dari keburukan mereka atas kaum Muslimin" ('Umdatul Qaary, 21/443).
Dulu saat ditanya tentang hukum mendoakan Bush, Syaikh Sholih Al-Munajjid menjawab "Setiap kondisi ada penyikapan tersendiri. Jika orang-orang kafir semakin keras memusuhi dan menyakiti kaum Muslimin, maka yang masyru' (disyariatkan) adalah mendoakan kebinasaan buat mereka".

Dari Kota Seribu Cahaya, turut mendukung dengan selaksa doa...

Jum'at, 2 Desember 2016
@hakimuddinsalim

Senin, 04 April 2016

BIARKAN ANAK-ANAK BAHAGIA DI MASJID


Masjid kampung kami, daerah Rabwah, pinggiran kota Madinah, adalah masjid yang ramai dengan anak-anak karena dekat dengan apartemen mahasiswa yang sudah berkeluarga. Saya sendiri sangat menikmati suasana riuh itu. Biasanya saya sempatkan menyapa anak-anak lintas negara itu, mecubit pipi mereka, atau sekedar mengusap kepala mereka.

Hingga akhir-akhir ini, ketika sering terjadi keributan antar jama'ah, masjid kami menjadi sepi. Sehabis salam, sering ada bapak-bapak yang teriak memarahi jama'ah lain lantaran anaknya yang masih kecil "mengganggu" kekhusyua'annya. Bukan saja sang ayah yang kena "damprat", sang anak pun juga kena "semprot".

Bahkan pernah ada bapak-bapak yang terus ngomel tak henti-henti dengan suara keras, sambil melewati jama'ah lain yang masbuq (terlambat). Saya yang waktu itu juga masbuq, merasa sangat terganggu dengan omelan itu, melebihi terganggunya kami dengan ramainya anak-anak. "Enta az'ajtana aktsar mimma az'ajal athfaal ya basya!".

Kini masjid kami menjadi sepi. Anak-anak itu sudah jarang kelihatan. Semoga saja mereka tidak trauma datang ke masjid gara-gara kejadian kemarin. Semoga juga generasi pewaris itu tidak sedang asyik berada di tempat lain yang belum tentu baik untuk tumbuh kembang mereka. Seperti banyak anak-anak di tanah air yang lebih betah di warnet, main play station atau counter strike.

Rasulullah SAW pernah bersabda, "Perintahkanlah anak-anakmu untuk melaksanakan sholat pada usia tujuh tahun. Dan pukullah mereka (jika enggan melaksanakannya) pada usia sepuluh tahun" (HR. Imam Ahmad). Syeikh 'Utsaimin menjelasakan, bahwa usia tujuh tahun adalah batas maksimal untuk mulai mengajak mereka ke masjid. Karena menyuruh mereka sholat, terkandung padanya menyuruh mereka ke masjid. Apalagi anak laki-laki.

Pun proses lahirnya generasi "Rajulun mu'allaqun qolbuhu bil masajid" (lelaki yang hatinya terikat dengan masjid) - yang termasuk dalam tujuh golongan yang akan mendapat naungan dari Alloh Ta'ala di padang Mahsyar - harus sudah dimulai sejak mereka dini usia. Kalau tidak, keburu mereka terikat dengan yang lain di luar sana.

Adapun hadits yang berbunyi, "Jannibuu shibyaanakum minal masajid" (jauhkan anak-anak kecil kalian dari masjid), menurut para ulama (seperti Al-Bani), adalah hadits dho'if, tidak bisa dijadikan sandaran. Apalagi jika diartikan secara mutlak. Sedangkan banyak syawahid lain yang bertentangan dengan itu.

Lalu bagaimana dengan anak-anak di bawah usia tujuh tahun? Meski mengakui besarnya faidah tarbawiyah dengan membawa mereka ke masjid, secara fiqih, para ulama mensyaratkan beberapa hal: di antaranya aman dari najis dan tidak mengganggu pelaksanaan sholat.

Artinya, tetaplah bawa anak-anak ke masjid, namun perhatikan syarat-syarat tersebut di atas. Toh dulu Rasulullah SAW pernah mengerjakan shalat sambil menggendong Umamah kecil, putri Zainab dari suaminya yang bernama Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’. Pada saat berdiri, beliau menggendongnya dan saat sujud, beliau meletakkannya (HR. Bukhori Muslim).

Juga kisah beliau bersama cucu yang lain, yaitu Hasan bin ‘Ali. Saat suatu hari Hasan naik ke atas punggung Nabi SAW yang sedang ruku’, padahal beliau sedang memimpin sholat berjamaah. Para jamaah yang berada di belakang Nabi tentu mulai heran, “Mengapa kok ruku’ Nabi selama ini?”, tanya mereka dalam hati. Tapi Nabi SAW tetap tidak panik, apalagi menurunkan dan memarahi cucu tersayang.

Setelah hasan turun dari punggung Nabi, beliau pun bangun dari ruku’nya yang lama. Namun ketika sujud, gantian Husain yang dari tadi berada di sekitar Nabi naik ke atas punggung beliau. Bagi Husain yang masih kecil, posisi Nabi pada saat sujud merupakan kesempatan yang tepat untuk menjangkau punggung orang tercinta itu. Husain pun menikmati hangatnya punggung Nabi, hingga ia betah berlama-lama di atasnya.

Rasulullah SAW tak bergeming sedikit pun, ia tetap dalam keadaan bersujud, enggan melerai Husain dari punggungnya. Mungkin Nabi takut mengecewakan Husain yang sedang bermain di atas punggungnya, atau mungkin takut ia terjatuh. Setelah merasa puas berlama-lama di punggung kakeknya, Husain segera turun. Nabi pun bangkit dari sujud untuk melanjutkan sholatnya.

Atas kejadian tersebut, para sahabat mengira nabi akan marah kepada Hasan dan Husain. Tapi ternyata setelah salam Nabi bersikap biasa, tanpa ekspresi kemarahan atau kekesalan atas “gangguan” yang dilakukan kedua cucunya.

Kasus yang hampir sama juga pernah terjadi saat Rasulullah SAW sedang berkhutbah. Di tengah khutbah, tiba-tiba Hasan datang menghampiri. Anak kecil itu pun naik ke atas mimbar. Bukan menghalau atau mengusirnya, justru Nabi SAW dengan penuh kelembutan memeluknya dan mengusap kepalanya seraya berdoa, “Anakku (cucuku) ini adalah seorang pemimpin, mudah-mudahan kelak melalui tangannya, Allah SWT akan mendamaikan antara dua kelompok besar dari kaum Muslimin.” (HR. Imam Ahmad)

Soal najis, tentu di zaman modern ini lebih mudah mengatasinya. Air yang melimpah, aneka macam pampers, dan berbagai jenis alat pembersih, adalah solusi nyata. Tentu para ayahanda dan ibunda lebih paham cara mensiasatinya.

Adapun tentang kekhusyu'an, menurut saya itu relatif. Semua tergantung yang menjalaninya. Orang yang shalat di tengah lalu lalang banyak manusia pun, seperti di Masjidil Haram, tetap akan bisa khusyu kalau dia mau. Bahkan Mujahidin di medan pertempuran pun, dengan sholat khouf-nya, tetap memungkinkan untuk bisa khusyu'.

Meskipun, ini berbeda antara orang yang satu dengan yang lainnya. Ada yang memang sangat terganggu dengan keributan anak kecil. Terutama orang yang sudah tua. Seperti Ibu saya, yang tiap pulang dari Masjid, sering mengeluhkan ramainya anak-anak. Kalau ini tidak diperhatikan, pastilah terjadi keributan. Bukan saja kekhusyua'an yang terganggu, psikis sang anak pun akan terluka mendengar "semprotan" banyak orang.

Maka dari itu, perlu kerjasama berbagai pihak untuk memecahkan masalah ini. Para orang tua harus bisa "pangerten" mengarahkan anak-anak untuk bisa "anteng" selama sholat berjama'ah ditunaikan. Tahdzib itu tetapa harus dilakukan. Jangan dibiarkan. Tentu dibantu dan didukung oleh jama'ah lain, tanpa harus membuat keributan.

Saya sendiri pernah berkali-kali berhasil mengajak anak-anak yang sedang "gojekan", untuk ikut sholat berjama'ah. Saya sapa dulu, senyum, tarik pelan-pelan, lalu diajak ikut sholat di samping saya. Akhirnya anak itu (entah anak siapa) ikut menyelesaikan sholat sampai akhir. Bagaimana caranya lah...

