Minggu, 06 Desember 2015

Misi Khilafah Itu Diemban Adam Yang "Tidak Sempurna"



“Sungguh pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal. Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman” (QS.Yusuf: 111).


Meniti jalan panjang dakwah tak semudah berkata-kata. Seringkali pangkalnya sudah jauh dari mata, namun ujungya belum juga tiba. Di sepanjang jalan itu, berbagai rintangan, halangan, hantaman, jebakan dan godaan, telah siap menyapa. Terkadang bosan melanda. Kadang pula putus asa menerpa. Disitulah para pejuang dakwah selalu butuh peneguh dan peneduh, yang akan menguatkan langkah juangnya.

Salah satu sumber peneguh dan peneduh itu adalah kisah para Nabi. Bukan hanya karena kisah atau cerita lebih mudah dicerna dan lebih menginspirasi dibanding teori, namun lebih dari itu mereka para Nabi adalah gerbong pertama dalam kereta dakwah ini. Pun mereka adalah para manusia pilihan penerima wahyu, yang menjadi garansi keautentikan dan kesakralan, untuk pantas diikuti dan diteladani.

Tentu bukan tanpa sebab, saat Alloh sering menyebut kisah kehidupan dan perjuangan mereka dalam Al-Qur’an. Sebagaimana sejarah pasti akan mengulang dirinya, pertarungan antara al-haqq dan al-bathil yang mereka hadapi adalah sunnatulloh yang juga akan tetap ada dan pasti terulang. “Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tidak akan menemukan perubahan pada sunnatullah itu” (QS. Al-Fath: 23).

Aktor pertama sejarah panjang dakwah di muka bumi adalah Abul Basyar, Nabi Adam ‘alaihissalam. Sebagaimana dituturkan Ibnu Katsir dalam Qashashul Anbiyaa, kisah Nabi Adam dalam Al-Qur’an bermula ketika Alloh ta’ala memberitahu Malaikat tentang penciptaan Adam ‘alaihissalam dan pengembanan tugas memakmurkan bumi kepadanya. 

Alloh ta’ala berfirman yang artinya, “Dan ingatlah ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat: sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (QS. Al-Baqarah: 30). Maksud khalifah di sini adalah Adam dan keturunannya yang turun-temurun akan saling menggantikan untuk memakmurkan bumi.

Lalu disebutkan dalam ayat yang sama, para Malaikat bertanya: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”. Pertanyaan Malaikat tersebut, meski tidak bermaksud melecehkan Adam, dijawab tegas oleh Alloh ta’ala: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".

Lalu Alloh mengajarkan kepada Adam al-asmaa’ (nama-nama) benda seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat dan berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!" (QS. Al-Baqarah: 31).

Maka Malaikat pun tersadar dan mengatakan, "Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana."

Allah pun memerintahkan Adam untuk memberitahukan kepada Malaikat mereka nama-nama benda tersebut. Lalu Alloh kembali menegaskan, "Bukankah sudah Aku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"


Ikhwah fillah, dalam menghadapi beban dakwah yang ada, perasaan tidak mampu dan tidak pantas kadang terlintas di benak kita. Kesadaran akan kekurangan dan keterbatasan diri seringkali membuat kita urung maju ke depan. Kadang juga, kesalahan yang masih sering kita lakukan membuat kita enggan untuk mencegah kesalahan yang ada di sekitar kita.


Atau mungkin pernah juga kita merasa saudara kita seperjuangan tidak pantas menegmban sebuah tugas dakwah, dikarenakan kekurangan dan keterbatasan yang ada padanya. Kita lah yang lebih pantas. Sebagaimana Malaikat yang “mempertanyakan” kompetensi dan kapabilitas Adam ‘alaihissalam untuk menjadi khalifah di bumi.

Kisah Nabi Adam dan Malaikat ‘alaihimussalam di atas memberi pelajaran, bahwa tidak sempurnanya kita tidak boleh membuat kita berkecil hati untuk menerima amanah perjuangan. Sebagaimana kita tidak boleh meragukan orang lain saat telah diputuskan amanah itu diembankan kepadanya. Karena memang sudah dari sananya, Adam sebagai muasal manusia diciptakan dengan potensi kelemahan dan kekurangan. Bahkan pada episode berikutnya Adam harus terusir dari surga karena kesalahan yang diperbuatnya.

Yang terpenting adalah niat tulus untuk terus belajar dan kesediaan untuk meningkatkan kapasitas diri. Sebagaimana Adam yang belajar dari Alloh tentang Asmaa’. Maka dari proses ta’lim dan ta’allum inilah, Adam mempunyai nilai lebih dari yang lain, sehingga menjadi berhak untuk mengemban tugas khilafah memakmurkan dan menjaga bumi dari kerusakan.

Lain dari pada itu, selalu ada hikmah yang tersembunyi di balik realita dakwah yang ada. Sebagaimana Alloh mempunyai hikmah atas penunjukkan Adam sebagai khalifah. Mungkin memang dia “bukan paling ideal” dari yang ada, namun yang pasti dia sosok paling tepat untuk zaman itu dengan berbagai tuntutannya. Karena sunnatullah menegaskan, “Likulli marhalatin khoshoo’ishuha, wa likulli marhalatin rijaaluha”.

:: Artikel ini ditulis untuk perintisan buku Jejak Dakwah Para Nabi

0 komentar: