Rabu, 28 Januari 2015

حرية الرأي والتعبير في الإسلام والقانون الدولي وتطبيقاته التربوية



















Materi ini dipresentasikan di kelas Program Doktoral Tarbiyah Islamiyah, Universitas Islam Madinah, di bawah bimbingan Dr. Abdullah Abdul Hamid. Untuk mendapatkan materi dalam format Power Point silakan click http://www.slideshare.net/hakimuddinsalim/ss-55404689 

Jumat, 16 Januari 2015

MAHABBATULLAH: Indahnya Cinta Kepada Allah




Mengurai Arti Cinta
Menurut Imam Ghozali, kata "cinta" (mahabbah) berasal dari kata "hubb", yang sebenarnya mempunyai asal kata "habb" yang mengandung arti biji atau inti. Dari sini lah, cinta menjadi inti kehidupan seseorang.

Hakikat cinta adalah kecondongan hati terhadap sesuatu. Ketika seseorang telah jatuh cinta kepada orang lain, maka ia akan berbuat apa saja yang disukai oleh orang yang ia cintai, mencintai apa yang ia cintai (wala') dan pantang untuk melakukan perbuatan yang ia murkai, juga membenci apa yang ia benci (bara'). Itulah kelaziman cinta, jika tidak demikian maka akan dipertanyakan kecintaanya tersebut.

Dalam Islam, cinta atau mahabbah merupakan salah satu pilar dari tiga pilar ibadah yang lain yaitu: rojaa (pengharapan) dan khauf (rasa takut). Jadi orang yang beribadah tanpa cinta, seolah ia berjalan dengan pincang karena telah kehilangan salah satu pilarnya.

Ali bin Abi Thalib RA pernah berkata: "Ada hamba yang beribadah kepada Allah karena ingin mendapatkan imbalan, itu ibadahnya kaum pedagang. Ada juga hamba yang beribadah karena takut siksaan, itu ibadahnya budak. Lalu ada sekelompok hamba yang beribadah karena cinta, itulah ibadahnya orang mukmin”.

Cinta Allah Cinta yang Tertinggi
Sebanyak apa pun ragam cinta, ia tidak boleh lebih besar dari cinta kepada Allah ta'ala, Allah lah hulu cinta yang tertinggi. Sebagaimana disebutkan dalam Al Qur'an: "Katakanlah, jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan RasulNya serta berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusannya dan Allah tidak memberi petunjuk pada orang-orang yang fasik" (QS. 9:24).

Imam Ghazali mengatakan bahwa cinta kepada Allah adalah tujuan puncak dari seluruh maqam spiritual dan ia menduduki derajat yang tertinggi, "Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya" (QS. 5: 54).

Ada banyak tanda yang harus kita tunjukkan sebagai bukti kecintaan kita kepada Allah ta'ala, diantaranya adalah:
1. Banyak Berdzikir
Bagi seorang muslim, berzikir merupakan hal yang amat penting untuk menjaga kedekatannya dengan Allah, karenanya satu-satunya perintah Allah Swt yang menggunakan kata katsira (banyak) adalah perintah zikir kepada-Nya, sebagaimana firman Allah: "Hai orang yang beriman, berzikirlah kamu kepada Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya" (QS. 33:41).

2. Selalu Mengagumi Allah
Orang yang cinta kepada Allah ta'ala akan kagum terhadap kebesaran dan kekuasaan-Nya, karenanya ia akan selalu memuji-Nya dalam berbagai kersempatan, sebagaimana yang tercermin pada surat Al Fatihah: "Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam" (QS. 1:2)

3. Ridho kepada Allah
Orang yang cinta berarti ridha dengan yang dicintainya, kerana itu bila seseorang mengaku cinta kepada Allah, maka ia pun harus ridha kepada segala ketentuan-Nya. Allah berfirman: "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan sesat yang nyata" (QS 33:36).

4. Berkorban di Jalan-Nya
Tiada cinta tanpa pengorbanan, begitu pula halnya dengan cinta kepada Allah ta'ala, yang harus ditunjukkan dengan pengorbanan di jalan-Nya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh" (QS. 9:111).

5. Takut kepada Allah
Allah berfirman: "Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang-orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberikan makan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (dihari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan" (QS. 76:8-10).

6. Berharap kepada Allah
Cinta kepada Allah juga membuat seseorang selalu berharap kepada-Nya, yakni berharap untuk mendapatkan rahmat, ridha dan pertemuan dengan-Nya. Allah berfirman: "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah" (QS 33:21).

7. Selalu Taat kepada-Nya
Ketaatan kepada Allah merupakan sesuatu yang bersifat mutlak, karenanya manusia tidak bisa menggapai cinta Allah tanpa ketaatan, Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS 49:1).

Warna-Warna Cinta

Dalam Islam, selain cinta kepada Allah ada beberapa macam cinta yang saling terkait dan terikat. Di antaranya adalah cinta kepada Rasulullah SAW, yang merupakan buah yang paling utama dari cinta kepada Allah ta'ala. Setidaknya ada tiga bukti cinta kita kepada Rasulullah SAW: mengikuti sunnah-sunnahnya, memperbanyak shalawat untuknya, dan memuliakan ahli baitnya.

Cinta kepada Allah ta'ala pasti akan membuahkan cinta kepada syariat dan hukum-Nya. Siapa pun yang mengaku cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, akan tetapi tidak berkomitmen untuk mengamalkan dan memperjuangkan tegaknya hukum Allah dalam setiap lini kehidupan, pengakuan cintanya adalah dusta belaka.

Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya juga akan membuahkan cinta kepada sesama Muslim. Karena pada hakikatnya sesama kaum beriman adalah bersaudara, dan persaudaraan yang hakiki itu hanya ada di antara orang beriman. Tidak akan sempurna keimanan seseorang jika belum bisa mencintai saudaranya sesama mukmin, sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.

Ada juga warna cinta yang lain, yaitu cinta atau rindu kepada tanah air dan bangsa. Imam Hasan Al Banna menyebutnya sebagai wathaniyyatul hanin, sebagaimana juga cinta kepada seluruh tanah umat Islam di penjuru dunia, tanpa terkotak-kotak oleh nama dan bendera.

Cinta kepada tanah air terbukti dengan perjuangan untuk memerdekakannya dari penjajah asing, dan upaya yang kuat untuk melindunginya dari kerusakan dan ambisi pribadi, serta kesungguhan untuk memakmurkannya dengan memilih pemimpin yang bersih, peduli, profesional, penuh cinta dan harmoni, juga mau bekerja nyata untuk rakyatnya.

Di antara ragam cinta yang lain adalah cinta kepada pasangan dan keluarga. Cinta itu terwujud dalam ketulusan dan kesetiaan, tanggung jawab dan pengorbanan, kasih sayang dan romantisme, yang dibingkai dengan indahnya cinta kepada Allah ta'ala.

Sewaktu masih kecil Husain (cucu Rasulullah SAW) bertanya kepada ayahnya, Ali bin Abi Thalib RA: "Apakah engkau mencintai Allah?" Ali pun menjawab: "Ya". Lalu Husain bertanya lagi: "Apakah engkau mencintai kakek dari Ibu?", Ali kembali menjawab: "Ya". Husain bertanya lagi: "Apakah engkau mencintai Ibuku?", Lagi-lagi Ali menjawab: "Ya". Husain kecil kembali bertanya: "Apakah engkau mencintaiku?", Ali menjawab: "Ya'.

Terakhir si Husain yang masih polos itu bertanya: "Ayahku, bagaimana engkau menyatukan begitu banyak cinta di hatimu?” Kemudian Ali pun menjelaskan: "Anakku, pertanyaanmu hebat! Cintaku pada kekek dari ibumu (Nabi SAW), ibumu (Fatimah RA) dan kepada kamu sendiri adalah kerena cinta kepada Allah. Karena sesungguhnya semua cinta itu adalah cabang dari cinta kepada Allah ta'ala". Setelah mendengar jawaban dari ayahnya itu, Husain pun tersenyum mengerti. Wallahu a'lam bisshowab.

(Artikel ini ditulis untuk Buletin An-Nisaa, Riyadh, Saudi Arabia)

Rabu, 14 Januari 2015

Dahsyatnya Keutamaan Al-Qur’an





Sebagai wujud kasih sayang Allah SWT kepada para hamba, Ia menghadiahkan kepada mereka sebuah perjamuan. Perjamuan agung yang akan memberikan kenikmatan hakiki bagi yang pernah merasakannya. Perjamuan agung yang akan meneteskan ketenangan abadi di dada para peneguknya. Perjamuan itu bernama Al-Qur’an, perjamuan Allah ta'ala bagi kita para hamba di dunia.

Betapa tidak, Al-Qur’an memiliki banyak keutamaan yang begitu dahsyat. Keutamaan yang tidak tertandingi nilainya. Sungguh beruntung bagi kita yang berhasil meraihnya, dan merugi serugi-ruginya kita yang hingga akhir hidup gagal mendapatkannya.

Begitu dahsyat keutamaan Al-Qur’an, ia akan datang sebagai penolong kelak di hari akhir bagi orang yang selalu membacanya. Rasulullah SAW bersabda: ”Bacalah Al-Qur’an, sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat nanti memberi syafa’at (penolong) bagi orang yang membacanya dan mentaatinya” (HR. Muslim).

Begitu dahsyat keutamaan Al-Qur’an, ia lebih berharga dibanding seluruh harta dunia dan semua yang diminta manusia. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak boleh iri kecuali dalam dua perkara, yaitu: orang yang dikaruniai Allah keahlian tentang Al-Qur`an, lalu diamalkannya pada waktu malam dan siang, dan orang yang dikaruniai Allah kekayaan harta, lalu diinfakkannya pada waktu malam dan siang” (Muttafaq ‘Alaih).

Dalam hadits Qudsi juga disebutkan : "Barangsiapa disibukkan dengan mengkaji Al-Qur’an dan menyebut nama-Ku, sehingga tidak sempat memohon kepada-Ku, maka Aku akan memberinya sesuatu yang lebih baik dari apa yang Ku berikan kepada orang-orang yang memohon’. Dan keutamaan kalam Allah SWT atas semua perkataan adalah seperti, keutamaan Allah SWT atas makhluk-Nya" (HR.Tirmidzi).

Begitu dahsyat keutamaan Al-Qur’an, hingga kita bisa mendapatkan pahala yang luar biasa, dengan pengorbanan yang tidak seberapa. Rasulullah SAW bersabda: ”Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Kitabullah maka ia mendapat satu kebaikan, dan satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan alif laam miim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf; lam satu huruf dan mim satu huruf" (HR.Tirmizi).

Begitu dahsyat keutamaan Al-Qur’an, karena ia adalah obat mujarab bagi kegalauan hati kita. Allah SWT berfirman: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS.Yunus: 57).

Allah ta’ala juga berfirman: “Katakanlah bahwa Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan obat penawar bagi orang-orang yang beriman” (QS.Fusshilat: 44).

Begitu dahsyat keutamaan Al-Qur’an, hingga kita bisa menjadi manusia terbaik dengannya. Rasulullah SAW bersabda: ”Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan yang mengajarkannya” (HR. Al-Bukhari).

Kita juga akan disetarakan dengan para Malaikat yang mulia karenanya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: ”Orang yang pandai membaca Al-Qur’an akan ditempatkan bersama kelompok para Malaikat yang mulia dan terpuji. Adapun orang yang terbata-bata dan sulit membacanya akan mendapat dua pahala” (HR.Muslim).