Peran DKM atau Ta'mir Masjid juga tidak kalah penting. Kalau perlu masjid menyediakan arena atau ruang bermain khusus untuk anak-anak. Atau bisa juga di buat Tempat Penitipan Anak. Berlebihan kah? Tentu tidak! Ini adalah investasi murah demi melahirkan generasi masa depan yang dekat dengan Masjid.

Ah, saya jadi rindu dengan sebuah Masjid di pelosok Klaten sana, yang merupakan surga dunia pertama saya. Namanya Masjid Al-Munawwarah. Masih segar di ingatan, pembina TPA saya, Mas Parjono namanya, yang selalu sabar memeluk hangat saya, agar saya yang masih TK tidak berlarian kemana-mana. Jazahullah ahsanal jazaa...

Indahnya Pagi Bersama Lantunan Doa


SYIAH DAN PEMBEBASAN PALESTINA


Pasca KTT OKI kemarin, isu Palestina kembali mencuat ke publik Indonesia. Tak urung berbagai pihak ikut menyampaikan respon dukungan, apa pun motivasi dan ideologinya. Tentu ini sangat positif. Inilah yang namanya kemenangan nilai. Saat agenda yang kita perjuangkan, ikut didukung dan disuarakan lain barisan. Meski bukan kita yang dapat tepuk tangan.

Tak terkecuali barisan pro Syiah. Beberapa aktivis Syiah dan pendukungnya dari kalangan liberal ikut angkat suara soal Palestina. Statement-statement heroik dari mereka pun bermunculan. Sebagian malah meng-klaim sebagai donatur utama. Namun, apa benar selama ini Rafidhah lah yang membantu Hamas?

Beberapa hari yang lalu, saat acara Multaqo Dirosat 'Ulya di Madinah, Syekh Mahraan menegaskan fakta sebenarnya. Ulama muda asal Palestina itu mengatakan, bahwa Hamas selama ini memang terbuka menerima dana dan dukungan dari siapa saja demi pembebasan Palestina. Baik dari negara Barat, Komunis, apalagi Syiah.

Bahkan canda beliau, Syetan sekalipun kalau mau menyumbang dana, mereka akan terima dengan tangan terbuka. Tapi, semua itu tanpa ada syarat! Hamas akan menolak syarat apa pun dari donatur, terutama jika itu bertentangan dengan prinsip perjuangan dan nilai dasar Islam.

Seperti saat Iran menawarkan pembangunan sebuah masjid di Gaza. Mereka mensyaratkan masjid itu harus diberi nama Imam Khomeini. Tentu saja Hamas menolak syarat ini. Mereka tidak sudi Palestina menjadi ajang propaganda dan menarik simpati. Konon sampai saat ini, masjid tersebut tak kunjung dibangun.

Syekh Mahraan mengingatkan akan kebiasaan Syiah selama ini dalam meng-eksploitasi isu-isu yang menarik simpati publik. Seperti soal Revolusi Islam, anti Amerika, termasuk isu Palestina. Sebagaimana mereka telah sukses mengangkat tema cinta Ahlul Bait, meski 'Ali bin Abi Thalib RA dan segenap Ahlul Bait sendiri, baraa' (berlepas diri) dari mereka.

Tentu kita juga ingat, konflik antara Milisi Syiah Hizbullah dengan Zionis Israel di dataran tinggi Golan satu dasa warsa yang lalu. Saat itu Hizbullah mendapatkan simpati yang luar biasa dari dunia Islam. Bahkan Grand Syaikh Al-Azhar sempat menggelari Hasan Nashrullah sebagai Mujahid Islam. Namun seiring berjalannya waktu, sandiwara itu terungkap. Israel tak dirugikan apa-apa dari kontak senjata pura-pura itu. Malahan kini Hizbullah terbukti terlibat aktif membantu rezim Syiah Nushairiyah dalam membantai Muslimin di Syiria.

Yang teranyar, soal uji coba rudal balistik milik Iran. Rudal itu bertuliskan "Israel Must be Wiped Out". Kita tunggu saja apakah rudal itu akan benar-benar menghantam dan meluluh-lantakkan Israel? Atau itu cuma "kura-kura dalam perahu" seperti biasanya?

Yang pasti, sejarah telah mencatat, pencetus dan pelopor utama ideologi Syiah adalah seorang zindiq bernama Abdullah bin Saba'. Ia seorang Yahudi asal Yaman yang menyamar sebagai Muslim untuk melakukan infiltrasi. Lantas dibakar hidup- hidup oleh Imam 'Ali RA sendiri karena bersikukuh menuhankannya. Jika di zaman ini Rafidhah memusuhi bahkan menyerang Israel, itu jeruk makan jeruk namanya...

MAHALNYA NYAWA SEORANG MUSLIM


ANTARA KITA DAN ORANG KAFIR


Sebenarnya, apa sih dasar hubungan antara kita dengan orang kafir? Lawan atau kawan? Musuhan atau damai? Pertanyaan ini penting untuk dijawab, karena ini akan mempengaruhi cara kita bersikap terhadap mereka.

Dalam acara Ta'hil Thullab Dirosat 'Ulya, Syekh Prof. Dr. Abdul Mun'im Al-Bukhori menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Ada yang berpendapat dasar hubungan kita dengan orang kafir adalah hubungan damai ('alaqah silmiyah). Ada juga yang berpendapat dasar hubungannya adalah permusuhan ('alaqah 'udwaniyah).

Pendapat pertama berdalil, bahwa kita dan orang kafir terikat dengan hubungan kemanusiaan ('alaqah basyariah). Kita dan mereka sama-sama keturunan Nabi Adam AS. Dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8, Alloh tidak melarang kita untuk berbuat baik dan adil kepada mereka, selagi mereka tidak memusuhi, menindas dan memerangi kita. Serta sejumlah dalil naqli dan 'aqli lainnya.

Sedangkan pendapat kedua berhujjah, tidak ada perdamaian antara keimanan dan kekufuran. Dalam Al-Qur'an banyak sekali perintah untuk memerangi mereka, hingga penghambaan dan peribadatan murni seutuhnya hanya untuk Alloh. Rasulullah sendiri menegaskan, umirtu an uqaatila annaasa hattaa yasyhaduu allaa ilaaha illalloh...

Yang menarik adalah, Syekh Abdul Mun'im punya pendapat sendiri yang lain dari keduanya. Pakar aqidah yang pernah setahun tinggal di Indonesia ini, berpandangan bahwa dasar hubungan kita dengan orang kafir adalah hubungan dakwah ('alaqah da'awiyah).

Kita yang diberi karunia hidayah oleh Alloh, berkewajiban untuk menularkan hidayah tersebut kepada mereka. Berusaha berdakwah kepada mereka dengan hikmah, mau'idzoh hasanah, dan debat dengan cara yang baik. Mengajak sebanyak mungkin orang untuk masuk surga, harus menjadi obsesi kita.

Andai terpaksa berperang dengan mereka pun, itu adalah dalam rangka membela diri dan melindungi dakwah. Seperti yang terjadi di Palestina, Syiria, Rohingnya, Afghan, Iraq, dan belahan dunia Islam lainnya.

Atau bisa juga karena agenda perluasan dakwah. Seperti yang terjadi pada masa keemasan Islam, saat Umat punya kekuatan. Itu pun untuk sampai terjadi perang, harus melalui tahapan-tahapan panjang, seperti: negosiasi diplomatik, ultimatum untuk menyerah, atau penawaran untuk membayar jizyah.

Berperang pun, Islam mengatur dengan sangat ketat adab dan etikanya. Tidak boleh membunuh anak kecil, orang tua, atau para pendeta di rumah ibadahnya. Kenapa? Selain alasan kemanusiaan, itu semua karena dasar hubungan kita dengan mereka adalah dakwah. Siapa tahu orang-orang yang tidak terlibat permusuhan itu tertarik dengan Islam dan mau beriman. Wallahu a'lam bisshowab.

Sabtu, 02 April 2016

MUHASABAH JIWAKU


Tersadar, terhenyak, dan tergugu
Tak terasa tiga puluh tahun berlalu

Jauh dari sahabat Mu'adz bin Jabal
Yang paling faqih haram dan halal

Tidak seperti Muhammad 'Abdul Hadi
Ilmuwan hadits tersohor seluruh negeri

Atau pun sehebat Hafizh Al-Hakami
Ma'aarijul Qabul-nya berkah hingga kini

Bertinta emas nama-nama mereka
Meski hanya terkarunia kepala tiga

Sedangkan dirimu wahai jiwa?
Masih berkubang jahl, lalai dan dosa

Moga ada waktu untuk bangkit berlari
Terbang, menukik ke puncak tertinggi

Hingga di usia empat puluh nanti
Lisan ini pantas berucap: Rabbi auzi'ni

An asykura ni'matakallati an'amta
'Alayya wa 'alaa waalidayya...

