Rabu, 23 Maret 2016

Ogah Lembek Terhadap Kebatilan


Terlalu lembut menghadapi penyimpangan, sama salahnya dengan terlalu keras menghadapi perbedaan. Hikmah adalah bersikap tepat sesuai proporsi, situasi dan kondisi. Wadh'us syai' fi mahallihi...

Diin ini tidak dijaga oleh para Ulama yang enggan menjelaskan perintah dan larangan. Yang hanya berkutat pada keutamaan, akhlak, atau sejuk-sejuk saja yang penting aman...

Alloh telah mengamanahi mereka untuk menjaga ajaran-Nya. Tapi mereka hanya berani menjaga jendelanya dan membiarkan pintunya lebar terbuka. Kun anta shohibal mauqif!

Senin, 21 Maret 2016

PRAY FOR TURKEY


Senin, 07 Maret 2016

Pengemban Panji yang Paling Mengilmui Al-Qur'an



Haamilul Qur’aan haamilu raayatil Islam. Para penghafal Al-Qur’an, mereka adalah pengemban panji Islam. Kata-kata emas ini sungguh telah diwujudkan oleh sahabat agung, ‘Ali bin Abi Thalib, baik secara harfi maupun ma’nawi. Satu dari sahabat Nabi yang paling hafal Al-Qur’an ini, tercatat selalu terdepan dalam medan peperangan. Bahkan ‘Ali lah yang terpilih memegang panji kepemimpinan.

Seperti saat perang Khaibar. Diriwayatkan bahwa malam hari menjelang peperangan, Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam bersabda, “Sungguh besok aku akan berikan panji ini kepada seseorang, yang melalui tangannya Alloh akan memberi kemenangan. Ia mencintai Alloh serta Rasul-Nya, dan Alloh serta Rasul-Nya pun mencintainya” (HR. Imam Bukhori).

Mendengar sabda Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam tersebut, berdebar lah dada para sahabat. Semua berharap bahwa lelaki beruntung yang dijanjikan sang Rasul itu adalah mereka. Tapi ternyata keesokan harinya yang dipanggil untuk diberi panji adalah ‘Ali bin Abi Thalib yang saat itu sedang sakit mata. Dan benar saja, kemudian hari pasukan pimpinannya berhasil mendobrak benteng Yahudi Khaibar dan meraih kemenangan.

Sebelumnya, kehebatannya di medan laga juga sudah dibuktikan ‘Ali bin Abi Thalib dalam perang Badar. Pada permulaan peperangan, ‘Ali lah yang maju kedepan untuk melakukan mubarazah sebelum perang dimulai. Dengan pedangnya Dzulfikar yang bermata dua, ‘Ali berhasil memenangkan perang tanding itu. Sampai akhir peperangan, ‘Ali mampu menumbangkan sepertiga dari total korban musuh yang berjumlah 70 orang.

‘Ali bin Abi Thalib juga terkenal memiliki keahlian yang unik sepanjang sejarah, yaitu menyelam dalam pasir, untuk kemudian menyergap musuh secara tiba-tiba. Saat perang Ahzaab, ia berhasil membunuh Amru bin Wud Al-‘Amiri, seorang jagoan Mekkah yang terkenal dengan kebengisan dan keganasanya. Hingga pasukannya pun lari ketakutan.

Dalam perang Hunain, ‘Ali juga terdepan dalam barisan. Bahkan di saat hampir 12.000 pasukan Muslimin mendapatkan serangan mendadak, hingga mereka lari tunggang langgang meninggalkan Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam bersama segelintir sahabat, ‘Ali bin Abi Thalib lah yang sigap menguasai keadaan dan mengumpulkan kembali pasukan yang berserakan. Dari situlah kekalahan di awal peperangan berbalik menjadi kemenangan.

Bahkan semenjak belia, sepupu Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam itu, pernah bertaruh nyawa dengan menggantikan Rasulullah di tempat tidur beliau, untuk mengelabuhi para jagoan Makkah yang telah merencanakan pembunuhan. Seandainya para utusan kabilah-kabilah Quraisy itu langsung menikam sosok berselimut hijau yang sedang berbaring itu, maka tamat lah hidup ‘Ali yang masih berusia muda.

