Mengapa semua ayat tentang jihad (kecuali ayat shafqah dalam surat At-Taubah), perintah berjuang dengan harta selalu didahulukan dari pada berjuang dengan jiwa? Menurut sebagian ulama hal itu karena harta bersifat darurat dan multi fungsi dalam perjuangan. Ada juga yang berpendapat karena sifat bakhil yang menghinggapi kebanyakan manusia. Betapa banyak orang yang ringan berkorban dengan tenaga, lisan, keringat, bahkan nyawa, namun berat untuk berkorban dengan harta. Hanya sedikit orang yang bisa terjaga dari kekikiran dan kebakhilan, “Dan barangsiapa yang terjaga dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. At-Taghabun: 16).
Salah
satu yang kami kenal dari mereka yang sedikit itu adalah dokter Tunjung. Menara kedermawanan yang menutup hidup pada usia 71 itu, mengajarkan
kepada kita bagaimana berhubungan dengan harta dunia. Bahwa ia cukup di tangan saja, tak perlu masuk sampai ke dada.
Bukti
nyata dari kedermawanan beliau adalah adanya Isykarima. Ma’had yang didirikan pada
tahun 1998 itu adalah saksi bisu lapis-lapis al-‘athaa al-mutawaashil yang
tak pernah henti mengalir. Beliau adalah pendiri sekaligus sebagai donatur
utama, sehingga nama Isykarima menjadi sangat identik dengan beliau. Tentunya tanpa menafikkan peran donatur dan perintis lainnya.
Masih
segar di ingatan, saat dulu kami masuk Isykarima hanya membayar uang sebesar
Rp. 500.000 saja. Itu pun kembali kepada kami dalam wujud peralatan pribadi
seperti ranjang dan kasur, bukan sebagai uang gedung atau sumbangan pendidikan.
Uang SPP bulanannya pun hanya Rp. 150.000, tak sebanding dengan fasilitas dan
menu makan harian yang jauh di atas rata-rata pesantren pada umumnya. Itu pun
kami beberapa tahun sempat mendapat beasiswa prestasi, tanpa harus membayar
uang sepeser pun.
Masih segar di
ingatan juga, saat tiap bulan Pak Dokter beserta istri menengok kami sambil
membawa aneka snack dan makanan, lalu dengan penuh kelembutan dan kebapakan
bertanya, “Antum butuh apa lagi?”. Berbagai kebutuhan fasilitas belajar
dan olahraga, tanpa harus repot meminta segera terpenuhi. Benar-benar seperti
ayah kandung bagi para Asatidz dan santri.
Waktu itu kami pernah
jatuh sakit hingga harus diopname di Kustati. Setelah
dirawat intensif dan istirahat cukup kami diperbolehkan kembali ke Ma’had. Saat kami bertanya bagaimana dengan biaya
rumah sakit? Salah seorang Ustadz menjawab, “Alhamdulillah sudah
diselesaikan Pak Dokter”.
Kedermawanan itu
terus melimpah kepada kami bahkan saat kami sudah lulus. Sebelum berangkat ke
Madinah kami sempat berpamitan khusus kepada beliau. Maksud kami adalah ingin
berterima kasih atas segala kebaikan beliau selama ini. Namun lagi-lagi tangan
panjang Pak Dokter seperti tak mau berhenti menggapai keutamaan. Seamplop tebal
uang beliau sisipkan saat salaman. Alasan bahwa seluruh kebutuhan untuk ke
Madinah sudah dicukupi oleh orang tua pun tertolak mentah-mentah. “Nggak
papa, terima aja, buat tambah sangu”, kata beliau.
Itu pun masih
berlanjut setelah kami di Madinah. Setiap beliau berangkat umroh, semua alumni Isykarima
di Madinah selalu mendapat “jatah” khusus dari beliau layaknya seorang ayah
yang menengok anaknya. Fasilitas lebih dari cukup buat kami dari kampus seperti
tak digubris oleh beliau. Tak lupa beliau selalu mengingatkan kami, “
Hafalan Qur’annya gimana?” atau “Jangan lupa sama ma’had ya...”. Pun
demikian yang kami dengar dari beberapa alumni di tempat yang lain.