Senja Hari di Kota Nabi, 2/4/2016

Rabu, 23 Maret 2016

Ogah Lembek Terhadap Kebatilan


Terlalu lembut menghadapi penyimpangan, sama salahnya dengan terlalu keras menghadapi perbedaan. Hikmah adalah bersikap tepat sesuai proporsi, situasi dan kondisi. Wadh'us syai' fi mahallihi...

Diin ini tidak dijaga oleh para Ulama yang enggan menjelaskan perintah dan larangan. Yang hanya berkutat pada keutamaan, akhlak, atau sejuk-sejuk saja yang penting aman...

Alloh telah mengamanahi mereka untuk menjaga ajaran-Nya. Tapi mereka hanya berani menjaga jendelanya dan membiarkan pintunya lebar terbuka. Kun anta shohibal mauqif!

Senin, 21 Maret 2016

PRAY FOR TURKEY


Senin, 07 Maret 2016

Pengemban Panji yang Paling Mengilmui Al-Qur'an



Haamilul Qur’aan haamilu raayatil Islam. Para penghafal Al-Qur’an, mereka adalah pengemban panji Islam. Kata-kata emas ini sungguh telah diwujudkan oleh sahabat agung, ‘Ali bin Abi Thalib, baik secara harfi maupun ma’nawi. Satu dari sahabat Nabi yang paling hafal Al-Qur’an ini, tercatat selalu terdepan dalam medan peperangan. Bahkan ‘Ali lah yang terpilih memegang panji kepemimpinan.

Seperti saat perang Khaibar. Diriwayatkan bahwa malam hari menjelang peperangan, Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam bersabda, “Sungguh besok aku akan berikan panji ini kepada seseorang, yang melalui tangannya Alloh akan memberi kemenangan. Ia mencintai Alloh serta Rasul-Nya, dan Alloh serta Rasul-Nya pun mencintainya” (HR. Imam Bukhori).

Mendengar sabda Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam tersebut, berdebar lah dada para sahabat. Semua berharap bahwa lelaki beruntung yang dijanjikan sang Rasul itu adalah mereka. Tapi ternyata keesokan harinya yang dipanggil untuk diberi panji adalah ‘Ali bin Abi Thalib yang saat itu sedang sakit mata. Dan benar saja, kemudian hari pasukan pimpinannya berhasil mendobrak benteng Yahudi Khaibar dan meraih kemenangan.

Sebelumnya, kehebatannya di medan laga juga sudah dibuktikan ‘Ali bin Abi Thalib dalam perang Badar. Pada permulaan peperangan, ‘Ali lah yang maju kedepan untuk melakukan mubarazah sebelum perang dimulai. Dengan pedangnya Dzulfikar yang bermata dua, ‘Ali berhasil memenangkan perang tanding itu. Sampai akhir peperangan, ‘Ali mampu menumbangkan sepertiga dari total korban musuh yang berjumlah 70 orang.

‘Ali bin Abi Thalib juga terkenal memiliki keahlian yang unik sepanjang sejarah, yaitu menyelam dalam pasir, untuk kemudian menyergap musuh secara tiba-tiba. Saat perang Ahzaab, ia berhasil membunuh Amru bin Wud Al-‘Amiri, seorang jagoan Mekkah yang terkenal dengan kebengisan dan keganasanya. Hingga pasukannya pun lari ketakutan.

Dalam perang Hunain, ‘Ali juga terdepan dalam barisan. Bahkan di saat hampir 12.000 pasukan Muslimin mendapatkan serangan mendadak, hingga mereka lari tunggang langgang meninggalkan Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam bersama segelintir sahabat, ‘Ali bin Abi Thalib lah yang sigap menguasai keadaan dan mengumpulkan kembali pasukan yang berserakan. Dari situlah kekalahan di awal peperangan berbalik menjadi kemenangan.

Bahkan semenjak belia, sepupu Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam itu, pernah bertaruh nyawa dengan menggantikan Rasulullah di tempat tidur beliau, untuk mengelabuhi para jagoan Makkah yang telah merencanakan pembunuhan. Seandainya para utusan kabilah-kabilah Quraisy itu langsung menikam sosok berselimut hijau yang sedang berbaring itu, maka tamat lah hidup ‘Ali yang masih berusia muda.

Pemuda perkasa yang menikahi Fathimah binti Rasulillah itu, bernama lengkap ‘Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthallib Al-Hasyimi Al-Qurasyi karramallahu wajhah. Ia termasuk dalam sahabat yang pertama kali masuk Islam (assabiqunal awwalun) dan termasuk dalam sepuluh sahabat yang dijamin masuk syurga (almubassyarin bil jannah). Surat Al-Baqarah ayat 207, ”Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya demi mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”, ayat itu turun berkenaan dengan dirinya.

Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam pernah mendoakan ‘Ali secara khusus, “Ya Allah, tetapkanlah lisannya dan berilah petunjuk pada hatinya” (HR. Imam Ahmad). Tak ayal ia pun menjadi salah satu dari delapan sahabat yang berhasil menyetorkan hafalan Qur’annya langsung kepada Rasulullah dan bermuara kepadanya sanad al-qiro’ah al-‘asyrah, sebagaimana dinukil dari Imam Dzahabi dalam Ma’rifatu Kibaril Qurra'.

Bukan sekedar hafalan Al-Qur’an yang kuat, ‘Ali juga terkenal di kalangan sahabat sebagai orang yang paling mengilmui Al-Qur’an. Ia paling paham makna dan maksud yang terkandung pada setiap ayat. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Apa yang aku ambil dari tafsir Al-Qur’an, maka itu dari ‘Ali”. Jika seperti itu perkataan Ibnu Abbas yang dijuluki sebagai turjumanul Qur’an, maka bagaimana dengan ‘Ali bin Abi Thalib yang menjadi sumber utama tafsirnya?

Sahabat yang mempunyai sifat zuhud itu, juga terkenal sebagai orang yang paling mengerti tentang asbaabun nuzul (sebab diturunkannya Al-Qur’an). Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah menukil perkataan ‘Ali bin Abi Thalib, “Demi Allah, tidak lah ayat Al-Qur’an turun, kecuali aku telah mengetahui dimana dan tentang apa ia diturunkan. Dan sungguh Rabbku telah mengkaruniakan kepadaku hati yang peka dan lisan yang selalu bertanya (tentang ilmu)”.

‘Ali bin Abi Thalib juga sangat menekankan pentingnya tadabbur Al-Qur’an. Hal itu tersurat jelas dalam kata-kata emasnya, “Sungguh seorang faqih sejati adalah yang tidak membuat manusia putus asa dari rahmat Allah, dan tidak membuat mereka merasa aman dari adzab-Nya, serta tidak memberi keringanan untuk berbuat maksiat, juga tidak meninggalkan Al-Qur’an karena mengutamakan yang lain. Tidak ada kebaikan pada ibadah yang tidak disertai ilmu, dan tidak ada kebaikan pada ilmu yang tidak disertai dengan pemahaman, juga tidak ada kebaikan pada bacaan Al-Qur’an yang tidak disertai tadabbur”.

Sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam At-Tibyan, Khalifah Rasyidah keempat itu juga mengingatkan akan pentingnya pengamalan dari apa yang dibaca. ‘Ali bin Abi Thalib memberi nasehat khusus kepada para huffadh, “Wahai para pengemban Al-Qur’an, amalkanlah Al-Qur’an, karena sesungguhnya ulama sejati adalah yang mengamalkan ilmunya dan amalannya sesuai dengan ilmu yang dimilikinya”.

Lalu ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu melanjutkan, “Akan ada sekelompok manusia, mereka mempunyai ilmu tapi ilmu mereka tidak pernah melewati kerongkongan mereka. Amalan mereka tidak sesuai dengan ilmu mereka. Kondisi mereka di waktu sendiri berbeda dengan saat dilihat orang banyak. Mereka duduk dalam halaqah dan saling membanggakan diri. Sampai terjadi seorang dari mereka marah dan membenci temannya, karena ia duduk bersama yang lain dan meninggalkannya”. Radhiyallahu ta’ala ‘anhu wa ‘anis shohabati ajma’in.