Pemuda perkasa yang menikahi Fathimah binti Rasulillah itu, bernama lengkap ‘Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthallib Al-Hasyimi Al-Qurasyi karramallahu wajhah. Ia termasuk dalam sahabat yang pertama kali masuk Islam (assabiqunal awwalun) dan termasuk dalam sepuluh sahabat yang dijamin masuk syurga (almubassyarin bil jannah). Surat Al-Baqarah ayat 207, ”Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya demi mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”, ayat itu turun berkenaan dengan dirinya.

Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam pernah mendoakan ‘Ali secara khusus, “Ya Allah, tetapkanlah lisannya dan berilah petunjuk pada hatinya” (HR. Imam Ahmad). Tak ayal ia pun menjadi salah satu dari delapan sahabat yang berhasil menyetorkan hafalan Qur’annya langsung kepada Rasulullah dan bermuara kepadanya sanad al-qiro’ah al-‘asyrah, sebagaimana dinukil dari Imam Dzahabi dalam Ma’rifatu Kibaril Qurra'.

Bukan sekedar hafalan Al-Qur’an yang kuat, ‘Ali juga terkenal di kalangan sahabat sebagai orang yang paling mengilmui Al-Qur’an. Ia paling paham makna dan maksud yang terkandung pada setiap ayat. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Apa yang aku ambil dari tafsir Al-Qur’an, maka itu dari ‘Ali”. Jika seperti itu perkataan Ibnu Abbas yang dijuluki sebagai turjumanul Qur’an, maka bagaimana dengan ‘Ali bin Abi Thalib yang menjadi sumber utama tafsirnya?

Sahabat yang mempunyai sifat zuhud itu, juga terkenal sebagai orang yang paling mengerti tentang asbaabun nuzul (sebab diturunkannya Al-Qur’an). Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah menukil perkataan ‘Ali bin Abi Thalib, “Demi Allah, tidak lah ayat Al-Qur’an turun, kecuali aku telah mengetahui dimana dan tentang apa ia diturunkan. Dan sungguh Rabbku telah mengkaruniakan kepadaku hati yang peka dan lisan yang selalu bertanya (tentang ilmu)”.

‘Ali bin Abi Thalib juga sangat menekankan pentingnya tadabbur Al-Qur’an. Hal itu tersurat jelas dalam kata-kata emasnya, “Sungguh seorang faqih sejati adalah yang tidak membuat manusia putus asa dari rahmat Allah, dan tidak membuat mereka merasa aman dari adzab-Nya, serta tidak memberi keringanan untuk berbuat maksiat, juga tidak meninggalkan Al-Qur’an karena mengutamakan yang lain. Tidak ada kebaikan pada ibadah yang tidak disertai ilmu, dan tidak ada kebaikan pada ilmu yang tidak disertai dengan pemahaman, juga tidak ada kebaikan pada bacaan Al-Qur’an yang tidak disertai tadabbur”.

Sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam At-Tibyan, Khalifah Rasyidah keempat itu juga mengingatkan akan pentingnya pengamalan dari apa yang dibaca. ‘Ali bin Abi Thalib memberi nasehat khusus kepada para huffadh, “Wahai para pengemban Al-Qur’an, amalkanlah Al-Qur’an, karena sesungguhnya ulama sejati adalah yang mengamalkan ilmunya dan amalannya sesuai dengan ilmu yang dimilikinya”.

Lalu ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu melanjutkan, “Akan ada sekelompok manusia, mereka mempunyai ilmu tapi ilmu mereka tidak pernah melewati kerongkongan mereka. Amalan mereka tidak sesuai dengan ilmu mereka. Kondisi mereka di waktu sendiri berbeda dengan saat dilihat orang banyak. Mereka duduk dalam halaqah dan saling membanggakan diri. Sampai terjadi seorang dari mereka marah dan membenci temannya, karena ia duduk bersama yang lain dan meninggalkannya”. Radhiyallahu ta’ala ‘anhu wa ‘anis shohabati ajma’in.


:: Artikel ini ditulis untuk rubrik Jejak Salaf di www.ibnu-abbas.com