Jumat, 29 Januari 2016

Bersama Al-Qur'an Hingga Tetes Darah Penghabisan

Lelaki hebat itu bernama lengkap ‘Utsman bin ‘Affan bin Abil ‘Aash Al-Umawi Al-Qurashi. Ia dijuluki Dzun Nurain (pemilik dua cahaya), karena Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam menikahkannya dengan kedua putrinya. Yang pertama dengan Ruqayyah radhiyallahu ‘anha. Setelah Ruqayyah wafat, ia dinikahkan lagi dengan Ummu Kultsum radhiyallahu ‘anha.

Sahabat yang termasuk dalam assabiqun al-awwalun itu, adalah saudagar kain yang kaya dan dermawan. Sebagai contoh, ia pernah membeli sumur yang harganya setara dengan emas 2,5 kg, lalu diwakafkan untuk umat Islam Madinah. Pada perang Tabuk, ia mendermakan 1000 ekor unta dan 70 ekor kuda, ditambah 1000 dirham. Saat musim paceklik di zaman Khalifah Abu Bakar, ia mendonasikan gandum yang diangkut dengan 1000 unta.
Meski demikian, ‘Utsman terkenal sebagai sahabat yang low profile, rendah diri, bahkan pemalu. Saking pemalunya, Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam sendiri juga malu dan segan dengannya. ‘Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah, “Ketika Abu Bakar masuk, engkau biasa saja dan tidak memberi perhatian khusus. Lalu ‘Umar masuk, engkau pun biasa saja dan tidak memberi perhatian khusus. Akan tetapi ketika ‘Utsman masuk engkau langsung duduk dan membetulkan pakaian, mengapa?" Rasullullah menjawab, “Apakah aku tidak malu terhadap orang yang malaikat saja malu kepadanya?” (HR. Imam Muslim).
Ia pun termasuk salah satu dari al-mubassyarin bil jannah, para sahabat yang dijamin masuk surga. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bazzar, bahwa Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam bersabda, “Wahai ‘Utsman, sesungguhnya setiap Nabi memiliki teman, dan engkau adalah temanku di surga”. Juga yang diceritakan oleh Abu Musa Al-Asy’ari, bahwa suatu hari ‘Utsman mengetuk pintu Rasulullah, maka beliau bersabda, “Bukakan untuknya, dan berilah ia kabar gembira dengan surga atas cobaan yang menimpanya” (HR. Imam Bukhori).
Selain dari itu semua, ‘Utsman adalah teladan utama dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Sepenuh hidupnya seperti sudah diwakafkan untuk Al-Qur’an. Saat Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam masih hidup, ia termasuk jajaran huffadzh dan penulis wahyu. Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan, dahulu Rasulullah suka bersandaran di rumahnya, sedangkan ‘Utsman duduk di depan beliau. Lalu datang Jibril ‘alaihis salam membawa wahyu, hingga Rasulullah bersabda, “Tulislah wahai ‘Utsman”.
Hidup ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu tak pernah lepas dari Al-Qur’an. Itu tercermin dari kata-kata terkenalnya, “Sungguh aku sangat benci jika datang suatu hari dan aku tidak melihat mushaf sama sekali”. Ia juga pernah berkata, “Dijadikan kecintaanku ada pada tiga hal: memberi makan orang yang kelaparan, memberi pakaian orang yang membutuhkan, dan membaca Al-Qur’an”.
Di antara kata-kata emasnya yang lain adalah, “Ada empat hal yang dhohirnya adalah keutamaan namun di dalamnya ada kewajiban: bergaul dengan orang sholeh adalah keutamaan, namun meneladani mereka adalah kewajiban. Membaca Al-Qur’an adalah keutamaan, namun mengamalkannya adalah kewajiban. Ziarah kubur adalah keutamaan, namun bersiap untuk mati adalah kewajiban. Menengok orang sakit adalah keutamaan, namun mengambil hikmah darinya adalah kewajiban”.
Imam Nawawi menyebutkan dalam At-Tibyan, bahwa ‘Utsman termasuk sahabat yang biasa khatam Al-Qur’an dalam sehari semalam. Bahkan ‘Utsman pernah mengkhatamkan Al-Qur’an dalam satu roka’at sholat. Hasan Al-Bashri juga meriwayatkan, saking rajinnya membaca Al-Qur’an, saat ‘Utsman meninggal dunia, mushaf kesayangannya sangat lusuh dan hampir berhamburan.
‘Utsman mengingatkan kita, bahwa tilawah Al-Qur’an bisa menjadi tolok ukur kebersihan hati dan jiwa. Semakin bersih hati seseorang, semakin betah ia berlama-lama membaca Al-Qur’an. Sebaliknya, jika ia tak pernah tahan lama saat membacanya, dipertanyakan kesucian hatinya. ‘Utsman pernah mengatakan, “Andai hati kita suci, maka kita tak akan pernah kenyang membaca firman Rabb kita”.
Sahabat yang masuk Islam lantaran dakwah Abu Bakar As-Shiddiq itu, juga menekankan akan pentingnya pemahaman dan pengamalan dari apa yang dibaca. Abu Abdirrahman As-Sullami mengisahkan, “Dahulu ‘Utsman tidak pernah melewati sepuluh ayat dari Al-Qur’an, kecuali ia telah menghafalnya, memahaminya dan mengamalkannya. Maka ia belajar ilmu dan amal bersamaan”.
Tidak berhenti sampai disitu, ‘Utsman juga sangat giat mengajarkan Al-Qur’an kepada orang lain. Tercatat beberapa qurra’ terkenal adalah hasil didikan ‘Utsman, seperti Mughirah bin Abi Syihab, Abul Aswad, Abu Abdirrahman As-Sullami, dan Zirr bin Hubaisy. Ia lah perawi utama hadits yang sangat terkenal di kalangan Ahlul Qur’an: “Sebaik-baik orang di antara kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya” (HR. Imam Bukhori).
Kemudian ketika ‘Utsman mendapatkan amanah menjadi Khalifah yang ketiga menggantikan ‘Umar bin Khattab, tugas-tugas kenegaraan sama sekali tidak menjauhkannya dari Al-Qur’an. Justru ‘Utsman menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk lebih maksimal berkhidmat untuk Al-Qur’an. Tercatat dalam sejarah, di masa Khalifah ‘Utsman lah proyek besar pembukuan Al-Qur’an tuntas dilaksanakan.
Saat itu wilayah kaum Muslimin semakin luas, hingga sampai ke Syiria, Khurasan, Persia dan Afrika Utara. Jumlah orang-orang yang masuk Islam pun semakin banyak. Sedangkan perselisihan tentang bacaan Al-Qur’an sudah mulai bermunculan. Bahkan di pusat kekhilafahan sendiri, banyak yang saling mengkafirkan karena kesalahan dan perbedaan bacaan.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Qilabah, ‘Utsman pun berdiri dan bekhutbah kepada mereka, “Kalian saja yang disini banyak salah bacaan dan saling berselisih, tentu mereka yang berada di negeri-negeri yang jauh dari kita lebih dahsyat salah dan perselisihannya. Berkumpullah wahai para Sahabat Muhammad, dan bukukan untuk manusia sebuah mushaf sebagai rujukan!”.
Kemudian ‘Utsman mengutus seseorang untuk mengambil lembaran-lembaran Al-Qur’an yang berada di rumah Hafshah, istri Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam. Lalu ia perintahkan kepada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘Ash, dan Abdurrahman bin Harits, untuk menyusun dan menyalin mushaf, serta mengirimkannya ke berbagai wilayah Islam sebagai patokan.
Kedekatan ‘Utsman dengan Al-Qur’an terus belanjut hingga usianya yang senja. Saat Ahlul Fitnah mengepung rumahnya selama 40 hari, usia ‘Utsman sudah 88 tahun. Sebagai upaya perlindungan, rumahnya dijaga ketat oleh Zubair bin ‘Awwam, Muhammad bin Thalhah, dan Ali bin Abi Thalib beserta kedua putranya. Walau sebenarnya pengepungan itu tidak berpengaruh apa-apa bagi ‘Utsman, selain ia tambah dekat dengan Al-Qur’an.
‘Utsman terus membaca Al-Qur’an sampai waktu sahur. Lalu ia berpuasa dan tertidur. Setelah terbangun ia berkata kepada istrinya, “Aku akan terbunuh malam ini”. Sang istri pun menyanggah, “Tidak wahai Amirul Mukminin, mereka tidak akan melakukannya!”. ‘Utsman pun berkata, “Aku tadi mimpi bertemu Rasulullah, Abu Bakar dan ‘Umar. Mereka berkata: engkau akan berbuka bersama kami malam ini”.

Lalu ia kembali mengambil Al-Qur’an dan membacanya. Hingga para ahlul fitnah menerobos masuk ke rumahnya sambil menghunuskan pedang. Ketika darah ‘Utsman tertumpah, bacaannya sampai pada surat Al-Baqarah ayat 137, Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka dan Dia lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. Ibnu Jarir menjelaskan, tidak satu pun orang yang terlibat dalam pembunuhan itu, kecuali kemudian hari juga mati terbunuh. Radhiyallahu ‘anhu wa ‘anis shohabati ajma’ain.

:: Artikel ini ditulis untuk kolom Jejak Salaf Bersama Al-Qur'an di www.ibnu-abbas.com

0 komentar: