Selasa, 30 Desember 2014

DAHSYATNYA ISTIGHFAR



Imam Al-Qurthubi menyebutkan sebuah cerita dari Ibnu Shabih, bahwasanya suatu hari ada seorang laki-laki mengadu kepada Hasan Al-Bashri tentang kegersangan atau kemarau panjang yang ia alami, maka Hasan Al-Bashri berkata kepadanya, “Beristighfarlah kepada Alloh!”. Lalu datang lagi orang lain mengadu kepadanya tentang kemiskinan, maka ia berkata kepadanya, “Beristighfarlah kepada Alloh!”.

Kemudian datang lagi orang lain memohon kepadanya, “Do'akanlah aku kepada Alloh, agar Ia memberiku anak!”, maka ia menjawab, “Beristighfarlah kepada Allah!”. Hingga ketika datang lagi yang lain mengadu kepadanya tentang kekeringan yang melanda kebunnya, Hasan Al-Bashri tetap menjawab dengan jawaban yang sama, “Beristighfarlah kepada Allah!”.

Maka Ibnu Shabih bertanya kepadanya, “Banyak orang yang mengadukan macam-macam (perkara) dan Anda memerintahkan mereka semua untuk beristighfar?. Lalu Hasan Al-Bashri menjawab, “Aku tidak mengatakan hal itu dari diriku sendiri. Tetapi sungguh Alloh telah berfirman dalam surat Nuh:

فقلت اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا * يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا * وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا

Yang artinya: "Mohonlah ampun kepada Rabb kalian, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai- sungai". (QS.Nuh : 10-12).

Kisah Imam Hasan Al-Bashri tersebut mengajarkan kepada kita bahwa kalimat istighfar yang kita ucapkan tidak hanya sebagai bukti lisan bahwa kita bertaubat kepada Alloh ta’ala. Istighfar juga bukan sekedar menjadi sebab diampuninya dosa kita, sebagaimana termaktub dalam hadis Qudsi, “Maka beristighfarlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni kalian”. Akan tetapi ternyata istighfar juga akan membuahkan berbagai karunia dan kenikmatan. Beristighfar dengan penuh kesadaran dan keinsyafan, akan mengundang rizki dari Alloh berupa: hujan, harta, anak keturunan, perniagaan dan perkebunan.

Ada sebuah pertanyaan, apa hubungan anugerah rizki dengan istighfar yang kita lakukan? Bagaimanakah logika dan hikmahnya? Jawabnya adalah Hadits Rasulullah SAW: “Sesungguhnya seorang hamba pasti akan terhalang dari rizki disebabkan oleh dosa yang telah ia perbuat” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Hakim).

Jadi jika kita bermaksiat dan berbuat dosa, bukan saja ancaman siksa neraka yang kita dapatkan, tetapi kita juga akan terhalang dari karunia rizki dari Alloh di dunia. Atau menurut Ibnu Rajab, dosa kita akan mengurangi anugerah rizki dan keberkahannya. Dan salah satu cara untuk melancarkan kembali rizki kita adalah dengan memperbanyak istighfar, hingga Alloh Ta’ala berkenan menghapus dosa kita, sang penghalang nikmat dan karunia.

Terkait dengan kedahsyatan istighfar, Rasulullah SAW juga bersabda:

مَنْ أَكْثرَ الْاِسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجَا، وَمِنْ كُلِّ ضِيْقٍ مَخْرَجَا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْث لاَ يَحْتَسِبُ

Yang artinya: "Barangsiapa memperbanyak istighfar (mohon ampun kepada Alloh) niscaya Alloh menjadikan untuk setiap kesedihannya jalan keluar dan untuk setiap kesempitannya kelapangan dan Alloh akan memberinya rizki (yang halal) dari arah yang tidak disangka-sangka". (HR.Ahmad, Abu Daud, An-Nasa'i, Ibnu Majah dan Hakim).

Istighfar yang kita lantunkan dengan penuh penghayatan dan perasaan bersalah juga akan mampu menahan datangnya azab dan bala bencana. Hal ini ditegaskan oleh Alloh Ta’ala dalam surat Al-Anfal, yang artinya: “Dan Alloh sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. dan tidaklah (pula) Alloh akan mengazab mereka, sedang mereka beristighfar (meminta ampun).” (QS. Al-Anfal: 33).