Begitu dahsyat keutamaan Al-Qur’an, karena derajat kita di surga akan ditentukan sebanyak apa kita membacanya. Rasulullah SAW bersabda: “Akan dikatakan kepada para penghafal Al-Qur`an: bacalah dan naiklah ke atas. Bacalah dengan tartil sebagaimana dulu kamu di dunia membacanya dengan tartil. Karena derajat kamu (di surga) berada di akhir ayat yang dulu kamu biasa baca” (HR.Ahmad).

Begitu dahsyat keutamaan Al-Qur’an, hingga kita akan dibanggakan oleh Allah SWT di hadapan para malaikat-Nya. Rasulullah SAW bersabda: "Tidaklah suatu kaum berkumpul dalam salah satu rumah Allah SWT untuk membaca Al-Qur’an dan mempelajarinya, melainkan ketenangan jiwa bagi mereka, mereka diliputi oleh rahmat, dikelilingi oleh para malaikat, dan Allah SWT menyebut nama-nama mereka di hadapan para Malaikat yang ada di sisi-Nya".

Begitu dahsyat keutamaan Al-Qur’an, hingga siapa yang rajin membacanya akan dijauhi setan, kejahatan dan kesusahan. Rasulullah SAW bersabda: “Perbanyaklah membaca Al-Qur’an di rumahmu, sesungguhnya di dalam rumah yang tak ada orang membaca Al-Qur’an, akan sedikit sekali dijumpai kebaikan dirumah itu, dan akan banyak sekali kejahatan, serta penghuninya selalu merasa sempit dan susah”. Rasulullah SAW juga bersabda: “Sesungguhnya rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah, tidak akan bisa dimasuki setan” (HR.Muslim).

Begitu dahsyat keutamaan Al-Qur’an, hingga kita akan dikenakan mahkota surga jika anak kita berhasil menghafalnya. Sebaliknya, orang tua kita juga akan dihadiahi mahkota itu jika kita berhasil menghafalnya. Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa selalu membaca Al-Qur’an dan mengamalkan isinya niscaya Allah SWT akan memakaikan mahkota kepada kedua orang tuanya besok di hari kiamat yg mana cahaya mahkota tersebut lebih indah dari cahaya matahari yg menyinari rumah-rumah di dunia. dan dipakaikan kedua orang tuanya perhiasan yang tidak didapatinya didunia, lalu keduanya bertanya: dengan amal apa hingga kita diberikan pakaian ini? dikatakan: karena anakmu hafal Al-Qur’an”. Maka apakah gerangan balasan pahala yang akan dianugerahkan kepada orang yg membaca dan mengamalkan Al-Qur’an itu sendiri?” (HR.Abu Dawud).

Begitu dahsyat keutamaan Al-Qur’an, sehingga para penghafal dan pembacanya akan menjadi keluarga Allah di dunia. Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah mempunyai keluarga dari kalangan manusia". Beliau ditanya,"Siapa mereka wahai Rasulullah". Beliau menjawab: "mereka adalah Ahlul Qur’an, mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang khusus-Nya" (HR. Ahmad).

Begitu dahsyat keutamaan Al-Qur’an, maka marilah kita semakin bersemangat untuk senantiasa membacanya, merenungi maknanya, mengamalkannya dalam kehidupan nyata, dan mengajarkannya kepada keluarga dan orang-orang di sekitar kita. Semoga kita juga akan menjadi dahsyat di mata Allah dan manusia..

(Artikel ini ditulis untuk Majalah Keluarga Islami Hadila, Yayasan Solo Peduli)

Kamis, 08 Januari 2015

TRADISI KEILMUAN DI RUMAH SANG TELADAN


Al insaanu ibnu bii’atihi, manusia adalah anak dari lingkungan yang melingkarinya. Karakter, perilaku, hobi, dan gaya hidup seseorang akan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang menaunginya. Dan lingkungan sosial pertama kali yang akan dirasakan setiap manusia adalah keluarga, yang merupakan sekolah pertama (al-madrosah al-uulaa). Dari keluargalah kebiasaan-kebiaaan positif dapat diserap dengan sangat efektif oleh segenap anggotanya.

Di antara yang harus dihadirkan dalam lingkungan keluarga adalah nuansa ilmiah dan cinta ilmu. Rasululullah Muhammad SAW, sebagai teladan ideal bagi para pemimpin keluarga, dalam berbagai fragmen kehidupannya terlihat berusaha keras mewujudkan tradisi keilmuan dalam rumah tangga.

Hal itu karena Rasulullah SAW menyadari sepenuhnya, bahwa dasar atau titik tolak segala kebaikan dan kebahagian hidup manusia adalah ilmu. Sehingga wahyu yang pertama kali turun kepadanya adalah perintah untuk berilmu dengan membaca, “Bacalah dengan nama Rabbmu yang telah menciptakan” (QS. Al-‘Alaq: 1).

Suatu hari Fatimah RA, putri tercinta Rasulullah SAW, mengadu dan mengeluh kepada sang ayahanda karena tiap hari harus menumbuk gandum yang membuat tangannya menjadi kasar. Alih-alih memberi harta atau mencarikan seorang pembantu untuknya, Rasulullah SAW malah menggunakan kesempatan itu untuk mentransfer ilmu yang baru saja beliau dapatkan dari Malaikat Jibril AS, dengan mengajarkan kepada Fathimah beberapa dzikir sebelum tidur yang jauh lebih baik dari apa yang ia minta.

Begitu juga dalam kehidupan suami-istri, Rasulullah SAW selalu menyisipkan muatan ilmu dalam dialog dan interaksi sehari-sehari. Seperti Aisyah Binti Abi Bakr RA, yang tidak hanya sekedar menjadi zaujah bagi Rasulullah SAW, tetapi juga sebagai murid utama dan tersetia. Rasulullah SAW sangat giat mengajarinya berbagai disiplin ilmu seperti akhlak, aqidah, fiqih, faraidh, dan tafsir.

Hingga Aisyah pun menjadi sosok perempuan Islam yang paling faqih, yang menjadi rujukan keilmuwan para sahabat pada waktu itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Atho’ Bin Abi Rabbah RA, “Aisyah adalah manusia yang paling paham dengan agama, paling berilmu dan paling baik pendapatnya”.

Aisyah juga menjadi sumber utama periwayatan hadits, tercatat sebanyak 2210 hadits telah diriwayatkan oleh para sahabat dari Aisyah. Hingga Abu Musa Al-Asy’ari RA mengatakan, “Tidaklah kami mendapatkan suatu masalah tentang hadits, lalu kami datang dan bertanya kepada Aisyah, kecuali pasti kami mendapatkan jawabannya”.

Takdirnya sebagai perempuan, tak menghalanginya berkiprah dalam kancah ilmiah. Hingga dari didikan Aisyah telah lahir para imam dan ulama terkemuka dari kalangan Tabi’in seperti: ‘Urwah Bin Zubair, Masruq Bin Ajda’, dan Qosim Bin Muhammad, yang menimba ilmu dari Aisyah di balik hijab di Masjid Nabawi.

Contoh yang lain adalah istri Rasululullah SAW yang bernama Shofiyah Binti Huyai RA, yang merupakan wanita paling terhormat di kalangan Bani Quraidhah dan Bani Nadhir. Bapaknya adalah Huyai Bin Akhtab, pemimpin dan Ulama terkemuka Yahudi Madinah. Imam Tirmidzi meriwayatkan bahwa suatu hari Shofiyah menangis tersedu-sedu karena Hafshah baru saja memanggilnya dengan “Anak Yahudi”, yang sangat menyakiti hatinya.

Bukan menghibur dengan gombalan kosong, tetapi Rasulullah SAW menjawab Shofiyah dengan fakta ilmiah yang mampu meredakan kesedihannya, “Sungguh Engkau adalah anak Nabi, dan pamanmu adalah Nabi, dan sekarang Engkau menjadi istri Nabi, lalu apa yang membuat Hafshah mengejekmu?”. Dan memang benar jika dirunut asal-usul nasabnya, Shofiyah merupakan anak keturunan Nabi Harun AS yang merupakan saudara kandung Nabi Musa AS.

Kesungguhan Rasulullah dalam menanamkan kecintaan kepada ilmu sejak usia dini juga terbukti dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakroh dan Abdullah Buraidah, bahwasanya suatu hari Rasululullah SAW pernah berkhutbah di mimbar, menyampaikan ilmu di hadapan para sahabat, sambil membawa Hasan dan Husein RA yang masih belia di sisinya.

Bahkan ternyata bukan hanya para putri, istri, dan cucu saja yang merasakan manisnya ilmu dalam rumah Rasulullah SAW, pembantu beliau yang bernama Anas Bin Malik juga kecipratan nikmat itu. Karena Sang Teladan bukan hanya menghormatinya dan tidak pernah mencela hasil kerjanya sebagai pembantu, tetapi juga dengan penuh kasih sayang mengajarinya berbagai ilmu.

Bagaimana dalam berbagai kesempatan seperti saat melakukan perjalanan, ketika menemani ke pasar, ketika berperang, ketika berdua di dalam rumah, bahkan ketika beberapa kali Rasulullah SAW menegurnya, Anas selalu memperoleh pancaran ilmu yang begitu berharga. Seperti ketika Rasulullah mengingatkannya untuk mengucap salam sebelum masuk rumah, “Wahai anakku, jika Engkau memasuki rumah, ucapkanlah salam, maka itu akan menjadi keberkahan untukmu dan untuk keluargamu” (HR. Tirmidzi).

Hingga saking banyaknya hadits yang ia hafal dari Rasulullah SAW, di kemudian hari Anas Bin Malik menjadi rujukan utama para perawi hadits. Ia pun menempati urutan ketiga setelah Ibnu Umar dan Abu Hurairah dalam periwayatan, dan tercatat sekitar 2282 hadits termaktub dalam musnadnya.

Begitulah Rasulullah SAW, bersungguh-sungguh menghadirkan budaya ilmu dalam kehidupan berkeluarga. Dengan begitu sabar dan telaten ia mengajari, menjawab, berdialog dan berdiskusi dengan segenap istri dan putri-putrinya. Berbagai macam masalah kehidupan diselesaikan dengan sudut pandang keilmuan yang arif dan bijaksana.

Tentu hal ini sangat berbeda dengan fenomena sebagian Ustadz, Murobbi, Da’i, Guru, atau aktivis Dakwah, yang di masyarakat terkenal sebagai orang berilmu, begitu fasih menjawab soalan dan pertanyaan umat, namun giliran ditanya oleh istri atau anaknya terlihat malas dan ogah-ogahan, atau bersikap cuek dan menjawab sekenanya. Bahkan tak jarang menganggapnya sebagai angin lalu.

Padahal bagi para pelaku dakwah, keluarga seharusnya menjadi objek dan target utama sebelum yang lainnya. Sebagaimana saat awal menyebarkan Islam di kota Mekkah, Rasulullah SAW diperintah Alloh Ta’ala untuk lebih memperhatikan dan mengutamakan keluarganya, “Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat” (QS. As-Syu’araa: 214).

Semoga kita mampu menjadi pemimpin keluarga ideal seperti Rasulullah SAW, yang berhasil menghadirkan tradisi keilmuan dalam keluarga. Tentunya dengan berbagai metode dan cara seperti: sabar berdiskusi suami-istri, telaten berdialog penuh kehangatan dengan anak, mengajak mereka silaturrahmi tokoh atau Ulama, agenda berbelanja buku bersama, dan serius menghadirkan budaya membaca dalam keluarga. Wallahu a’lam bisshowab.

(Artikel ditulis untuk rubrik Rumah Tangga Nabi, Majalah Parenting Permata)

Selasa, 06 Januari 2015

كتاب التربية الجنسية عند ابن قيم الجوزية - حكيم الدين سليم



Pendidikan Seksual Menurut Ibnu Qoyyim Al Jauziyah (Tesis Magister)
Untuk download file dalam bentuk PDF click here