Kemarin siang, ketika mengendarai motor sepulang dari kuliah,
tiba-tiba handphone saya berdering. Oh, SMS dari rumah rupanya. " Ass.
Mbah Kakung Le, td jam 2. Pmakaman hr minggu, jam 2". Innaalillah! SMS
dari Bunda tadi membuyarkan pikiran saya akan tugas paper dan skripsi
yang menumpuk. Iya betul, Simbah saya tercinta telah berpulang ke rahmat
Allah, setelah beberapa tahun terakhir terbaring sakit.
Perasaan
tidak percaya bercampur duka menyelimut di hati dan kepala. Permintaan
saya kepada Allah agar bisa mendampingi Simbah saat ia dipanggil
ternyata tidak dikabulkanNya. Sedih memang, tapi semoga ini adalah yang
terbaik untuk semua. Pulang ke Indonesia? Ah, rasanya tidak mungkin.
Perjalanan pesawat dari Saudi ke Jakarta butuh waktu sepuluh jam. Belum
perjalanan dari Jakarta ke Klaten. Seandainya dengan cepat saya bisa
mendapatkan tiket pesawat, waktu tetap tidak cukup. Apalagi ujian mid
semester pekan ini akan dimulai, pihak kampus tidak mungkin memberi
izin. Akhirnya hanya dengan tumpahan doa kepada Allah dan menulis
catatan ini, saya berusaha mengikis duka dan lara.
Nama
lengkapnya adalah KH.Abdul Salam. Waktu kecilnya dulu ia dipanggil
dengan nama "Temon". Ketika muda ia berguru kepada beberapa Kyai
terkenal di Jatinom seperti KH.Abdul Hamid, KH.Abdul Khanan atau Mbah
Bong. Bersama teman segenerasi seperti H.Ahmad Qomari, Alm Mbah Ahmad
Sahlan dan Alm Mbah Muslih, ia belajar ilmu agama. Simbah juga ikut
serta perjuangan Hizbullah melawan penjajah Jepang dan terlibat dalam
pemberantasan PKI. Simbah pernah bercerita, bahwa suatu hari ia dikejar
tentara dan lari bersembunyi di masjid sambil berdoa. Ketika para
tentara itu masuk ke masjid, seolah mereka tidak melihat apa-apa dan
langsung pergi lari terbirit-birit.
Para tetangga akrab
memanggilnya dengan "Mbah Doel". Sedangkan jama'ah pengajian dalam
forum resmi memanggilnya dengan sebutan "Kyai", bahkan sejak sebelum
Simbah naik Haji. Mungkin lebih tepatnya Simbah adalah Kyai tanpa
pesantren. Atau Kyai kampung. Kalau saya lebih suka menyebutnya sebagai
seorang Da'i. Jumlah pengajian dan jama'ahnya memang cukup banyak,
meliputi beberapa desa di kawasan kecamatan Jatinom dan sekitarnya.
Diantaranya adalah Desa Plaeng, Pandeyan, Jagran, Dukuh, Tangkilan,
Tanggu, Padas, Belan, Manton, Padangan dan Bonyokan. Tiap pekan ia
menyambangi mereka untuk menyampaikan siraman rohani Islam. Saya masih
ingat, di hari ketiga bulan Syawal, biasanya kami sekeluarga dibikin
bingung oleh tamu yang sangat banyak jumlahnya. Rumah joglo Simbah yang
cukup luas, penuh sesak dengan jama'ah. Mereka datang dari beberapa desa
secara serentak menggunakan truk pasir. Memang agak udik kedengarannya.
Pekerjaan
Simbah setiap hari adalah sebagai pedagang alat-alat besi dan
pertukangan. Simbah mempunyai dasaran kecil di beberapa pasar. Sederhana
memang. Tapi dari situlah, bersama sang istri ia berhasil membesarkan
ketujuh anaknya menjadi sarjana. Oiya, Simbah juga sangat hobi membaca.
Koleksi Kitab kuningnya lumayan banyak. Biasanya beliau mendapatkannya
dari pusat penjualan buku bekas di Pandan Simping, Sriwedari atau
Shoping Jogja, sambil kulakan dagangan. Begitulah hidupnya; siang
berdagang, malamnya berdakwah.
Inilah yang paling
berkesan bagi saya sejak kecil hingga kini. Ketika Simbah keluar malam
untuk mengisi pengajian, sering sekali ia mengajak saya. Waktu itu
sangat jarang jemputan. Paling-paling diantar naik sepeda ketika pulang.
Akhirnya kami berjalan kaki. Menyusuri sawah dan gelap malam. Kadang ia
menggendong saya. Kadang kalau lelah Simbah menyuruh saya berjalan
sendiri, sambil mengajarkan sebuah doa, "Ya Qowiyyu Ya Matin". Biar kuat katanya.
Setelah
sampai di desa tujuan, ada dua hal yang biasanya saya lakukan. Kalau
isi pengajian Simbah menarik, seperti kalau ia menyitir kisah para Nabi
dan Wali Songo, saya akan setia mendengarkan sampai akhir. Tapi kalau
tidak, saya akan tidur di sampingnya dan bangun ketika cemilan pengajian
dihidangkan. Merepotkan memang. Tapi beliau tetap sabar penuh
pengertian. Bagi saya ia adalah seorang kakek yang sangat baik, murah
senyum, jarang marah dan mudah untuk dimintai uang jajan.
Setelah
saya masuk pesantren, mulai timbul sedikit gesekan di antara kami.
Biasa, perbedaan pandangan antar generasi. Paham anti bid'ah yang saya
dapatkan berbeda dengan pandangannya yang sangat tradisional. Suatu
hari, ketika saya sedang libur dari pesantren di tahun pertama, desa
sebelah mengadakan pangajian Maulid Nabi SAW dan Simbah diminta jadi
pembicara utama. Waktu itu pihak panitia juga meminta saya menyampaikan
kultum pembuka. Nah, dengan semangat anak SMP yang baru gede, yang baru
dapat secuil ilmu, saya menyampaikan kultum tentang masalah bid'ah yang
menyinggung hakikat Maulid Nabi. Langsung ketika itu dalam pengajian
inti, Simbah "menyerang balik" apa yang saya sampaikan. Huh, malunya
minta ampun!
Belakangan saya baru paham bahwa masalah
Maulid Nabi tidak sesempit yang saya pikirkan. Para Ulama dunia pun
berbeda pendapat soal ini. Apalagi peringatan Maulid Nabi di Indonesia
sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh kaum Sufi dan Tarekat di
Timur Tengah, yang penuh dengan penyimpangan. Jadi sangat debatable dan
tidak boleh sampai menjadi sebab perpecahan.
Masalah
yang lain, Simbah sering didatangi orang untuk berobat. Aneh, memangnya
dokter? Bahkan banyak yang datang dari luar kota. Dan yang paling sering
adalah orang yang sakit gigi. Cara mengobatinya memang unik. Simbah
menyuruh pasien untuk memegang bagian yang sakit, kemudian menuntunnya
dengan sebuah doa. Setelah itu ia menulis sesuatu pada secarik kertas
dan memakunya di dinding. Ketika itu, sering saya iseng mencabut paku
tersebut. Yang mana, di kemudian hari pasien itu pasti kembali minta
diobati lagi.
Belakangan saya baru tahu kalau doa yang
Kakek gunakan untuk mengobati orang bukan sembarang doa, tapi adalah doa
yang ma'tsur atau ada dasarnya dalam Hadits Shohih. Dan cara yang ia
lakukan memang ada dalam metode pengobatan ala Nabi. Kecuali soal paku
dan secarik kertas, sampai sekarang saya belum pernah mendapatkan
dalilnya.
Begitulah, beberapa waktu berlalu, langkah kami belum
bisa bertemu. Di desa, saya terkenal anti kenduri dan tahlilan.
Sedangkan Simbah justru jadi tukang doa dan pimpinan.
Hingga
akhirnya ketika saya mulai bergabung pada sebuah komunitas dakwah,
dimana saya banyak belajar tentang fiqih dakwah, hubungan kami berangsur
mesra. Apalagi kemudian saya melanjutkan kuliah ke Madinah, yang dari
sana saya paham bahwa perbedaan itu suatu hal yang biasa. Kami pun
saling memperlunak sikap, mendekatkan langkah, dan akhirnya ketemu di
tengah.
Di usianya yang sudah tua, Simbah masih terus
giat berdakwah. Hingga suatu hari terpaksa berhenti karena harus operasi
kanker prostat. Setelah sembuh, ia kembali berdakwah. Kemudian kembali
harus operasi karena penyakit Hepatitis. Sejak itu Simbah sudah tidak
pernah keluar malam lagi. Aktivitas dakwah hanya dilakukan di
masjid-masjid terdekat. Karena sudah sangat tua, waktu itu hampir 80
tahun, kadang isi pengajian yang ia sampaikan kehilangan arah. Sering
Simbah menyampaikan khotbah Jum'at hampir satu jam lamanya. Tentunya
para jama'ah menjadi sangat gerah. Akhirnya pihak keluarga memohon
langsung ke Ta'mir Masjid agar Simbah tidak dijadwal lagi untuk
berkhutbah.
Mulai saat itu, Simbah hanya tinggal di
rumah. Aktivitasnya bergulir dari membaca buku, mengaji, makan, sholat
dan istirahat. Sambil menjaga rumah saat semua keluarga mencari nafkah
dan cucu-cucu sedang sekolah. Liburan musim panas tahun lalu, saya masih
sering bersamanya. Tiap pagi saya membantu membopongnya untuk
dimandikan. Ketika mengobrol, apa yang dibicarakan Simbah sudah agak
samar. Saya hanya bisa menyimpulkan sekilas bahwa ia bertanya tentang
masalah agama atau menceritakan pengalamannya ketika naik Haji. Terbetik
dalam benak hati saya, sepertinya usia Simbah tak akan lama.
Dan
benar saja, kini Simbah telah tiada. Pergi untuk selama-lamanya.
Meninggalkan pesan kepada saya dan kita semua bahwa dunia hanyalah
sementara. Bahwa pilihan hidup menjadi pendakwah adalah pilihan mulia.
Bahwa estafet perjuangannya harus diteruskan dan dilanjutkan. Sungguh,
kalau bukan karena harapan akan adanya pertemuan kedua nanti di surga,
empedu hati ini akan pecah menahan sedih berpisah dengannya. Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu 'anhu…