:: Artikel ini ditulis untuk rubrik Jejak Salaf di www.ibnu-abbas.com

Minggu, 28 Februari 2016

Ikhlaskan Hati Untuk Berbagi Suami


Di sebalik tabir keberhasilan seorang pejuang, selalu ada sosok perempuan hebat di belakangnya. Bersama langkah para qaadah dan ‘udhoma dalam sejarah umat ini, selalu ada dukungan istri yang setia mendampingi. Para kaum berhati lembut itu, bukan sekedar berstatus istri, tapi berhasil menggandakan perannya sebagai peneguh keyakinan, penajam pikiran, telaga keteduhan, selimut ketenangan, dan penghibur dalam kesedihan.

Ada kesetiaan Hawa, bersama tugas berat Adam sebagai khalifah. Ada qona’ah Hajar, di samping kuatnya tauhid Ibrahim. Ada dukungan moral dan material dari Khadijah, saat Muhammad berhadapan dengan para thoghut Mekkah. Ada nasehat emas Moudhy, di balik gerakan tajdid Muhammad bin Saud. Ada kesabaran Lathifah, di belakang langkah juang Al-Banna. Ada kelembutan Masrurah, yang memperindah wibawa Hasyim Asy’ari. Ada peran serta Siti Walidah, bersama kecemerlangan Ahmad Dahlan.

Namun demikian, tak sedikit para pejuang yang surut langkahnya setelah bertengger di pelaminan. Apalagi para pejuang akhir zaman. Alih-alih kiprah dan prestasi dakwahnya bertambah, pernikahan yang diharapkannya bakal menghasilkan lompatan-lompatan hebat, justru membuat semangat juangnya sekarat. Tentu banyak sebab atas degradasi militansi yang terjadi, tapi acapkali salah satu sebab itu berasal dari sang istri.

Ada yang semenjak menikah, menjadi jarang kelihatan di agenda-agenda dakwah. Padahal ia dulu terkenal sebagai aktifis yang militan dan produktif. Bagaimana mau aktif berdakwah, jika hendak keluar rumah untuk rapat atau mengisi kajian, sang istri selalu pasang wajah cemberut. Apalagi jika pamit mau mukhoyyam, sang istri langsung bermuram durja dan meneteskan air mata. Lalu bagaimana jika panggilan jihad tiba?

Ada pula yang terkendala perbedaan fikrah. Sang akhwat yang dinikahinya, ternyata tak sepakat dengan visi dan misi dakwahnya. Perdebatan hebat sering terjadi, yang tak jarang berakhir pada pertengkaran sengit. Demi menyelamatkan bahtera rumah tangga, terpaksa ia undur diri dari komunitas dakwahnya. Sayangnya, di komunitas yang baru ia merasa tak nyaman. Sampai saat ini ia masih vakum dan kebingungan, laa ilaa haa-ulaa’ walaa ilaa haa-ulaa’.

Ada juga yang terganjal semangatnya untuk tholabul ‘ilmi. Sebenarnya kebutuhan umat terhadap kafa’ah syar’i telah membuatnya bertekad untuk kuliah hingga doktor di luar negeri. Namun tekad itu melemah setelah ia menikah. Rengekan dan keluhan sang istri yang tak tahan hidup di perantauan, membuatnya urung mewujudkan impian. Ia pun pulang ke tanah air dengan tangan hampa dan pupus harapan.

Pun ada yang terbelit masalah ekonomi. Pendapatannya sebagai guru di pesantren dan penceramah di berbagai mejelis ta’lim, terasa kurang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hal itu diperparah dengan gaya hidup sang istri yang cenderung boros dan tinggi selera. Terpaksa ia harus banting setir keluar dari pesantren dan menyibukkan diri dengan dagangannya. Hingga tak ada lagi bagi dakwah waktu yang tersisa.

Cuplikan fenomena di atas semestinya tidak perlu terjadi jika para istri memahami dan menyadari peran besar mereka sebagai tulang punggung perjuangan. Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam menjanjikan kepada perempuan yang mendukung suaminya untuk berjihad, berdakwah, menuntut ilmu, dan bersabar atas itu semua, dengan pahala yang sama dengan pahala yang didapatkan oleh suaminya.

Sebagaimana hadits tentang Asma’ binti Yazid Al-Anshariyah radhiallahu ‘anha, bahwa dia mendatangi Rasulullah, sementara beliau sedang duduk di antara para sahabatnya. Asma’ pun berkata, “Aku korbankan bapak dan ibuku demi dirimu wahai Rasulullah. Aku adalah utusan para wanita di belakangku kepadamu. Sesungguhnya Allah mengutusmu kepada seluruh laki-laki dan wanita, maka mereka beriman kepadamu dan kepada Rabbmu. Kami para perempuan selalu dalam keterbatasan, sebagai penjaga rumah, tempat menyalurkan hasrat dan mengandung anak-anak kalian”.
Asma’ pun melanjutkan, “Sementara kalian kaum laki-laki mengungguli kami dengan shalat Jum’at, shalat berjamaah, menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, berhaji setelah sebelumnya sudah berhaji dan yang lebih utama dari itu adalah jihad fi sabilillah. Jika lah seorang dari kalian pergi haji atau umrah atau jihad, maka kamilah yang menjaga harta kalian, yang menenun pakaian kalian, yang mendidik anak-anak kalian. Bisakah kami menikmati pahala dan kebaikan itu sama seperti kalian?”.
Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam pun memandang para sahabat dengan segenap wajahnya. Kemudian beliau bersabda, “Apakah kalian pernah mendengar ucapan seorang perempuan yang lebih baik pertanyaannya tentang urusan agamanya dari pada perempuan ini?” mereka menjawab, “Ya Rasulullah, kami tidak pernah menyangka ada wanita yang bisa bertanya seperti dia”.
Maka Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam menengok kepadanya dan bersabda, “Pahamilah wahai perempuan, dan beritahu para wanita di belakangmu, bahwa ketaatan istri kepada suaminya, usahanya untuk memperoleh ridhanya dan kepatuhannya terhadap keinginannya menyamai semua itu.” Wanita itu pun berlalu dengan wajah berseri-seri. (HR. Imam Baihaqi).
Harus disadari dan diyakini, saat para pejuang itu banting tulang untuk membela dan menolong agama Allah ta’ala, hingga tak ada waktu dan tenaga yang tersisa buat keluarga, apakah Allah akan membiarkan keluarga yang dicintainya terlantar? Allah ta’ala telah menjanjikan, “Jika kalian menolong (agama) Allah, maka Allah akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian” (QS. Muhammad: 7).

Seperti juga yang diriwayatkan Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam bersabda, “Jagalah Allah, maka Allah akan menjagamu” (HR. Imam Tirmidzi). Tinta sejarah telah mencatat, bahwa penjagaan Allah terhadap siapa yang mau menjaga agama dan hukum-hukum-Nya disini tidak hanya bagi diri yang bersangkutan, tetapi dengan izin Allah penjagaan itu juga mencakup anak dan istri yang menjadi tanggungannya.

Tentu wujud pertolongan dan penjagaan Allah di atas bukan melulu berupa materi. Semua itu bisa terwujud dalam keberkahan hidup, anak-anak yang sholeh dan sholehah, kemudahan urusan, dijauhkan dari musibah, dan terpautnya hati manusia kepadanya. Itu semua adalah berkah perjuangan yang datang dari arah yang tak disangka.

Memang, para suami juga harus diingatkan untuk tidak lalai menunaikan kewajibannya terhadap keluarga. Namun kadang terjadi, meski sudah diatur dan diupayakan sedemikian rupa, realita perjuangan menuntut pengorbanan lebih hingga tak ada waktu tersisa. Lagi pula hangatnya hubungan tak selalu harus bersama. Bahkan perpisahan sementara akan membuncahkan rindu di dada dan cinta pun semakin membara. Sometimes we need to disconnect to make a fresh connection.

Hari ini, agenda besar nahdhotul ummah (kebangkitan umat) membutuhkan lebih banyak pengorbanan dan relawan sebagai martirnya. Ini akan meminta apa pun yang kita miliki, termasuk orang-orang terdekat yang kita cintai. Maka dari itu, tidak ada jalan lain bagi para istri, kecuali ikhlas dan ikhtisab untuk berbagi suami. Ya, berbagi suami dengan dakwah demi tegaknya panji Ilahi.

Semoga kebersamaan yang tertahan di dunia ini, berbuah kebersamaan abadi di surga nanti. “Dan orang-orang yang bersabar karena mengharap ridha-Nya, mendirikan shalat, dan berinfaq dari rizki yang Kami berikan kepada mereka, sembunyi atau terang-terangan, dan menolak keburukan dengan kebaikan; mereka itulah yang mendapat tempat kesudahan yang baik. Yaitu syurga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama orang-orang yang saleh dari bapak-bapak, isteri-isteri dan anak cucu mereka.” (QS. Ar-Ra’d: 22-23).

:: Artikel ini ditulis untuk situs dakwah www.manhajuna.com

Minggu, 21 Februari 2016

بحث ببيلوغرافي عن تفسير ابن كثير واستفادته في مجال التربية


        كنت بحمد الله ممن تدرج في مسالك العلم في هذه الجامعة المباركة، الجامعة الإسلامية بالمدينة المنورة حتى وصلت في مرحلة الماجستير قسم التربية وكان لزاما على الطالب في مادة مناهج البحث في المصادر الإسلامية أن يحرر بحثا ببليوغرافيا يختار له كتابا من كتب التراث. فقد أجلت دقائق النظر، وأطلت سوانح الفكر، فرأيت حقا علي أن أبحث في تفسير ابن كثير، وأشمر له عن دراعي، رغم قصر باعي، وقلة اطلاعي، مستمدا العون من الله عز وجل.
       إني لأرى حقا علي صدر هذا البحث أن أزجي الشكر الوافر، والثناء الواطر إلى كل من أعانني في عملي هذا بأي شكل من أشكال العون. وبخاصة لصاحب الفضيلة الدكتور الشيخ محمد عمر فلاته (حفظه الله) على حسن تدريسه وتعليمه في القاعة، والذي كان رحب الصدر حيث كان لآرائه وتوجيهاته الأثر الكبير في تقويم هذا البحث وتسديده.
        وفي ختام هذه المقدمة أعترف بأن هذه المحاولة هي أول الدرج في درب الأبحاث العلمية الجادة فما زلت في بداية الطريق ولذالك فإن ما توصلت إليه من نتائج ربما احتاج إلى تسديد، وما قمت به من جهد ربما احتاج إلى إكمال وتأييد، فإن أكن وصلت إلى الغاية التي رمتها، وأنضيت راحلتي من أجلها فذاك من فضل الله علي. وإن أكن قصرت عنها أو ضللت الطريق إليها فذالك مني ومن الشيطان. وأسأل الله المغفرة عما سلف من الذنوب والعصيان و أستمد منه العون فهو وحده المستعان وعليه التكلان. والحمد لله رب العالمين.


المبحث الأول
ترجمة الحافظ ابن كثير

المطلب الأول: نسبه وميلاده
       هو الإمام الحافظ، المحدث، المؤرخ، عماد الدين، أبو الفداء إسماعيل بن عمر بن كثير بن ضوء بن كثير بن ضوء بن درع القرشي الدمشقي الشافعي. ولد بقرية "مِجْدَل" من أعمال بصرى، وهي قرية أمه، سنة سبعمائة للهجرة أو بعدها بقليل.[1]
المطلب الثاني: نشأته
        نشأ الحافظ ابن كثير في بيت علم ودين، فأبوه عمر بن حفص بن كثير أخذ عن النواوي والفزاري وكان خطيب قريته، وتوفى أبوه وعمره ثلاث سنوات أو نحوها، وانتقلت الأسرة بعد موت والد ابن كثير إلى دمشق في سنة (707 هـ)، وخلف والده أخوه عبد الوهاب، فقد بذل جهدًا كبيرًا في رعاية هذه الأسرة بعد فقدها لوالدها، وعنه يقول الحافظ ابن كثير: "وقد كان لنا شقيقا، وبنا رفيقًا شفوقًا، وقد تأخرت وفاته إلى سنة (750 هـ) فاشتغلت على يديه في العلم فيسر الله منه ما تيسر وسهل منه ما تعسر".[2]

المطلب الثالث: شيوخه
ومن أشهر شيوخ ابن كثير:[3]
1-شيخ الإسلام أبو العباس أحمد بن تيمية، رحمه الله.
2-الحافظ أبو الحجاج يوسف المزي، رحمه الله.
3-الحافظ أبو عبد الله محمد بن أحمد الذهبي، رحمه الله.
4-الشيخ أبو العباس أحمد الحجار الشهير بـ "ابن الشحنة".
5-الشيخ أبو إسحاق إبراهيم الفزاري، رحمه الله.
6-الحافظ كمال الدين عبد الوهاب الشهير بـ "ابن قاضي شهبة".
7-الإمام كمال الدين أبو المعالي محمد بن الزملكاني، رحمه الله.
8-الإمام محيي الدين أبو زكريا يحيى الشيباني، رحمه الله.
9-الإمام علم الدين محمد القاسم البرزالي، رحمه الله.
10-الشيخ شمس الدين أبو نصر محمد الشيرازي، رحمه الله.
11-الشيخ شمس الدين محمود الأصبهاني، رحمه الله.
12-عفيف الدين إسحاق بن يحيى الآمدي الأصبهاني، رحمه الله.
13-الشيخ بهاء الدين القاسم بن عساكر، رحمه الله.
14-أبو محمد عيسى بن المطعم، رحمه الله.
15-عفيف الدين محمد بن عمر الصقلي، رحمه الله.
16-الشيخ أبو بكر محمد بن الرضى الصالحي، رحمه الله.
17-محمد بن السويدي، بارع في الطب.
18-الشيخ أبو عبد الله بن محمد بن حسين بن غيلان، رحمه الله.
19-الحافظ أبو محمد عبد المؤمن الدمياطي، رحمه الله.
20-موسى بن علي الجيلي، رحمه الله.
21-جمال الدين سليمان بن الخطيب، قاضي القضاة.
22-محمد بن جعفر اللباد، شيخ القراءات.
23-شمس الدين محمد بن بركات، رحمه الله.
24-شمس الدين أبو محمد عبد الله المقدسي، رحمه الله.
25-الشيخ نجم الدين بن العسقلاني.
26-جمال الدين أبو العباس أحمد بن القلانسي، رحمه الله.

المطلب الرابع: تلاميذه
وأما من أشهر تلاميذ ابن كثير:[4]
1-الحافظ علاء الدين بن حجي الشافعي، رحمه الله.
2-محمد بن محمد بن خضر القرشي، رحمه الله.
3-شرف الدين مسعود الأنطاكي النحوي، رحمه الله.
4-محمد بن أبي محمد بن الجزري، شيخ علم القراءات، رحمه الله.
5-ابنه محمد بن إسماعيل بن كثير، رحمه الله.
6-الإمام ابن أبي العز الحنفي، رحمه الله.

المطلب الخامس: مؤلفاته
وقد كثرت مؤلفات ابن كثير. أما من أشهرها:
1-تفسير القرآن العظيم.
2-فضائل القرآن.
3-أحاديث الأصول.
4-شرح صحيح البخاري.
5-التكميل في الجرح والتعديل ومعرفة الثقات والمجاهيل.
6-اختصار علوم الحديث.
7-جامع المسانيد والسنن الهادي لأقوم سنن.
8-مسند أبي بكر الصديق، رضي الله عنه.
9-مسند عمر بن الخطاب، رضي الله عنه.
10-الأحكام الصغرى في الحديث.
11-تخريج أحاديث أدلة التنبيه في فقه الشافعية.
12-تخريج أحاديث مختصر ابن الحاجب: طبع مؤخرًا بتحقيق الكبيسي، ونشر في مكة.
13-مختصر كتاب "المدخل إلى كتاب السنن" للبيهقي.
14-جزء في حديث الصور.
15-جزء في الرد على حديث السجل.
16-جزء في الأحاديث الواردة في فضل أيام العشرة من ذي الحجة.
17-جزء في الأحاديث الواردة في قتل الكلاب.
18-جزء في الأحاديث الواردة في كفارة المجلس.
19-الأحكام الكبرى.
20-كتاب الصيام.
21-أحكام التنبيه.
22-جزء في الصلاة الوسطى.
23-جزء في ميراث الأبوين مع الإخوة.
24-جزء في الذبيحة التي لم يذكر اسم الله عليها.
25-جزء في الرد على كتاب الجزية.
26-جزء في فضل يوم عرفة.
27-المقدمات في أصول الفقه.
28-البداية والنهاية.
29-جزء مفرد في فتح القسطنطينية.
30-السيرة النبوية.
31-طبقات الشافعية.
32-الواضح النفيس في مناقب محمد بن إدريس.
33-مناقب ابن تيمية.
المطلب السادس: وفاته ورثاؤه
       في يوم الخميس السادس والعشرين من شهر شعبان سنة أربع وسبعين وسبعمائة توفي الحافظ ابن كثير بدمشق، ودفن بمقبرة الصوفية عند شيخه ابن تيمية، رحمه الله. وقد ذكر ابن ناصر الدين أنه "كانت له جنازة حافلة مشهودة، ودفن بوصية منه في تربة شيخ الإسلام ابن تيمية بمقبرة الصوفية".[5]
       وقد قيل في رثائه، رحمه الله:
لفقدك طلاب العلوم تأسفوا ... وجادوا بدمع لا يبير غزير
ولو مزجوا ماء المدامع بالدما ... لكان قليلا فيك يا بن كثير

