Selasa, 21 Desember 2010

KULIAH VS NIKAH

Cerita ini berawal dari realita bahwa kelima anggota halaqah saya ternyata bujang semua. Mereka adalah mahasiswa Madinah yang sedang menghadapi masa-masa genting pencarian dan penantian. Sangat mendesak untuk menyampaikan materi baitul muslim kepada mereka. Sayang, sebagai Murobbi, saya bukan orang yang pantas menyampaikan materi itu. Apalagi kalau bukan karena status marital saya yang tidak berbeda dengan mereka. Berkali-kali saya menyinggung tentang masalah ini, selalu saja mereka menjawab, "Ah, omdo! Omong doang..". Terpaksa saya harus menghadirkan muwajjih khusus yang bisa membahas tentang pernikahan dan serba-serbinya.

Singkat cerita, akhirnya tiga orang Ustadz bersedia memberikan wejangan khusus kepada kami. Mereka adalah Ust. Asfuri Bahri, Lc (Staf BPK Pusat), Ust. Fahmi Rusydi, Lc (Ma'had Al Hikmah Bangka) dan Ust. Asril Abdullah, Lc (Pengasuh PP Husnul Khatimah)  Kebetulan ketiganya sedang mengikuti diklat yang diselenggarakan Rabitah Alam Islami di Mekkah. Yang pasti beliau-beliau sudah menikah dan punya anak, jadi nggak bakal ada lagi  cletukan "NATO, no action talking only" seperti biasa.

Di restoran Ma'azim, pada pinggiran kota Madinah yang bergaya lesehan, dauroh singkat tentang nikah itu dilaksanakan. Setelah menikmati nasi Bukhori dan ayam panggang, kemudian mendengarkan tilawah dari seorang di antara kami, saya sebagai moderator langsung memulai obrolan dan mempersilakan para Asatidz untuk mulai berbicara. Ustadz Asfuri dengan gayanya yang kalem memberikan motivasi menikah kepada kami. Ustadz Fahmi bercerita tentang masa lalunya ketika menjadi sekjen KAMMI Pusat periode pertama. Bagaimana antara Ikhwan dan Akhwat pada waktu itu begitu terhijab, bahkan menikah satu atap organisasi masih menjadi suatu hal yang tabu. Sedangkan Ustadz Asril menyampaikan tentang etika pergaulan dengan lawan jenis dan serba-serbi kehidupan berkeluarga.

Yang sangat menarik adalah ketika Ustadz Asfuri bercerita tentang proses pernikahannya dulu, sewaktu masih menjadi mahasiswa LIPIA Jakarta. Betapa miskinnya beliau pada saat itu. Bagaimana beliau menikah hanya bermodalkan sebuah Hadits Rasulullah SAW, bahwa ada tiga golongan manusia yang dijamin pasti akan ditolong Allah. Salah satunya adalah seorang pemuda yang menikah untuk menjaga keselamatan agamanya. Menurut beliau, esensi 'ubudiyah menikah adalah ketawakalan yang tinggi kepada Allah ta'ala. Memang sangat spekulatif, tapi dalam spekulasi itu ada kenikmatan yang luar biasa yang lahir dari rasa harap kepada Sang Maha Penolong.

Dan memang benar, soal menikah sulit terlogika dengan akal manusia. Secara nalar setelah menikah beban kehidupan seorang hamba akan bertambah. Namun yang tidak disadari, ternyata Allah juga menambahkan kekuatan kepada hamba tersebut untuk mampu memikul bebannya. "Jika mereka miskin, maka Allah akan menjadikan mereka kaya..", begitulah termaktub dalam Al Qur'an. Saya sendiri, meskipun belum merasakan langsung, menyaksikan bagaimana teman-teman mahasiswa Madinah membuktikannya.

Sebut saja namanya Asman. Mahasiswa fakultas Hadits ini menikah sejak tingkat dua. Istrinya ditinggal di Indonesia. Kini sudah dikaruniai seorang putri. Setiap menerima tunjangan beasiswa, ia harus membaginya menjadi dua, sebagian buat hidup selama sebulan dan sebagian yang lain harus dikirim ke Indonesia. Namun dengan beban keluarga tersebut tidak menjadikannya lemah dalam belajar. Ia pernah bercerita bahwa IPK-nya terus meningkat sejak ia menikah, meski beberapa waktu kosong harus ia isi dengan mencari nafkah. Kontribusinya dalam dakwah juga diakui teman-teman. Ia tetap aktif berkarya, menulis, menterjemah dan bahkan menjadi striker bola tim nasional kami. Wajahnya tenang, teduh dan tetap ceria.

Saya pernah mendapatkan jawaban yang tidak terbantahkan darinya soal menikah. Waktu itu ketika mahasiswa asal Garut ini memotivasi saya, saya beralasan ingin fokus studi dulu, S2, S3 dan seterusnya. Kemudian ia balik bertanya, "Antum masih kuat menahan tidak? Masih bisa menjaga pandangan? Kesucian diri?" Saya pun menjawab, "Sulit!". Asman kembali menimpali dengan sebuah kaidah, "Akhi, daf'ul mafasid muqoddam 'ala jalbil masholih". Bahwa menghindari kemafsadatan itu harus didahulukan daripada mencari kemaslahatan.

Betul juga kata Asman. Khayalan yang tidak halal dan pandangan yang tidak terjaga itu adalah mafsadat. Apalagi kalau sudah terjerumus kepada pacaran, konsumsi pornografi, onani dan penyakit bujang lainnya. Sedangkan belajar, S2, S3 dan status sosial, itu semua adalah maslahah. Jadi menikah untuk menahan mafsadat tersebut tadi harus menjadi prioritas, dibanding sekedar menggapai maslahat yang tidak darurat. Memang betul, yang sudah menikah sebagian waktunya tersita untuk mengurusi keluarga. Tapi coba hitung, berapa waktu yang dibuang para bujang untuk melamun, berimajinasi, chatingan, fesbukan, colek sana-sini, HTS-an atau abi-umian? Sedangkan yang pertama berpahala dan yang kedua mengarah ke dosa? (Deg! Kena banget Coy..).

Bahkan sebenarnya antara nikah dan studi tidak perlu dibenturkan. Semua bisa berjalan saling beriringan. Faruq Azad telah membuktikannya. Mahasiswa asal India ini adalah teman sekelas saya di fakultas Syari'ah semester kedua. Waktu itu ketika masuk kelas pertama kali kami membawa daftar mata kuliah yang tertulis di atasnya IP semester pertama. Saya yang saat itu duduk di sebelahnya mengintip berapa IP yang diraihnya. Luar biasa, 4.98, Hampir sempurna! Kemudian iseng saya bertanya kepadanya, "Antum sudah menikah?" Faruq menjawab, "Sudah". Lalu ia balik bertanya berapa nilai saya. Saya pun menjawab, "4.86". Kemudian setelah dia tahu nilai saya tidak lebih tinggi darinya dan ternyata saya belum menikah, dia pun berkata, "Miskin Anta!" yang artinya, kacian deh luuu… 

Ada lagi, Abdul Latif panggilannya. Ia adalah tetangga kamar saya, asal Yaman. Ia sudah menikah dengan satu anak. Namun kemampuan ilmiyahnya membuat mulut semua orang ternganga. Ia peraih IP lima. Sempurna! Ia juga hafal Alqur'an 30 juz. Bahkan ia juga menguasai qiro'ah sab'ah. Ia pun hafal ratusan Hadits dan Syair Arab. Tahun kemarin ia menjadi perwakilan kampus dalam ajang mahasiswa nasional. Orangnya sangat ramah, tenang, dewasa dan berwibawa. Saya sering memintanya privat khusus dalam I'rab Nahwu dan ilmu Mawaris.

Begitulah, tugas belajar tidak menghalangi langkah mereka untuk menggenapkan separuh agama. Bagi mereka menikah bukan sekedar melaksanakan sunnah, tapi menikah adalah proyek besar membangun peradaban umat: turut serta melahirkan generasi robbani. Pernikahan yang barokah, akan menghasilkan lompatan-lompatan fantastis dalam hidup seseorang. Secara kedewasaan, spiritual, finansial, performa lahir, dan banyak hal lain. Bahkan teman saya bilang, dengan menikah kemudian berpisah, bisa menjadi kenangan tersendiri bagi kehidupan suami istri dan menambah harumnya bumbu romantika berkeluarga.

Kembali kepada dauroh kami tadi. Setelah mendapatkan motivasi menikah dari Ustadz Asfuri, terlihat teman-teman tambah bersemangat dan semakin antuzias mengikuti obrolan. Termasuk saya sendiri. Pandangan saya menerawang jauh, membayangkan rangkaian moment spesial itu. Mengkhayal saat-saat nadhor, ta'aruf, khitbah, akad, malam pertama, honeymoon, program pacaran, punya anak, so sweet.. (lebay.com).

Namun tiba-tiba para Ustadz kembali melanjutkan uraian yang membuat kami semua kaget. Khusus kami para penuntut ilmu, yang sudah dinantikan umat di Indonesia, mereka bertiga sangat menyarankan kalau bisa jangan buru-buru nikah dulu. Menunda sebentar sampai selesai S3 ada baiknya. Kata mereka, nanti kalau sudah menikah kami tidak akan bisa fokus lagi belajar. Apa lagi kalau sudah punya anak. Kebutuhan biologis, kasih sayang, materi, susu bayi, masalah dengan mertua, dan seterusnya, akan banyak menyita perhatian dan tenaga. Apalagi kalau harus melanjutkan S2 ke pelosok Sudan, Libia atau Pakistan, mau bawa istri? Glek! Tubuh kami yang sejak tadi sudah melangit karena motivasi, tiba-tiba saja jatuh kembali ke bumi. Kok jadi begini endingnya?!

Yah, sebenarnya nasehat tambahan Ustadz di atas ada betulnya. Bagi sebagian orang, menikah sambil kuliah ternyata menimbulkan banyak masalah. Apalagi bagi para mahasiswa S1 di Madinah, yang belum boleh membawa serta istri. Dosen kami di kelas pernah bilang, "imma an tu'adzdzibaha au tu'adzdzibaka". Kalau tadi adalah kisah suksesnya, coba simak kisah sedihnya berikut ini.

