Senin, 04 April 2016

BIARKAN ANAK-ANAK BAHAGIA DI MASJID


Masjid kampung kami, daerah Rabwah, pinggiran kota Madinah, adalah masjid yang ramai dengan anak-anak karena dekat dengan apartemen mahasiswa yang sudah berkeluarga. Saya sendiri sangat menikmati suasana riuh itu. Biasanya saya sempatkan menyapa anak-anak lintas negara itu, mecubit pipi mereka, atau sekedar mengusap kepala mereka.

Hingga akhir-akhir ini, ketika sering terjadi keributan antar jama'ah, masjid kami menjadi sepi. Sehabis salam, sering ada bapak-bapak yang teriak memarahi jama'ah lain lantaran anaknya yang masih kecil "mengganggu" kekhusyua'annya. Bukan saja sang ayah yang kena "damprat", sang anak pun juga kena "semprot".

Bahkan pernah ada bapak-bapak yang terus ngomel tak henti-henti dengan suara keras, sambil melewati jama'ah lain yang masbuq (terlambat). Saya yang waktu itu juga masbuq, merasa sangat terganggu dengan omelan itu, melebihi terganggunya kami dengan ramainya anak-anak. "Enta az'ajtana aktsar mimma az'ajal athfaal ya basya!".

Kini masjid kami menjadi sepi. Anak-anak itu sudah jarang kelihatan. Semoga saja mereka tidak trauma datang ke masjid gara-gara kejadian kemarin. Semoga juga generasi pewaris itu tidak sedang asyik berada di tempat lain yang belum tentu baik untuk tumbuh kembang mereka. Seperti banyak anak-anak di tanah air yang lebih betah di warnet, main play station atau counter strike.

Rasulullah SAW pernah bersabda, "Perintahkanlah anak-anakmu untuk melaksanakan sholat pada usia tujuh tahun. Dan pukullah mereka (jika enggan melaksanakannya) pada usia sepuluh tahun" (HR. Imam Ahmad). Syeikh 'Utsaimin menjelasakan, bahwa usia tujuh tahun adalah batas maksimal untuk mulai mengajak mereka ke masjid. Karena menyuruh mereka sholat, terkandung padanya menyuruh mereka ke masjid. Apalagi anak laki-laki.

Pun proses lahirnya generasi "Rajulun mu'allaqun qolbuhu bil masajid" (lelaki yang hatinya terikat dengan masjid) - yang termasuk dalam tujuh golongan yang akan mendapat naungan dari Alloh Ta'ala di padang Mahsyar - harus sudah dimulai sejak mereka dini usia. Kalau tidak, keburu mereka terikat dengan yang lain di luar sana.

Adapun hadits yang berbunyi, "Jannibuu shibyaanakum minal masajid" (jauhkan anak-anak kecil kalian dari masjid), menurut para ulama (seperti Al-Bani), adalah hadits dho'if, tidak bisa dijadikan sandaran. Apalagi jika diartikan secara mutlak. Sedangkan banyak syawahid lain yang bertentangan dengan itu.

Lalu bagaimana dengan anak-anak di bawah usia tujuh tahun? Meski mengakui besarnya faidah tarbawiyah dengan membawa mereka ke masjid, secara fiqih, para ulama mensyaratkan beberapa hal: di antaranya aman dari najis dan tidak mengganggu pelaksanaan sholat.

Artinya, tetaplah bawa anak-anak ke masjid, namun perhatikan syarat-syarat tersebut di atas. Toh dulu Rasulullah SAW pernah mengerjakan shalat sambil menggendong Umamah kecil, putri Zainab dari suaminya yang bernama Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’. Pada saat berdiri, beliau menggendongnya dan saat sujud, beliau meletakkannya (HR. Bukhori Muslim).

Juga kisah beliau bersama cucu yang lain, yaitu Hasan bin ‘Ali. Saat suatu hari Hasan naik ke atas punggung Nabi SAW yang sedang ruku’, padahal beliau sedang memimpin sholat berjamaah. Para jamaah yang berada di belakang Nabi tentu mulai heran, “Mengapa kok ruku’ Nabi selama ini?”, tanya mereka dalam hati. Tapi Nabi SAW tetap tidak panik, apalagi menurunkan dan memarahi cucu tersayang.

Setelah hasan turun dari punggung Nabi, beliau pun bangun dari ruku’nya yang lama. Namun ketika sujud, gantian Husain yang dari tadi berada di sekitar Nabi naik ke atas punggung beliau. Bagi Husain yang masih kecil, posisi Nabi pada saat sujud merupakan kesempatan yang tepat untuk menjangkau punggung orang tercinta itu. Husain pun menikmati hangatnya punggung Nabi, hingga ia betah berlama-lama di atasnya.

Rasulullah SAW tak bergeming sedikit pun, ia tetap dalam keadaan bersujud, enggan melerai Husain dari punggungnya. Mungkin Nabi takut mengecewakan Husain yang sedang bermain di atas punggungnya, atau mungkin takut ia terjatuh. Setelah merasa puas berlama-lama di punggung kakeknya, Husain segera turun. Nabi pun bangkit dari sujud untuk melanjutkan sholatnya.

Atas kejadian tersebut, para sahabat mengira nabi akan marah kepada Hasan dan Husain. Tapi ternyata setelah salam Nabi bersikap biasa, tanpa ekspresi kemarahan atau kekesalan atas “gangguan” yang dilakukan kedua cucunya.

Kasus yang hampir sama juga pernah terjadi saat Rasulullah SAW sedang berkhutbah. Di tengah khutbah, tiba-tiba Hasan datang menghampiri. Anak kecil itu pun naik ke atas mimbar. Bukan menghalau atau mengusirnya, justru Nabi SAW dengan penuh kelembutan memeluknya dan mengusap kepalanya seraya berdoa, “Anakku (cucuku) ini adalah seorang pemimpin, mudah-mudahan kelak melalui tangannya, Allah SWT akan mendamaikan antara dua kelompok besar dari kaum Muslimin.” (HR. Imam Ahmad)

Soal najis, tentu di zaman modern ini lebih mudah mengatasinya. Air yang melimpah, aneka macam pampers, dan berbagai jenis alat pembersih, adalah solusi nyata. Tentu para ayahanda dan ibunda lebih paham cara mensiasatinya.

Adapun tentang kekhusyu'an, menurut saya itu relatif. Semua tergantung yang menjalaninya. Orang yang shalat di tengah lalu lalang banyak manusia pun, seperti di Masjidil Haram, tetap akan bisa khusyu kalau dia mau. Bahkan Mujahidin di medan pertempuran pun, dengan sholat khouf-nya, tetap memungkinkan untuk bisa khusyu'.

Meskipun, ini berbeda antara orang yang satu dengan yang lainnya. Ada yang memang sangat terganggu dengan keributan anak kecil. Terutama orang yang sudah tua. Seperti Ibu saya, yang tiap pulang dari Masjid, sering mengeluhkan ramainya anak-anak. Kalau ini tidak diperhatikan, pastilah terjadi keributan. Bukan saja kekhusyua'an yang terganggu, psikis sang anak pun akan terluka mendengar "semprotan" banyak orang.

Maka dari itu, perlu kerjasama berbagai pihak untuk memecahkan masalah ini. Para orang tua harus bisa "pangerten" mengarahkan anak-anak untuk bisa "anteng" selama sholat berjama'ah ditunaikan. Tahdzib itu tetapa harus dilakukan. Jangan dibiarkan. Tentu dibantu dan didukung oleh jama'ah lain, tanpa harus membuat keributan.

Saya sendiri pernah berkali-kali berhasil mengajak anak-anak yang sedang "gojekan", untuk ikut sholat berjama'ah. Saya sapa dulu, senyum, tarik pelan-pelan, lalu diajak ikut sholat di samping saya. Akhirnya anak itu (entah anak siapa) ikut menyelesaikan sholat sampai akhir. Bagaimana caranya lah...

Peran DKM atau Ta'mir Masjid juga tidak kalah penting. Kalau perlu masjid menyediakan arena atau ruang bermain khusus untuk anak-anak. Atau bisa juga di buat Tempat Penitipan Anak. Berlebihan kah? Tentu tidak! Ini adalah investasi murah demi melahirkan generasi masa depan yang dekat dengan Masjid.

Ah, saya jadi rindu dengan sebuah Masjid di pelosok Klaten sana, yang merupakan surga dunia pertama saya. Namanya Masjid Al-Munawwarah. Masih segar di ingatan, pembina TPA saya, Mas Parjono namanya, yang selalu sabar memeluk hangat saya, agar saya yang masih TK tidak berlarian kemana-mana. Jazahullah ahsanal jazaa...

Indahnya Pagi Bersama Lantunan Doa


SYIAH DAN PEMBEBASAN PALESTINA


Pasca KTT OKI kemarin, isu Palestina kembali mencuat ke publik Indonesia. Tak urung berbagai pihak ikut menyampaikan respon dukungan, apa pun motivasi dan ideologinya. Tentu ini sangat positif. Inilah yang namanya kemenangan nilai. Saat agenda yang kita perjuangkan, ikut didukung dan disuarakan lain barisan. Meski bukan kita yang dapat tepuk tangan.

Tak terkecuali barisan pro Syiah. Beberapa aktivis Syiah dan pendukungnya dari kalangan liberal ikut angkat suara soal Palestina. Statement-statement heroik dari mereka pun bermunculan. Sebagian malah meng-klaim sebagai donatur utama. Namun, apa benar selama ini Rafidhah lah yang membantu Hamas?

Beberapa hari yang lalu, saat acara Multaqo Dirosat 'Ulya di Madinah, Syekh Mahraan menegaskan fakta sebenarnya. Ulama muda asal Palestina itu mengatakan, bahwa Hamas selama ini memang terbuka menerima dana dan dukungan dari siapa saja demi pembebasan Palestina. Baik dari negara Barat, Komunis, apalagi Syiah.

Bahkan canda beliau, Syetan sekalipun kalau mau menyumbang dana, mereka akan terima dengan tangan terbuka. Tapi, semua itu tanpa ada syarat! Hamas akan menolak syarat apa pun dari donatur, terutama jika itu bertentangan dengan prinsip perjuangan dan nilai dasar Islam.

Seperti saat Iran menawarkan pembangunan sebuah masjid di Gaza. Mereka mensyaratkan masjid itu harus diberi nama Imam Khomeini. Tentu saja Hamas menolak syarat ini. Mereka tidak sudi Palestina menjadi ajang propaganda dan menarik simpati. Konon sampai saat ini, masjid tersebut tak kunjung dibangun.

Syekh Mahraan mengingatkan akan kebiasaan Syiah selama ini dalam meng-eksploitasi isu-isu yang menarik simpati publik. Seperti soal Revolusi Islam, anti Amerika, termasuk isu Palestina. Sebagaimana mereka telah sukses mengangkat tema cinta Ahlul Bait, meski 'Ali bin Abi Thalib RA dan segenap Ahlul Bait sendiri, baraa' (berlepas diri) dari mereka.

Tentu kita juga ingat, konflik antara Milisi Syiah Hizbullah dengan Zionis Israel di dataran tinggi Golan satu dasa warsa yang lalu. Saat itu Hizbullah mendapatkan simpati yang luar biasa dari dunia Islam. Bahkan Grand Syaikh Al-Azhar sempat menggelari Hasan Nashrullah sebagai Mujahid Islam. Namun seiring berjalannya waktu, sandiwara itu terungkap. Israel tak dirugikan apa-apa dari kontak senjata pura-pura itu. Malahan kini Hizbullah terbukti terlibat aktif membantu rezim Syiah Nushairiyah dalam membantai Muslimin di Syiria.

Yang teranyar, soal uji coba rudal balistik milik Iran. Rudal itu bertuliskan "Israel Must be Wiped Out". Kita tunggu saja apakah rudal itu akan benar-benar menghantam dan meluluh-lantakkan Israel? Atau itu cuma "kura-kura dalam perahu" seperti biasanya?

Yang pasti, sejarah telah mencatat, pencetus dan pelopor utama ideologi Syiah adalah seorang zindiq bernama Abdullah bin Saba'. Ia seorang Yahudi asal Yaman yang menyamar sebagai Muslim untuk melakukan infiltrasi. Lantas dibakar hidup- hidup oleh Imam 'Ali RA sendiri karena bersikukuh menuhankannya. Jika di zaman ini Rafidhah memusuhi bahkan menyerang Israel, itu jeruk makan jeruk namanya...