المطلب السابع: ثناء العلماء عليه
       كان ابن كثير، من أفذاذ العلماء في عصره، أثنى عليه معاصروه ومن بعدهم الثناء الجم:
فقد قال الحافظ الذهبي في طبقات شيوخه: "وسمعت مع الفقيه المفتي المحدِّث، ذى الفضائل، عماد الدين إسماعيل بن عمر بن كثير البصروي الشافعي.. سمع من ابن الشحنة وابن الزراد وطائفة، له عناية بالرجال والمتون والفقه، خرَّج وناظر وصنف وفسر وتقدم". وقال عنه أيضًا في المعجم المختص: "الإمام المفتي المحدِّث البارع، فقيه متفنن، محدث متقن، مفسر نقال".[6]
       وقال تلميذه الحافظ أبو المحاسن الحسيني: "صاهر شيخنا أبا الحجاج المزي فأكثر، وأفتى ودرس وناظر، وبرع في الفقه والتفسير والنحو وأمعن النظر في الرجال والعلل".[7]
       وقال العلامة ابن ناصر الدين: "الشيخ الإمام العلامة الحافظ عماد الدين، ثقة المحدثين، عمدة المؤرخين، علم المفسرين".[8] وقال ابن تغري بردي: "لازم الاشتغال، ودأب وحصل وكتب وبرع في الفقه والتفسير والفقه والعربية وغير ذلك، وأفتى ودرس إلى أن توفى".[9]
        وقال ابن حجر العسقلاني: "كان كثير الاستحضار، حسن المفاكهة، سارت تصانيفه في البلاد في حياته، وانتفع الناس بها بعد وفاته".[10] وقال ابن حبيب: "إمام روى التسبيح والتهليل، وزعيم أرباب التأويل، سمع وجمع وصنف، وأطرب الأسماع بالفتوى وشنف، وحدث وأفاد، وطارت أوراق فتاويه إلى البلاد، واشتهر بالضبط والتحرير، وانتهت إليه رياسة العلم في التاريخ، والحديث والتفسير".[11]
        وقال العيني: "كان قدوة العلماء والحفاظ، وعمدة أهل المعاني والألفاظ، وسمع وجمع وصنف، ودرس، وحدث، وألف، وكان له اطلاع عظيم في الحديث والتفسير والتاريخ، واشتهر بالضبط والتحرير، وانتهى إليه رياسة علم التاريخ والحديث والتفسير وله مصنفات عديدة مفيدة".[12]
       وقال ابن حجي: "أحفظ من أدركناه لمتون الأحاديث، وأعرفهم بجرحها ورجالها وصحيحها وسقيمها، وكان أقرانه وشيوخه يعترفون له بذلك، وكان يستحضر شيئا كثيرا من الفقه والتاريخ، قليل النسيان، وكان فقيها جيد الفهم، ويشارك في العربية مشاركة جيدة، ونظم الشعر".
المبحث الثان
 التعريف بتفسير ابن كثير
المطلب الأول: العنوان والتوثيق
      إن صحة نسبة كتاب التفسير للحافظ ابن كثير أمر مقطوع به، ولولا أن الباحثين اعتادوا ذكر هذا الفصل وإلا لما ذكرته لشهرة هذا التفسير.
وممن ذكر هذا التفسير وعزاه لمؤلفه:
1-الزيلعي في تخريج أحاديث الكشاف.
2-الحافظ ابن حجر في فتح الباري.
3-ابن أبي العز في شرح العقيدة الطحاوية.
4-السيوطي في الدر المنثور.
5-الشوكاني في فتح القدير.
6-الشيخ سليمان بن عبد الله بن الشيخ محمد بن عبد الوهاب في تيسير العزيز الحميد.
7-الشيخ عبد الرحمن بن حسن بن الشيخ محمد بن عبد الوهاب في فتح المجيد.
وأما عنوانه، فالمشهور "تفسير القرآن العظيم"، وجاء ذلك على طرة النسخة "ط"، وبعض النسخ تسميه: "تفسير ابن كثير".

المطلب الثاني: تاريخ كتابته
        لم يحدد الحافظ ابن كثير، رحمه الله، تاريخ بدايته في كتابة هذا التفسير ولا تاريخ انتهائه منه، لكن ثمة دلائل تدل على تاريخ انتهائه منه، فإنه ذكر عند تفسير سورة الأنبياء شيخه المزي ودعا له بطول العمر مما يفهم منه أنه قد ألف أكثر من نصف التفسير في حياة شيخه المزي المتوفى سنة (742 هـ).
        واقتبس منه الإمام الزيلعي في كتابه تخريج أحاديث الكشاف (2-180) والزيلعي توفي سنة (762 هـ)، مما يدل على أن كتاب الحافظ ابن كثير انتشر في هذه الفترة.
        هذا وتعتبر النسخة المكية أقدم النسخ التي وقعت بأيدينا، وقد جاء بآخرها: "آخر كتاب فضائل القرآن وبه تم التفسير للحافظ العلامة الرحلة الجهبذ مفيد الطالبين الشيخ عماد الدين إسماعيل الشهير بابن كثير، على يد أفقر العباد إلى الله الغني محمد بن أحمد بن معمر المقري البغدادي، عفا الله عنه ونفعه بالعلم، ووفقه للعمل به، بتاريخه يوم الجمعة عاشر جمادى الآخرة من سنة تسع وخمسين وسبعمائة هلالية هجرية".[13]
المطلب الثالث: نسخ الكتاب
        يعتبر تفسير القرآن العظيم للحافظ ابن كثير من الكتب التي انتشرت في خزائن المكتبات الإسلامية، فقد وجدت نسخه في مكة والرياض ومصر واسطنبول والهند والمغرب وإيرلندا وباريس.
       والاختلاف بين هذه النسخ اختلاف كبير، فالنسخ التي في الرياض مثلا يغلب عليها الاختصار وحذف الأسانيد والتصرف في الكتاب، هذا في الغالب فلا يستغرب، أو أقول: لا يعتمد أن توجد نسخة ليس فيها قصة العتبي المذكورة في سورة النساء؛ لأن هذه النسخة حديثة جدًا مع ما ذكرت من المنهج في النسخ الموجودة في نجد وغيرها من النسخ المعتمدة ذكر هذه القصة، وقد نبهت عليها في موضعها.[14]
المطلب الرابع: الطبعات والتحقيقات وعدد الأجزاء
لقد طبع الكتاب مرات كثيرة وبالتحقيق عديد من المحققين، فمن أكثرها انتشارا:
1.    طباعة دار طيبة للنشر والتوزيع، بتحقيق سامي بن محمد سلامة ، الطبعة : 1420هـ - 1999 م ، وعدد الأجزاء : 8.
2.   طباعة دار الفكر، بتحقيق محمود حسن، الطبعة: 1414هـ/1994م، عدد الأجزاء: 4.
3.   طباعة مؤسسة قرطبة ومكتبة أولاد الشيخ للتراث، بتحقيق مصطفى السيد محمد ومحمد السيد رشاد ومحمد فضل العجماوي وعلي أحمد عبد الباقي، الطبعة : 1412هـ - 2000م، عدد الأجزاء : 14.
4.   طباعة دار القبلة ودار ابن الحزم، بحقيق الدكتور محمد إبراهيم البنا، وعدد الأجزاء: 8 مجلد.
5.   طباعة دار عالم الكتب، بتحقيق مصطفى السيد محمد ومحمد السيد رشاد ومحمد فضل العجماوي وعلي أحمد عبد الباقي، وحسن عباس قطب. وعدد الأجزاء: 15.

      فمن أحسن هذه الطباعات والتحقيقات هي طباعة دار طيبة للنشر والتوزيع، بتحقيق سامي بن محمد سلامة. حيث تميز بدقة تخريج الأحاديث والآثار وجودة الطباعة وفخر تجليدها. ثم يليها طباعة دار عالم الكتب، بتحقيق مصطفى السيد محمد ومحمد السيد رشاد ومحمد فضل العجماوي وعلي أحمد عبد الباقي، وحسن عباس قطب. فهذه الطبعة أول الطبعة مقابلة على النسخة الأزهرية، وكذالك على نسخة كاملة بدار الكتب المصرية.

