Jumat, 20 November 2015

Mengenang "Dua Menara" dari Kampung Dua Menara (1)


Sesungguhnya milik Allah lah apa yang Ia ambil, dan segala sesuatu di dunia pasti menemui ajalnya. Kurang dari dua bulan, Kampung Dua Menara (sebutan familiar Ma’had Tahfizhul Qur’an Isykarima di kalangan alumni) kehilangan dua tokoh sentralnya. Bukan hanya Isykarima saja yang berduka, segenap kaum Muslimin bahkan masyarakat umum juga merasa lara, karena kiprah juang keduanya menembus batas-batas golongan, strata sosial, teritorial, bahkan agama. Siapa lagi kalau bukan gurunda tercinta Ust. H. Eman Badru Tamam, Lc dan ayahanda tercinta dr. H. Tunjung Sulaksono Soeharso, Sp.OT, FICS.

Bagi kami pribadi, Ustadz Badru adalah menara keilmuan yang tak pernah goyah memberi keteladanan. Ustadz muda asli Cirebon itu pertama memberi sentuhan ilmunya saat menjadi kepala Madrasah Mutawasithoh di Ponpes Al-Mukmin Ngruki tahun 1999. Saat itu beliau belum lama lulus dari Universitas Islam Madinah.

Di mata kami yang baru usai sekolah dasar, penampilan berwibawa dan enerjik ustadz alumni KMI Al-Mukmin itu dengan cepat membuat kami jatuh hati dan mengidolakannya. Suaranya yang merdu dan lagunya yang khas seperti imam Majidil Haram membuat kami berbinar-binar dan berebut shaf terdepan tiap yang muncul menjadi imam sholat jama’ah adalah beliau. Entah kenapa, jika beliau yang memimpin sholat terasa lebih khusyu’ dan syahdu.

Pun demikian ketika mengajar di kelas. Saat itu beliau mengajar materi fiqih, dengan kitab pegangan Minhajul Muslim karya Syekh Abu Bakar Jabir Al-Jaza`airy. Cara mengajarnya yang sistematis, dengan penjelasan yang gamblang, ditambah gaya beliau yang motivasional, membuat materi fiqih yang biasanya rumit dan membosankan menjadi mudah dan menarik. Jadwal mengajarnya pun menjadi moment yang ditunggu-tunggu setiap minggu.

Dua tahun di Mutawasithoh bersama Ustadz Badru membuat semangat menuntut ilmu kami menggelora dan cita-cita untuk kuliah di Madinah makin membara. Cerita-cerita tentang Al-Jaami’ah Al-Islamiyah yang sering beliau sampaikan, memotivasi kami untuk terus berdoa dan menyiapkan diri meniti jalan menuju kota Nabi. Hingga akhirnya di tahun ketiga kami harus berpisah dengan ustadz yang selalu tampil rapi itu karena perubahan sistem unit sekolah. Beliau tidak lagi mengajar di Mutawasithoh.

Namun demikian, karena ikatan hati yang sudah terjalin dengan kuatnya, saat itu dengan beberapa teman kami berinisiatif meminta beliau mengisi kajian kitab khusus buat kami. Beliau pun dengan senang hati bersedia. Meski yang hadir tidak banyak, dengan sabar dan telaten beliau membedah kitab fadhaail ‘ilmi di rumah dinas beliau yang hanya beberapa meter saja dari komplek asrama.

Bahkan saking ngefansnya sama beliau, bersama seorang teman bernama Saiful Shiddiq, kami rela kabur dari pondok tiap Jum’at pagi untuk menghadiri kajian kitab I’tiqod Ahlis Sunnah Wal Jama’ah yang beliau sampaikan di masjid Istiqomah, Penumping. Hingga kemudian kami melanjutkan studi ke Isykarima dan bersua kembali dengan Ustadz yang mempunyai kunyah “Abu Harits” itu.

Di Isykarima, sebagai mudir beliau diakui berperan sangat vital dalam membesarkan lembaga. Bukan sekedar sebagai konseptor utama atas manahij dirosiyah dan ansyithoh thullabiyah yang ada, namun figur kharismatik beliau benar-benar menjadi menara keilmuan dan keteladanan bagi kami para santri. Ketegasannya dalam menyampaikan kebenaran terpadu apik dengan sikap arif dan bijak dalam menanggapi masalah di lapangan.

