Minggu, 09 Mei 2010

Selamat Jalan Kakek Tercinta


Kemarin siang, ketika mengendarai motor sepulang dari kuliah, tiba-tiba handphone saya berdering. Oh, SMS dari rumah rupanya. " Ass. Mbah Kakung Le, td jam 2. Pmakaman hr minggu, jam 2". Innaalillah! SMS dari Bunda tadi membuyarkan pikiran saya akan tugas paper dan skripsi yang menumpuk. Iya betul, Simbah saya tercinta telah berpulang ke rahmat Allah, setelah beberapa tahun terakhir terbaring sakit.

Perasaan tidak percaya bercampur duka menyelimut di hati dan kepala. Permintaan saya kepada Allah agar bisa mendampingi Simbah saat ia dipanggil ternyata tidak dikabulkanNya. Sedih memang, tapi semoga ini adalah yang terbaik untuk semua. Pulang ke Indonesia? Ah, rasanya tidak mungkin. Perjalanan pesawat dari Saudi ke Jakarta butuh waktu sepuluh jam. Belum perjalanan dari Jakarta ke Klaten. Seandainya dengan cepat saya bisa mendapatkan tiket pesawat, waktu tetap tidak cukup. Apalagi ujian mid semester pekan ini akan dimulai, pihak kampus tidak mungkin memberi izin. Akhirnya hanya dengan tumpahan doa kepada Allah dan menulis catatan ini, saya berusaha mengikis duka dan lara.

Nama lengkapnya adalah KH.Abdul Salam. Waktu kecilnya dulu ia dipanggil dengan nama "Temon". Ketika muda ia berguru kepada beberapa Kyai terkenal di Jatinom seperti KH.Abdul Hamid, KH.Abdul Khanan atau Mbah Bong. Bersama teman segenerasi seperti H.Ahmad Qomari, Alm Mbah Ahmad Sahlan dan Alm Mbah Muslih, ia belajar ilmu agama. Simbah juga ikut serta perjuangan Hizbullah melawan penjajah Jepang dan terlibat dalam pemberantasan PKI. Simbah pernah bercerita, bahwa suatu hari ia dikejar tentara dan lari bersembunyi di masjid sambil berdoa. Ketika para tentara itu masuk ke masjid, seolah mereka tidak melihat apa-apa dan langsung pergi lari terbirit-birit.

Para tetangga akrab memanggilnya dengan "Mbah Doel". Sedangkan jama'ah pengajian dalam forum resmi memanggilnya dengan sebutan "Kyai", bahkan sejak sebelum Simbah naik Haji. Mungkin lebih tepatnya Simbah adalah Kyai tanpa pesantren. Atau Kyai kampung. Kalau saya lebih suka menyebutnya sebagai seorang Da'i. Jumlah pengajian dan jama'ahnya memang cukup banyak, meliputi beberapa desa di kawasan kecamatan Jatinom dan sekitarnya. Diantaranya adalah Desa Plaeng, Pandeyan, Jagran, Dukuh, Tangkilan, Tanggu, Padas, Belan, Manton, Padangan dan Bonyokan. Tiap pekan ia menyambangi mereka untuk menyampaikan siraman rohani Islam. Saya masih ingat, di hari ketiga bulan Syawal, biasanya kami sekeluarga dibikin bingung oleh tamu yang sangat banyak jumlahnya. Rumah joglo Simbah yang cukup luas, penuh sesak dengan jama'ah. Mereka datang dari beberapa desa secara serentak menggunakan truk pasir. Memang agak udik kedengarannya.

Pekerjaan Simbah setiap hari adalah sebagai pedagang alat-alat besi dan pertukangan. Simbah mempunyai dasaran kecil di beberapa pasar. Sederhana memang. Tapi dari situlah, bersama sang istri ia berhasil membesarkan ketujuh anaknya menjadi sarjana. Oiya, Simbah juga sangat hobi membaca. Koleksi Kitab kuningnya lumayan banyak. Biasanya beliau mendapatkannya dari pusat penjualan buku bekas di Pandan Simping, Sriwedari atau Shoping Jogja, sambil kulakan dagangan. Begitulah hidupnya; siang berdagang, malamnya berdakwah.

Inilah yang paling berkesan bagi saya sejak kecil hingga kini. Ketika Simbah keluar malam untuk mengisi pengajian, sering sekali ia mengajak saya. Waktu itu sangat jarang jemputan. Paling-paling diantar naik sepeda ketika pulang. Akhirnya kami berjalan kaki. Menyusuri sawah dan gelap malam. Kadang ia menggendong saya. Kadang kalau lelah Simbah menyuruh saya berjalan sendiri, sambil mengajarkan sebuah doa, "Ya Qowiyyu Ya Matin". Biar kuat katanya.

Setelah sampai di desa tujuan, ada dua hal yang biasanya saya lakukan. Kalau isi pengajian Simbah menarik, seperti kalau ia menyitir kisah para Nabi dan Wali Songo, saya akan setia mendengarkan sampai akhir. Tapi kalau tidak, saya akan tidur di sampingnya dan bangun ketika cemilan pengajian dihidangkan. Merepotkan memang. Tapi beliau tetap sabar penuh pengertian. Bagi saya ia adalah seorang kakek yang sangat baik, murah senyum, jarang marah dan mudah untuk dimintai uang jajan.

Setelah saya masuk pesantren, mulai timbul sedikit gesekan di antara kami. Biasa, perbedaan pandangan antar generasi. Paham anti bid'ah yang saya dapatkan berbeda dengan pandangannya yang sangat tradisional. Suatu hari, ketika saya sedang libur dari pesantren di tahun pertama, desa sebelah mengadakan pangajian Maulid Nabi SAW dan Simbah diminta jadi pembicara utama. Waktu itu pihak panitia juga meminta saya menyampaikan kultum pembuka. Nah, dengan semangat anak SMP yang baru gede, yang baru dapat secuil ilmu, saya menyampaikan kultum tentang masalah bid'ah yang menyinggung hakikat Maulid Nabi. Langsung ketika itu dalam pengajian inti, Simbah "menyerang balik" apa yang saya sampaikan. Huh, malunya minta ampun!

Belakangan saya baru paham bahwa masalah Maulid Nabi tidak sesempit yang saya pikirkan. Para Ulama dunia pun berbeda pendapat soal ini. Apalagi peringatan Maulid Nabi di Indonesia sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh kaum Sufi dan Tarekat di Timur Tengah, yang penuh dengan penyimpangan. Jadi sangat debatable dan tidak boleh sampai menjadi sebab perpecahan.

Masalah yang lain, Simbah sering didatangi orang untuk berobat. Aneh, memangnya dokter? Bahkan banyak yang datang dari luar kota. Dan yang paling sering adalah orang yang sakit gigi. Cara mengobatinya memang unik. Simbah menyuruh pasien untuk memegang bagian yang sakit, kemudian menuntunnya dengan sebuah doa. Setelah itu ia menulis sesuatu pada secarik kertas dan memakunya di dinding. Ketika itu, sering saya iseng mencabut paku tersebut. Yang mana, di kemudian hari pasien itu pasti kembali minta diobati lagi.

Belakangan saya baru tahu kalau doa yang Kakek gunakan untuk mengobati orang bukan sembarang doa, tapi adalah doa yang ma'tsur atau ada dasarnya dalam Hadits Shohih. Dan cara yang ia lakukan memang ada dalam metode pengobatan ala Nabi. Kecuali soal paku dan secarik kertas, sampai sekarang saya belum pernah mendapatkan dalilnya.
Begitulah, beberapa waktu berlalu, langkah kami belum bisa bertemu. Di desa, saya terkenal anti kenduri dan tahlilan. Sedangkan Simbah justru jadi tukang doa dan pimpinan.

Hingga akhirnya ketika saya mulai bergabung pada sebuah komunitas dakwah, dimana saya banyak belajar tentang fiqih dakwah, hubungan kami berangsur mesra. Apalagi kemudian saya melanjutkan kuliah ke Madinah, yang dari sana saya paham bahwa perbedaan itu suatu hal yang biasa. Kami pun saling memperlunak sikap, mendekatkan langkah, dan akhirnya ketemu di tengah.

Di usianya yang sudah tua, Simbah masih terus giat berdakwah. Hingga suatu hari terpaksa berhenti karena harus operasi kanker prostat. Setelah sembuh, ia kembali berdakwah. Kemudian kembali harus operasi karena penyakit Hepatitis. Sejak itu Simbah sudah tidak pernah keluar malam lagi. Aktivitas dakwah hanya dilakukan di masjid-masjid terdekat. Karena sudah sangat tua, waktu itu hampir 80 tahun, kadang isi pengajian yang ia sampaikan kehilangan arah. Sering Simbah menyampaikan khotbah Jum'at hampir satu jam lamanya. Tentunya para jama'ah menjadi sangat gerah. Akhirnya pihak keluarga memohon langsung ke Ta'mir Masjid agar Simbah tidak dijadwal lagi untuk berkhutbah.

Mulai saat itu, Simbah hanya tinggal di rumah. Aktivitasnya bergulir dari membaca buku, mengaji, makan, sholat dan istirahat. Sambil menjaga rumah saat semua keluarga mencari nafkah dan cucu-cucu sedang sekolah. Liburan musim panas tahun lalu, saya masih sering bersamanya. Tiap pagi saya membantu membopongnya untuk dimandikan. Ketika mengobrol, apa yang dibicarakan Simbah sudah agak samar. Saya hanya bisa menyimpulkan sekilas bahwa ia bertanya tentang masalah agama atau menceritakan pengalamannya ketika naik Haji. Terbetik dalam benak hati saya, sepertinya usia Simbah tak akan lama.

Dan benar saja, kini Simbah telah tiada. Pergi untuk selama-lamanya. Meninggalkan pesan kepada saya dan kita semua bahwa dunia hanyalah sementara. Bahwa pilihan hidup menjadi pendakwah adalah pilihan mulia. Bahwa estafet perjuangannya harus diteruskan dan dilanjutkan. Sungguh, kalau bukan karena harapan akan adanya pertemuan kedua nanti di surga, empedu hati ini akan pecah menahan sedih berpisah dengannya. Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu 'anhu…