المطلب الخامس: المختصرات لتفسير ابن كثير
       وقد اخْتُصِر الكتاب عدة مختصرات وهي كما يلي:
1 - عمدة التفسير عن الحافظ ابن كثير
       اختصار وتحقيق الشيخ أحمد شاكر. وقال الشيخ : ثم رأيت أن أبدأ بالذي هو أيسر وأقرب للناس وهو التفسير المختصر. ولكن الشيخ مات قبل أن يتم هذا المختصر. وقد طبع منه خمسة أجزاء فقط، من أول التفسير حتى نهاية الكلام على قوله تعالى: " ليحق الحق ويبطل الباطل ولو كره المجرمون " (الأنفال:8).
2 - مختصر تفسير ابن كثير
       اختصار وتحقيق محمد علي الصابوني. وهذا المختصر قيل أن الصابوني حرف فيه تحريفا عظيما لكلام ابن كثير وقد شرق بمنهج ابن كثير السلفي في عقيدة التوحيد وابن كثير بريء من ذلك. ولهذا حذر العلماء وطلبة العلم من مختصرات الصابوني وعلى رأسهم سماحة الشيخ عبدالعزيز بن عبدالله بن باز في رسالة بعنوان: " تنبيهات هامة على ما كتبه الشيخ محمد علي الصابوني في صفات الله عزوجل.
       وكذلك الشيخ المحدث محمد ناصر الدين الألباني في مقدمة الجزء الرابع من " السلسلة الصحيحة " وفي مواضع من من الجزئين الثالث والرابع من " السلسلة الضعيفة " (3/310 ، 471 ، 593) - (4/51 ، 412).
        وهناك رسالة قيمة للشيخ بكر بن عبدالله أبو زيد بعنوان " التحذير من مختصرات محمد علي الصابوني في التفسير " ذكر فيها ما فعله من تحريف وتضليل للمختصرات التي اختصرها.
3 - تيسير العلي القدير لاختصار تفسير ابن كثير (اختصار الشيخ محمد نسيب الرفاعي . وهذا الكتاب مطبوع في أربعة مجلدات).
4- مختصر تفسير ابن كثير (اختصار الشيخ محمد كريم سعيد راجح).
5- لباب التفسير من ابن كثير (اختصار عبدالله بن محمد آل الشيخ).
       وأحسن هذه المختصرات وأصحها وأفضلها عمدة التفسير لأحمد شاكر فهو أقرب هذه المختصرات إلى روح تفسير ابن كثير ولفظه ومعناه إضافة إلى ما اشتمل عليه من تحقيقات وتخريجات جيدة. ولكن يبقى الرجوع إلى اصل التفسير هو المفيد وأن لا يعول طالب العلم على شيء من هذه المختصرات.[15]

المبحث الثالث
محاسن تفسير ابن كثير

المطلب الأول: أهميته ومميزاته
       يعد تفسير الحافظ ابن كثير، رحمه الله، من الكتب التي كتب الله لها القبول والانتشار، فلا تكاد تخلو منه اليوم مكتبة سواء كانت شخصية أو عامة.
       وقد نهج الحافظ ابن كثير فيه منهجًا علميًا أصيلا وساقه بعبارة فصيحة وجمل رشيقة، وتتجلى لنا أهمية تفسير الحافظ ابن كثير، رحمه الله، في النقاط التالية:
1-ذكر الحديث بسنده.
2-حكمه على الحديث في الغالب.
3-ترجيح ما يرى أنه الحق، دون التعصب لرأي أو تقليد بغير دليل.
4-يعتني بتفسير القرآن بالقرآن.
5- يعتني بتفسير القرآن بالسنة .
6- يعتني بتفسير القرآن بأقوال الصحابة والتابعين .
7-اهتمامه باللغة وعلومها واعتبارها من أهم مصادر التفسير .
8-اهتمامه بذكر القراءات وأسباب النزول .
9-اتيان الآية ذات الصلة بالآيات والأحاديث وأقوال أهل العلم.
10-نقد المرويات ونبه على منكرات الإسرائيليات.
11-عدم الاعتماد على القصص الإسرائيلية التي لم تثبت في كتاب الله ولا في صحيح سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، وربما ذكرها وسكت عليها، وهو قليل.
12-تفسيره ما يتعلق بالأسماء والصفات على طريقة سلف الأمة، رحمهم الله، من غير تحريف ولا تأويل ولا تشبيه ولا تعطيل.
13-استيعاب الأحاديث التي تتعلق بالآية، فقد استوعب، رحمه الله، الأحاديث الواردة في عذاب القبر ونعيمه عند قوله تعالى: (يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ). وكذا استوعب أحاديث الإسراء والمعراج عند قوله تعالى: (سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ). وكذا الأحاديث الواردة في الصلاة على النبي عند قول الله تعالى: (إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ). وكذا الأحاديث الواردة في فضل أهل البيت عند تفسير قوله تعالى: (إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا). وغير هذا كثير.[16]
        وقد قال السيوطي في ترجمة الحافظ ابن كثير: "له التفسير الذي لم يؤلف على نمط مثله".
وقال الشوكاني: "وله تصانيف، منها التفسير المشهور وهو في مجلدات، وقد جمع فيه فأوعى، ونقل المذاهب والأخبار والآثار، وتكلم بأحسن كلام وأنفسه، وهو من أحسن التفاسير إن لم يكن أحسنها".[17]

المطلب الثاني: رأي ابن كثير في الإسرائيليات
        الحافظ ابن كثير، رحمه الله له كلمات قوية في شأن الإسرائيليات وروايتها، وتفسيره يعد من الكتب الخالية من الإسرائيليات، اللهم إلا القليل الذي يحكيه ثم ينبه عليه، والنادر الذي يسكت عنه، وقد نبهت عليه في الحاشية.
        ومن كلماته في الإسرائيليات، قال في مقدمة تفسيره بعد أن ذَكر حديثَ "بلّغُوا عنِّي ولو آيةً، وحدِّثوا عن بني إسرائيل ولا حَرَجَ، ومن كذب عليّ متعمدًا فليتبوأْ مقعده من النار": "ولكن هذه الأحاديث الإسرائيلية تُذكر للاستشهاد، لا للاعتضاد. فإنها على ثلاثة أقسام: أحدها: ما علمنا صحتَه مما بأيدينا مما نشهدُ له بالصدق، فذاك صحيح. والثاني: ما علمنا كذبَه بما عندنا مما يخالفه. والثالث: ما هو مسكوت عنه، لا من هذا القبيل ولا من هذا القبيل، فلا نؤمِنُ به ولا نكذّبه، وتجوزُ حكايتُه لما تقدّم. وغالبُ ذلك مما لا فائدة فيه تعودُ إلى أمرٍ دينيّ. ولهذا يختلف علماء أهل الكتاب في مثل هذا كثيرًا، ويأتي عن المفسرين خلافٌ بسبب ذلك. كما يَذكرون في مثل أسماء أصحاب الكهف ولون كلبهم وعِدّتهم، وعصا موسى من أيِّ شجر كانت؟ وأسماء الطيور التي أحياها الله لإبراهيم، وتعيين البعض الذي ضُرِبَ به القتيلُ من البقرة، ونوع الشجرة التي كلَّم الله منها موسى إلى غير ذلك مما أبهمه الله تعالى في القرآن، مما لا فائدة في تعيينه تعود على المكلفين في دنياهم ولا دينهم. ولكن نقلُ الخلاف عنهم في ذلك جائز.[18]

المطلب الثالث: ثناء العلماء على تفسير ابن كثير
         وهذا التفسير المبارك أثنى عليه كثير من العلماء المتقدمون والمتأخرون:
-       قال السيوطي: وله التفسير الذي لم يؤلف على نمطه مثله.
-       قال الشوكاني: وله التفسير المشهور وهو في مجلدات وقد جمع في فأوعى ونقل المذاهب والأخبار ولآثار وتكلم بأحسن كلام وأنفسه وهو من أحسن التفاسير إن لم يكن أحسنها.
-       قال أحمد شاكر في عمدة التفسير: فإن تفسير الحافظ ابن كثير أحسن التفاسير التي رأينا، وأجودها وأدقها بعد تفسير إمام المفسيرين أبي جعفر الطبري.[19]
المبحث الرابع
مجالات الاستفادة في البحث التربوي

      للباحث التربوي عند اطلاعه في تفسير ابن كثير سيستفيد كثيرا منه. لأن ابن كثير في تفسيره اهتم بالجانب التربوي اهتماما كبيرا. وهذا ظاهر في تفسيره لبعض الآيات.
        ومن سبيل المثال: في سورة الأنفال: (إنما المؤمنون الذين إذا ذكر الله وجلت قلوبهم وإذا تليت عليهم آياته زادتهم إيمانا وعلى ربهم يتوكلون (2) الذين يقيمون الصلاة ومما رزقناهم ينفقون (3) أولئك هم المؤمنون حقا لهم درجات عند ربهم ومغفرة ورزق كريم (4).
        قال ابن كثير: هذه صفة المؤمن حق المؤمن، الذي إذا ذكر الله وجل قلبه، أي: خاف منه، ففعل أوامره، وترك زواجره. كقوله تعالى: (والذين إذا فعلوا فاحشة أو ظلموا أنفسهم ذكروا الله فاستغفروا لذنوبهم ومن يغفر الذنوب إلا الله ولم يصروا على ما فعلوا وهم يعلمون)[20]. وكقوله تعالى: (وأما من خاف مقام ربه ونهى النفس عن الهوى فإن الجنة هي المأوى)[21].
       وقد أكد ابن كثير أهمية الاحتقار إلى الله في الدعوة والجهاد، ومن ذالك في تفسير سورة التوبة: (لقد نصركم الله في مواطن كثيرة ويوم حنين إذ أعجبتكم كثرتكم فلم تغن عنكم شيئا وضاقت عليكم الأرض بما رحبت ثم وليتم مدبرين (25) ثم أنزل الله سكينته على رسوله وعلى المؤمنين وأنزل جنودا لم تروها وعذب الذين كفروا وذلك جزاء الكافرين (26).
        قال ابن كثير: "يذكر تعالى للمؤمنين فضله عليهم وإحسانه لديهم في نصره إياهم في مواطن كثيرة من غزواتهم مع رسوله. وأن ذلك من عنده تعالى، وبتأييده وتقديره، لا بعددهم ولا بعددهم ونبههم على أن النصر من عنده، سواء قل الجمع أو كثر، فإن يوم حنين أعجبتهم كثرتهم، ومع هذا ما أجدى ذلك عنهم شيئا فولوا مدبرين إلا القليل منهم مع رسول الله صلى الله عليه وسلم. ثم أنزل الله نصره وتأييده على رسوله وعلى المؤمنين الذين معه، كما سنبينه إن شاء الله تعالى مفصلا ليعلمهم  أن النصر من عنده تعالى وحده وبإمداده وإن قل الجمع، فكم من فئة قليلة غلبت فئة كثيرة بإذن الله، والله مع الصابرين".[22]
        وتميز ابن كثير في تفسيره بقدرته العالية في مجال التاريخ. فأتى ابن كثير بالقصص التي تتعلق بأسباب النزول المفيدة من ناحية تربوية. ومن ذالك ما ورد في حديث الإفك في سورة النور الذي يعلمنا أهمية التباين والتثبت، ويؤكد مبدأ الأخوة وحسن الظن في المعاملة مع المسلمين.
        قال ابن كثير: "هذه العشر الآيات كلها نزلت في شأن عائشة أم المؤمنين، رضي الله عنها، حين رماها أهل الإفك والبهتان من المنافقين بما قالوه من الكذب البحت والفرية التي غار الله تعالى  لها ولنبيه، صلوات الله وسلامه عليه، فأنزل الله عز وجل براءتها صيانة لعرض الرسول، عليه أفضل الصلاة والسلام  فقال: (إن الذين جاءوا بالإفك عصبة) أي: جماعة منكم، يعني: ما هو واحد ولا اثنان بل جماعة، فكان المقدم في هذه اللعنة عبد الله بن أبي بن سلول رأس المنافقين، فإنه كان يجمعه ويستوشيه، حتى دخل ذلك في أذهان بعض المسلمين، فتكلموا به، وجوزه آخرون منهم، وبقي الأمر كذلك قريبا من شهر، حتى نزل القرآن، وسياق ذلك في الأحاديث الصحيحة". ثم ذكر القصة الكاملة المروية عن الإمام أحمد.[23]
        ومما يستفاد أيضا من الناحية التربوية، كما ذكر سابقا أن ابن كثير يأتي في تفسيره بالآية ذات الصلة بالآيات والأحاديث وأقوال الصحابة والتابعين وأهل العلم. فهذا مما يكثر الفائدة خاصة في الآيات المتعلقة بالأمور الروحانية أو المعنوية.
        ثم تميز ابن كثير بذكر الحديث بسنده، وحكمه على الحديث في الغالب، وشرحه وترجيح ما يرى أنه الحق، دون التعصب لرأي أو تقليد بغير دليل. فهذا مما يطمئن به الباحث، حيث يبعد من المرويات الموضوعة، ويستفيد أكثر من الأقوال والآراء مع معرفة الأصح والأرجح منه.

فهرس المراجع
1)   القرشي الدمشقي، أبو الفداء إسماعيل بن عمر بن كثير ( 700 -774 هـ )، تفسير القرآن العظيم، تحقيق سامي بن محمد سلامة، دار طيبة للنشر والتوزيع، الطبعة : الثانية 1420هـ - 1999 م.
2)   بردي، ابن تغري، النجوم الزاهرة في ملوك مصر والقاهرة، موقع الوراق
3)   السيوطي، أبو الفضل عبد الرحمن بن أبي بكر، ذيل طبقات الحفاظ للذهبي، تحقيق الشيخ زكريا عميرات، دار الكتب العلمية.
4)   العكري الحنبلي، عبد الحي بن أحمد بن محمد (1032-1089ه) ، شذرات الذهب في أخبار من ذهب، تحقيق عبد القادر الأرنؤوط ومحمود الأرناؤوط، دار بن كثير، دمشق: 1406ه.
5)   القرشي الدمشقي، عماد الدين أبي الفداء اسماعيل بن عمر بن كثير (774 هالبداية والنهاية، تحقيق عبدالله عبدالمحسن التركي، مركز البحوث والدراسات بدار هجر، الجيزة، الطبعة الاولى: 1417هـ - 1997 م.
6)   القرشي الدمشقي، أبو الفداء إسماعيل بن عمر بن كثير (774هـ)، تفسير القرآن العظيم، تحقيق محمود حسن، دار الفكر، الطبعة الجديدة: 1414هـ/1994م.
7)   الدمشقي، عماد الدين أبو الفداء إسماعيل بن كثير، تقسير القرآن العظيم، تحقيق مصطفى السيد محمد وغيره، مؤسسة قرطبة ومكتبة أولاد الشيخ للتراث، الجيزة، الطبعة الأولى: 1412- 2000م.









تفسير القرآن العظيم، تحقيق سامي بن محمد سلامة (1/12) [1]
[2]البداية والنهاية، لابن كثير (14/ 32)
[3] تفسير القرآن العظيم، تحقيق سامي بن محمد سلامة (1/12)
[4] تفسير القرآن العظيم، تحقيق سامي بن محمد سلامة (1/14)
[5] تفسير القرآن العظيم، تحقيق سامي بن محمد سلامة (1/18)
[6] طبقات الحفاظ للذهبي (4/ 29)، وعمدة التفسير لأحمد شاكر (1/ 25)
[7] ذيل تذكرة الحفاظ للحسيني (ص 58)، وعمدة التفسير لأحمد شاكر (1/ 26)
[8] تفسير القرآن العظيم، تحقيق سامي بن محمد سلامة (1/16)
[9] النجوم الزاهرة (11/ 123)
[10] تفسير القرآن العظيم، تحقيق سامي بن محمد سلامة (1/18)
[11] شذرات الذهب لابن العماد (6/ 232)
[12] النجوم الزاهرة (11/ 123)
[13] تفسير القرآن العظيم، تحقيق سامي بن محمد سلامة (1/18)
[14] تفسير القرآن العظيم، تحقيق سامي بن محمد سلامة (1/33)
[15] فوائد منتقاة من تفسير ابن كثير، لعبد الله زقيل (1/2)
[16] مقدمة الشيخ مقبل الوادعي (ص 5)
[17] تفسير القرآن العظيم، تحقيق سامي بن محمد سلامة (1/18)
[18] من عمدة التفسير للشيخ أحمد شاكر (1/14- 18)
[19] فوائد منتقاة من تفسير ابن كثير، لعبد الله زقيل (1/2)

[20] سورة آل عمران: 135
[21] سورة النازعات: 40-41
[22] تفسير القرآن العظيم، تحقيق سامي بن محمد سلامة (4/125)
[23] المرجع السابق (6/20)

-------------------------------------------------------


Makalah ini dipresentasikan di kelas Program Magister Tarbiyah Islamiyah, Universitas Islam Madinah, di bawah bimbingan Syekh Dr. Muhammad Umar Falatah.