Di kelas, beliau pernah mengajar kami materi Ushul Fiqih dan Dirosatul Firoq. Materi-materi pelajaran super njlimet itu menjadi ringan jika beliau yang menyampaikan. Apalagi Ustadz Badru terkenal mudah dalam ujian dan murah dalam memberi nilai. Tak terasa sudah dua belas tahun berlalu, beberapa kaidah Ushul dan definisi Firoq yang beliau ajarkan masih melekat di kepala.

Beliau juga sering berbagi tips dalam menuntut ilmu. Di antaranya yang masih kami terapkan sampai sekarang adalah soal membaca buku. Beliau selalu memotivasi kami untuk banyak membeli buku. Kalau belum sempat membacanya, minimal baca muqoddimah dan daftar isinya. Suatu saat kalau kita butuh, kita tahu kemana harus merujuk.




Setelah kami melanjutkan studi ke Madinah, hubungan baik guru-murid antara kami masih terjalin. Dua kali beliau berangkat umroh pun kita ketemuan. Dengan penuh ketawadhu’an beliau mau kami bonceng naik Dio (motor matic 50 cc) keliling Madinah untuk berburu ponsel bekas. Kadang saat libur musim panas, kami sowan ke kontrakan beliau di Ngruki, yang beliau sambut dengan welcome penuh kehangatan.

Beliau lah yang memberi taushiyah dalam acara akad pernikahan kami. Resep keluarga sakinah yang beliau sampaikan hingga kini masih rapi tersimpan dan sering kami putar kembali. Masih terngiang-ngiang doa indah beliau untuk kami, “Semoga keluarga ini menjadi keluarga ilmu, seperti keluarga Ali bin Abi Thalib dan Fathimah, yang dibimbing langsung Rasulullah ‘alaihis sholaatu wassalaam”.

Saat itu Ustadz Badru sudah terkena penyakit gula. Kemana-mana harus bawa suntik insulin sebagai pereda. Bahkan beberapa tahun berikutnya implikasi dari penyakit gula itu mulai merembet ke mata. Penglihatan beliau menjadi samar dengan radius kurang dari semeter, bahkan kadang gelap total. Namun demikian, semangat beliau untuk berdakwah menyebarkan ilmu tak pernah padam. Beliau masih aktif mengisi beberapa kajian, salah satunya kajian kitab Riayadhus Solihin, dengan cara matannya dibacakan orang lain lalu beliau yang memberi syarh.

Hingga waktu libur shoifiyah bulan Ramadhan lalu, saat kami bersama teman-teman IKARIMA Madinah datang menjenguk, beliau terlihat tambah lemah. Efek dari penyakit gula itu mulai menjalar ke ginjal. Namun demikian, beliau masih semangat memberi kami wejangan. Dengan asyik kami ngobrol tentang bahaya Syi’ah, fenomena neo Khawarij, dan problematika umat yang lain. Bahkan beliau menyampaikan rasa sedih dan kesepiannya karena tidak bisa lagi keluar rumah untuk berda’wah. Beliau berharap ada sebagian asatidz atau santri yang mau datang ke rumah beliau, sekedar untuk membaca bersama sebuah kitab.

Dua hari setelah lebaran, kami bersama Ustadz Muin berkesempatan kembali datang menjenguk. Mau menangis rasanya melihat kondisi Ustadz yang terkenal tegas itu. Muka beliau sangat pucat bahkan cenderung gelap karena efek gangguan ginjal yang beliau rasakan. Beliau tidak bisa minum banyak karena untuk buang air sangat susah. Bahkan yang membuat kami tidak mampu membendung air mata, beliau menyatakan khawatir tidak mampu melewati ujian sakit ini. Lalu Ustadz Mu’in pun membacakan beberapa ayat ruqyah dan ayat-ayat motivasi untuk beliau.

Hingga pada Haji kemarin, saat kami baru pulang dari Mina, di pagi hari tiba-tiba Ummu Kannaz (istri Mas Irfan Tunjung)  yang waktu itu serombongan dengan kami menyapa, “Ustadz, sudah tahu kabar belum? Ustadz Badru meninggal”. Deg! Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’un. Kami terdiam tidak bisa berkata-kata. Seperti tak percaya bahwa menara keilmuan itu telah tiada.

Saat melaksanakan thowaf ifadhoh, bukan bimbingan doa Ustadz Mu’in yang kami tirukan, namun doa mohon keampunan untuk beliau yang bisa keluar dari lisan. Sepanjang perjalanan di bus, kami dan Ustadz Mu’in pun bersenandung sendu, “Hal turaanaa naltaqi am annahaa, kaanatil luqyaa ‘alaa ardhis saroobi…”.

0 komentar: