Di sebalik tabir keberhasilan
seorang pejuang, selalu ada sosok perempuan hebat di belakangnya. Bersama
langkah para qaadah dan ‘udhoma dalam sejarah umat ini, selalu ada
dukungan istri yang setia mendampingi. Para kaum berhati lembut itu, bukan
sekedar berstatus istri, tapi berhasil menggandakan perannya sebagai peneguh
keyakinan, penajam pikiran, telaga keteduhan, selimut ketenangan, dan penghibur
dalam kesedihan.
Ada kesetiaan Hawa, bersama tugas
berat Adam sebagai khalifah. Ada qona’ah Hajar, di samping kuatnya
tauhid Ibrahim. Ada dukungan moral dan material dari Khadijah, saat Muhammad
berhadapan dengan para thoghut Mekkah. Ada nasehat emas Moudhy, di balik
gerakan tajdid Muhammad bin Saud. Ada kesabaran Lathifah, di belakang
langkah juang Al-Banna. Ada kelembutan Masrurah, yang memperindah wibawa Hasyim
Asy’ari. Ada peran serta Siti Walidah, bersama kecemerlangan Ahmad Dahlan.
Namun demikian, tak sedikit para pejuang
yang surut langkahnya setelah bertengger di pelaminan. Apalagi para pejuang
akhir zaman. Alih-alih kiprah dan prestasi dakwahnya bertambah, pernikahan yang
diharapkannya bakal menghasilkan lompatan-lompatan hebat, justru membuat
semangat juangnya sekarat. Tentu banyak sebab atas degradasi militansi yang
terjadi, tapi acapkali salah satu sebab itu berasal dari sang istri.
Ada yang semenjak menikah, menjadi
jarang kelihatan di agenda-agenda dakwah. Padahal ia dulu terkenal sebagai
aktifis yang militan dan produktif. Bagaimana mau aktif berdakwah, jika hendak
keluar rumah untuk rapat atau mengisi kajian, sang istri selalu pasang
wajah cemberut. Apalagi jika pamit mau mukhoyyam, sang istri langsung bermuram
durja dan meneteskan air mata. Lalu bagaimana jika panggilan jihad tiba?
Ada pula yang terkendala perbedaan
fikrah. Sang akhwat yang dinikahinya, ternyata tak sepakat dengan
visi dan misi dakwahnya. Perdebatan hebat sering terjadi, yang tak jarang
berakhir pada pertengkaran sengit. Demi menyelamatkan bahtera rumah tangga,
terpaksa ia undur diri dari komunitas dakwahnya. Sayangnya, di komunitas yang
baru ia merasa tak nyaman. Sampai saat ini ia masih vakum dan kebingungan, laa
ilaa haa-ulaa’ walaa ilaa haa-ulaa’.
Ada juga yang terganjal
semangatnya untuk tholabul ‘ilmi. Sebenarnya kebutuhan umat terhadap kafa’ah
syar’i telah membuatnya bertekad untuk kuliah hingga doktor di luar negeri.
Namun tekad itu melemah setelah ia menikah. Rengekan dan keluhan sang istri
yang tak tahan hidup di perantauan, membuatnya urung mewujudkan impian. Ia pun
pulang ke tanah air dengan tangan hampa dan pupus harapan.
Pun ada yang terbelit masalah
ekonomi. Pendapatannya sebagai guru di pesantren dan penceramah di berbagai
mejelis ta’lim, terasa kurang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hal itu
diperparah dengan gaya hidup sang istri yang cenderung boros dan tinggi selera.
Terpaksa ia harus banting setir keluar dari pesantren dan menyibukkan diri dengan
dagangannya. Hingga tak ada lagi bagi dakwah waktu yang tersisa.
Cuplikan fenomena di atas
semestinya tidak perlu terjadi jika para istri memahami dan menyadari peran
besar mereka sebagai tulang punggung perjuangan. Rasulullah ‘alaihis sholatu
wassalam menjanjikan kepada perempuan yang mendukung suaminya untuk berjihad, berdakwah,
menuntut ilmu, dan bersabar atas itu semua, dengan pahala yang sama dengan
pahala yang didapatkan oleh suaminya.
Sebagaimana hadits tentang Asma’ binti Yazid Al-Anshariyah radhiallahu ‘anha, bahwa dia
mendatangi Rasulullah, sementara beliau sedang duduk di antara para sahabatnya.
Asma’ pun berkata, “Aku korbankan bapak dan ibuku demi dirimu wahai Rasulullah.
Aku adalah utusan para wanita di belakangku kepadamu. Sesungguhnya Allah
mengutusmu kepada seluruh laki-laki dan wanita, maka mereka beriman kepadamu
dan kepada Rabbmu. Kami para perempuan selalu dalam keterbatasan, sebagai
penjaga rumah, tempat menyalurkan hasrat dan mengandung anak-anak kalian”.
Asma’ pun melanjutkan, “Sementara kalian kaum laki-laki
mengungguli kami dengan shalat Jum’at, shalat berjamaah, menjenguk orang sakit,
mengantar jenazah, berhaji setelah sebelumnya sudah berhaji dan yang lebih utama dari itu adalah jihad
fi sabilillah. Jika lah seorang dari kalian pergi haji atau umrah atau jihad,
maka kamilah yang menjaga harta kalian, yang menenun pakaian kalian, yang
mendidik anak-anak kalian. Bisakah
kami menikmati pahala dan kebaikan itu sama seperti kalian?”.
Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam pun memandang para
sahabat dengan segenap wajahnya. Kemudian beliau bersabda, “Apakah kalian
pernah mendengar ucapan seorang perempuan yang lebih baik pertanyaannya tentang
urusan agamanya dari pada perempuan ini?” mereka menjawab, “Ya Rasulullah,
kami tidak pernah menyangka ada wanita yang bisa bertanya seperti dia”.
Maka Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam menengok kepadanya
dan bersabda, “Pahamilah wahai perempuan, dan beritahu para wanita di
belakangmu, bahwa ketaatan istri kepada suaminya, usahanya untuk memperoleh
ridhanya dan kepatuhannya terhadap keinginannya menyamai semua itu.” Wanita itu pun berlalu dengan wajah
berseri-seri. (HR. Imam Baihaqi).
Harus disadari dan diyakini, saat
para pejuang itu banting tulang untuk membela dan menolong agama Allah ta’ala,
hingga tak ada waktu dan tenaga yang tersisa buat keluarga, apakah Allah akan
membiarkan keluarga yang dicintainya terlantar? Allah ta’ala telah
menjanjikan, “Jika kalian menolong (agama) Allah, maka Allah akan menolong
kalian dan meneguhkan kedudukan kalian” (QS. Muhammad: 7).
Seperti juga yang diriwayatkan
Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam bersabda, “Jagalah
Allah, maka Allah akan menjagamu” (HR. Imam Tirmidzi). Tinta sejarah telah
mencatat, bahwa penjagaan Allah terhadap siapa yang mau menjaga agama dan hukum-hukum-Nya
disini tidak hanya bagi diri yang bersangkutan, tetapi dengan izin Allah
penjagaan itu juga mencakup anak dan istri yang menjadi tanggungannya.
Tentu wujud pertolongan dan
penjagaan Allah di atas bukan melulu berupa materi. Semua itu bisa terwujud
dalam keberkahan hidup, anak-anak yang sholeh dan sholehah, kemudahan urusan,
dijauhkan dari musibah, dan terpautnya hati manusia kepadanya. Itu semua adalah
berkah perjuangan yang datang dari arah yang tak disangka.
Memang, para suami juga harus diingatkan
untuk tidak lalai menunaikan kewajibannya terhadap keluarga. Namun kadang
terjadi, meski sudah diatur dan diupayakan sedemikian rupa, realita perjuangan
menuntut pengorbanan lebih hingga tak ada waktu tersisa. Lagi pula hangatnya
hubungan tak selalu harus bersama. Bahkan perpisahan sementara akan membuncahkan
rindu di dada dan cinta pun semakin membara. Sometimes we need to disconnect
to make a fresh connection.
Hari ini, agenda besar nahdhotul
ummah (kebangkitan umat) membutuhkan lebih banyak pengorbanan dan relawan
sebagai martirnya. Ini akan meminta apa pun yang kita miliki, termasuk
orang-orang terdekat yang kita cintai. Maka dari itu, tidak ada jalan lain bagi
para istri, kecuali ikhlas dan ikhtisab untuk berbagi suami. Ya, berbagi
suami dengan dakwah demi tegaknya panji Ilahi.
Semoga kebersamaan yang tertahan di
dunia ini, berbuah kebersamaan abadi di surga nanti. “Dan orang-orang yang
bersabar karena mengharap ridha-Nya, mendirikan shalat, dan berinfaq dari rizki
yang Kami berikan kepada mereka, sembunyi atau terang-terangan, dan menolak
keburukan dengan kebaikan; mereka itulah yang mendapat tempat kesudahan yang
baik. Yaitu syurga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama orang-orang yang
saleh dari bapak-bapak, isteri-isteri dan anak cucu mereka.” (QS. Ar-Ra’d:
22-23).
:: Artikel ini ditulis untuk situs dakwah www.manhajuna.com
:: Artikel ini ditulis untuk situs dakwah www.manhajuna.com
0 komentar:
Posting Komentar