MAHALNYA NYAWA SEORANG MUSLIM


ANTARA KITA DAN ORANG KAFIR


Sebenarnya, apa sih dasar hubungan antara kita dengan orang kafir? Lawan atau kawan? Musuhan atau damai? Pertanyaan ini penting untuk dijawab, karena ini akan mempengaruhi cara kita bersikap terhadap mereka.

Dalam acara Ta'hil Thullab Dirosat 'Ulya, Syekh Prof. Dr. Abdul Mun'im Al-Bukhori menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Ada yang berpendapat dasar hubungan kita dengan orang kafir adalah hubungan damai ('alaqah silmiyah). Ada juga yang berpendapat dasar hubungannya adalah permusuhan ('alaqah 'udwaniyah).

Pendapat pertama berdalil, bahwa kita dan orang kafir terikat dengan hubungan kemanusiaan ('alaqah basyariah). Kita dan mereka sama-sama keturunan Nabi Adam AS. Dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8, Alloh tidak melarang kita untuk berbuat baik dan adil kepada mereka, selagi mereka tidak memusuhi, menindas dan memerangi kita. Serta sejumlah dalil naqli dan 'aqli lainnya.

Sedangkan pendapat kedua berhujjah, tidak ada perdamaian antara keimanan dan kekufuran. Dalam Al-Qur'an banyak sekali perintah untuk memerangi mereka, hingga penghambaan dan peribadatan murni seutuhnya hanya untuk Alloh. Rasulullah sendiri menegaskan, umirtu an uqaatila annaasa hattaa yasyhaduu allaa ilaaha illalloh...

Yang menarik adalah, Syekh Abdul Mun'im punya pendapat sendiri yang lain dari keduanya. Pakar aqidah yang pernah setahun tinggal di Indonesia ini, berpandangan bahwa dasar hubungan kita dengan orang kafir adalah hubungan dakwah ('alaqah da'awiyah).

Kita yang diberi karunia hidayah oleh Alloh, berkewajiban untuk menularkan hidayah tersebut kepada mereka. Berusaha berdakwah kepada mereka dengan hikmah, mau'idzoh hasanah, dan debat dengan cara yang baik. Mengajak sebanyak mungkin orang untuk masuk surga, harus menjadi obsesi kita.

Andai terpaksa berperang dengan mereka pun, itu adalah dalam rangka membela diri dan melindungi dakwah. Seperti yang terjadi di Palestina, Syiria, Rohingnya, Afghan, Iraq, dan belahan dunia Islam lainnya.

Atau bisa juga karena agenda perluasan dakwah. Seperti yang terjadi pada masa keemasan Islam, saat Umat punya kekuatan. Itu pun untuk sampai terjadi perang, harus melalui tahapan-tahapan panjang, seperti: negosiasi diplomatik, ultimatum untuk menyerah, atau penawaran untuk membayar jizyah.

Berperang pun, Islam mengatur dengan sangat ketat adab dan etikanya. Tidak boleh membunuh anak kecil, orang tua, atau para pendeta di rumah ibadahnya. Kenapa? Selain alasan kemanusiaan, itu semua karena dasar hubungan kita dengan mereka adalah dakwah. Siapa tahu orang-orang yang tidak terlibat permusuhan itu tertarik dengan Islam dan mau beriman. Wallahu a'lam bisshowab.

Sabtu, 02 April 2016

MUHASABAH JIWAKU


Tersadar, terhenyak, dan tergugu
Tak terasa tiga puluh tahun berlalu

Jauh dari sahabat Mu'adz bin Jabal
Yang paling faqih haram dan halal

Tidak seperti Muhammad 'Abdul Hadi
Ilmuwan hadits tersohor seluruh negeri

Atau pun sehebat Hafizh Al-Hakami
Ma'aarijul Qabul-nya berkah hingga kini

Bertinta emas nama-nama mereka
Meski hanya terkarunia kepala tiga

Sedangkan dirimu wahai jiwa?
Masih berkubang jahl, lalai dan dosa

Moga ada waktu untuk bangkit berlari
Terbang, menukik ke puncak tertinggi

Hingga di usia empat puluh nanti
Lisan ini pantas berucap: Rabbi auzi'ni

An asykura ni'matakallati an'amta
'Alayya wa 'alaa waalidayya...

Senja Hari di Kota Nabi, 2/4/2016