Suatu saat kami
pernah membawa seorang teman mahasiswa Madinah dari Papua yang sakit lutut
cukup akut menemui beliau. Berbagai rumah sakit dan dokter spesialis, plus
pengobatan alternatif sudah dicoba tanpa hasil yang signifikan. Alhamdulillah,
melalui tangan dingin beliau kini teman kami tersebut bisa berjalan normal.
Lagi-lagi itu beliau lakukan tanpa sepeser pun memungut biaya. Sampai malu
rasanya menerima kebaikan yang bertubi-tubi itu.
Tentunya hilir
kedermawanan beliau bukan hanya kami. Berapa banyak lembaga dan proyek dakwah
yang teraliri sakhaa’ dan karam beliau? Berapa banyak santri dan
aktifis Islam yang telah beliau tolong? Berapa banyak pasien yang beliau obati
dengan membayar sebagian atau bahkan gratis keseluruhan? Belum lagi
kedermawanan “ringan” yang banyak diceritakan orang. Seperti cerita orang
tentang pengajian di rumah beliau yang selalu disediakan makan malam. Cerita
orang tentang para pedagang kecil yang dipersilakan numpang berjualan. Cerita
orang tentang kran air yang sengaja ditaruh di luar pagar bagi siapa saja yang
membutuhkan. Cerita-cerita kesaksian itu begitu riuh terdengar saat beliau
menutup usia kemarin.
Putra dari
Pahlawan Nasional Prof. Dr. dr. R. Soeharso itu juga menaruh perhatian besar
pada nasib Muslimin di belahan bumi lain. Bukan saja darah biru yang beliau
warisi dari sang ayah, namun juga darah juang. Jika mendiang R. Soeharso dulu
tercatat aktif melawan penjajah Jepang, hingga harus masuk daftar hitam Nippon
yang harus dimusnahkan, begitu pula dengan dokter Tunjung yang terkenal
royal memberi donasi untuk daerah konflik di berbagai dunia Islam. Tercatat juga
bersama Sahabat Al-Aqsha beliau pernah menembus Gaza membawa bantuan dan alih
teknologi bedah.
Yang lebih indah
dari itu, menara kedermawanan itu berdiri kokoh tanpa sedikit pun berkabut
keangkuhan. Justru ketawadhu’an dan kesederhanaan lah yang dipancarkan. Setidaknya
itu yang yang kami rasakan dan diceritakan banyak orang. Masih terkesan di
ingatan saat orang sepenting dan sesibuk beliau mau mendatangi walimahan
sederhana kami di pelosok Jatinom sana. Beliau yang hadir bersama Ustadz
Syihab, Syekh Hisyam, Mas Hanif, dan beberapa Asatidz lain begitu sabar
menunggu hingga acara usai. Padahal saat menyerahkan undangan kami sempat su’udzon.
“Alah paling-paling beliau ga dateng, mana sempat?”, batin kami saat itu.
Beberapa kali
bertemu, pakaian yang beliau pakai pun juga biasa-biasa saja. Rumah tempat
tinggal beliau adalah rumah khas jawa “biasa” yang sederhana, sangat kontras
dengan deretan mall dan perkantoran elit di jalan Slamet Riyadi. Beberapa
kali berkesempatan masuk ke rumah ahli bedah anggota International College
of Surgeons itu, tidak ada perabotan yang istimewa dan mewah di ruang tamunya.
Wallahu hasiibuhu walaa uzakkii ‘alallahi ahada.
Itulah sekelumit kesaksian, di hamparan kebaikan yang tak terjangkau penglihatan. Berharap coretan ini menjadi obat kesedihan, saat raga tak turut hadir mensholatkan. Jika bukan karena harapan akan pertemuan kedua di surga, mungkin empedu hati ini akan pecah menahan duka. Kami menyayangi kalian berdua, namun Alloh lebih besar sayang dan rahmat-Nya. Selamat jalan wahai dua menara...
Kembali ke: Mengenang "Dua Menara" dari Kampung Dua Menara (1)
Kembali ke: Mengenang "Dua Menara" dari Kampung Dua Menara (1)
0 komentar:
Posting Komentar