Sebut saja namanya Usman (bukan nama sebenarnya). Mahasiswa asal Bandung ini menikah pada liburan musim panas pertama, yaitu masuk tahun kedua kuliah. Awalnya Usman terkenal sebagai mahasiswa yang rajin. Selalu datang ke kelas paling awal dan duduk paling depan. Ia juga aktif mengikuti kajian para Masyayikh di Masjid Nabawi. Namun setelah menikah, teman-temannya merasakan perubahan yang sangat mencolok dari perilakunya. Ia menjadi sering melamun. Di kelas selalu sambil chating. Ia pun mulai jarang kelihatan di masjid Nabawi. Itu semua berimbas pada prestasi akademiknya.

Lain Usman, lain lagi Hammad. Ia langsung menikah setelah dinyatakan lolos seleksi ke Madinah. Semangat! Mahasiswa angkatan lama ini bahkan baru bisa menyelesaikan jenjang S1 setelah delapan tahun lamanya. Sepertinya beban keluarga adalah penyebabnya. Kasihan memang, dua kali istrinya melahirkan secara sesar ia tidak bisa pulang mendampingi. Meskipun ia sangat produktif dalam dakwah dan bisnis, namun proses tholabul ilmi  yang menjadi amanahnya menjadi tidak maksimal.

Ada lagi yang lain. Rio namanya. Teman seangkatan saya ini, sekilas adalah mahasiswa yang cerdas, dilihat dari cara berbicara dan wawasannya. Namun ternyata prestasi akademiknya tak seperti penampakan dhohirnya. Nilainya pas-pasan. Bahkan sering absen kuliah. Ia pun jarang keluar dari kamar, apalagi aktif di beberapa organisasi yang ada. Saya tidak bisa memastikan apakah itu karena ia sudah punya tanggungan keluarga atau ada faktor lain. Namun yang saya ketahui ketika masuk tanggal tua ia harus kerepotan mencari pinjaman sana-sini untuk mengirim wesel ke Istri. Terlihat beban yang cukup berat menggantung di wajahnya.

Soal finansial, ada lagi yang lebih parah. Panggil saja namanya Abu. Mahasiswa asal Afrika Selatan ini terkenal sebagai rajanya hutang. Terlebih di kalangan mahasiswa Indonesia. Ia berpindah dari mahasiswa satu ke mahasiswa yang lain untuk meminjam uang, bahkan kepada orang yang belum ia kenal. Parahnya, ia juga terkenal bandel dalam membayar utang. Telat satu atau dua semester itu biasa. Ketika ditanya alasannya kenapa, ia selalu bercerita tentang anak dan istrinya di pelosok Afrika sana.

Banyak lagi kisah sedih yang lain. Ada yang sampai stres karena harus berpisah dengan istri. Ada yang sampai nggak kuat dan terpaksa pulang ke tanah air sebelum tamat. Ada juga kisah lucu bagaimana ketika pulang ke Indonesia ternyata sang anak yang sudah besar tidak mengenal bapaknya dan bertanya, "Om ini siapa ya?" atau malah lari terbirit-birit sambil menangis menuju sang Ibu. Semua memberikan pelajaran bahwa ada banyak konsekuensi pernikahan yang harus kembali dipertimbangkan (mlempem mode:on).

Tak terasa obrolan kami sudah berjalan dua jam lebih. Penjaga restoran sudah memberikan sinyal pengusiran (yalla shodiq..:p). Kajian nikah kami harus berakhir sampai disini. Namun saya sebagai moderator agak bingung mengambil kesimpulan. Antara yang awal dan akhir. Antara menikah atau fokus dulu kuliah. Antara menghormati anjuran para Ustadz dan mengakomodir teman-teman yang lagi bersemangat.

Akhirnya secara sepontan terlontar juga sebuah penyimpulan seadanya. Bahwa dalam masalah ini berlaku teori relativitas. Tergantung kemampuan dan kondisi kejiwaan masing-masing. Bagi yang terbiasa melakukan banyak hal dalam satu waktu, bercabang dalam pikiran, sepertinya menikah saat kuliah adalah anugerah di atas anugerah. Apalagi kalau sudah sangat kebelet (hehe..). Namun bagi para penuntut ilmu yang belum mampu, dalam berbagai sisinya, dan tidak bisa fokus menghadapi bermacam masalah, sepertinya pilihan untuk menunda menikah ada baiknya. Tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Yang penting sebelum memutuskan, silakan masing-masing bertanya kepada diri sendiri, di barisan mana ia berada. Tak lupa beristikharah juga, bertanya pada Yang Maha Tahu Segalanya. Allahu muwafiq ila aqwamit thoriq.
  
.:. Untuk kelima adikku tersayang, teruslah berjuang menggapai cita dan cinta. Tertunda bukan akhir segalanya..^^

(Termuat dalam Media Sosial Kompasiana click here)