Telah banyak kisah dan pengalaman tentang orang yang banyak beristighfar, dan ternyata istighfarnya membuat Alloh Ta’ala berkenan mengabulkan setiap doa dan harapan yang ia miliki. Seperti dikisahkan dalam kitab Shifatus Shafwah karangan Ibnul Jauzi, bahwa suatu hari Imam Ahmad Bin Hanbal melakukan perjalanan jauh dan kemalaman, hingga sempat kebingungan untuk mencari tempat bermalam. Kemudian ia meminta izin kepada pengurus masjid setempat untuk menmperbolehkannya istirahat di masjid barang satu malam.

Sayang sekali, kendati ketenaran Imam Ahmad sudah sampai di seluruh pelosok neg eri, dan di wilayah tersebut sudah banyak ajaran dan pengikut mazhabnya namun tak banyak orang yang tahu bagaimana sosok dan rupa sang Imam, karena keterbatasan informasi dan teknologi.

Karena itulah, pengurus masjid tak memperbolehkannya menginap di masjid setempat. Sang Imam besar pun sempat luntang-lantung malam itu, hingga akhirnya seorang pengusaha roti bersedia menerima ia di rumahnya.

Ketika sampai di rumah si tukang roti, Imam Ahmad terus memperhatikan amalan yang diwiridkan terus oleh sang tuan rumah. Menurutnya, amalan tersebut sederhana namun istimewa. Sang tuan rumah senantiasa beristighfar dalam setiap aktivitas yang ia lakukan. Lidahnya selalu saja basah dengan zikir dan meminta ampunan Alloh.

"Wahai Tuan, apa fadhilah yang Tuan dapatkan dari amalan selalu beristighfar tersebut?" tanya Imam Ahmad penasaran. Tuan rumah pun tersenyum dan menjawab, "Fadhilahnya, setiap doa yang saya panjatkan kepada Alloh, pasti selalu dikabulkan-Nya," jawab si tuan rumah. Imam Ahmad sangat salut kepadanya.

"Tapi, ada satu doa saya yang hingga saat ini belum dikabulkan Alloh," sambung sang tuan rumah. Imam Ahmad pun kembali penasaran. "Doa apakah itu, Tuan?" tanyanya. "Dari dahulu, saya berdoa kepada Alloh agar saya dipertemukan dengan Imam mazhab saya, yakni Imam Ahmad bin Hanbal. Namun hingga saat ini, saya belum juga dipertemukan dengannya," kata tuan rumah.

Mendengar hal itu, Imam Ahmad terkaget. Inilah rupanya yang memaksanya luntang-lantung tengah malam. Ini juga alasannya, mengapa Imam Ahmad diusir dari masjid dan dipaksa berjalan tengah malam hingga akhirnya dipertemukan dengan si tukang roti itu. Semuanya sama sekali bukan suatu kebetulan, melainkan skenario Alloh SWT untuk menjawab doa si tukang roti.

Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah SAW selalu beristighfar setiap hari minimal seratus kali, beliau bersabda:

إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ كُلَّ يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ

Yang artinya: “Sungguh aku (Rasulullah) beristighfar memohon ampun kepada Alloh ‘azza wa jalla dan bertaubat kepada-Nya setiap hari sebanyak seratus kali” (HR. Nasa’i).

Itulah yang Rasulullah SAW lakukan setiap hari, padahal beliau adalah manusia yang ma’shum, terjaga dari kesalahan. Beliau juga sudah dijamin oleh Alloh tempat yang mulia (maqaman mahmuda) nanti di syurga. Lalu bagaimana dengan kita? Para manusia akhir zaman dengan segunung dosa dan salah yang menyamudera?

Untuk itu marilah kita senantiasa memperbanyak istighfar, dengan sepenuh penyesalan atas dosa yang kita lakukan, dan seutuh pengharapan kepada maghfirah Alloh Ta’ala. Semoga kita termasuk dalam golongan manusia yang berbahagia kelak di yaumul hisab, lantaran banyak beristighfar, sebagaimana sabda Rasululloh SAW:

طوبى لمن وجد في صحيفته استغفاراً كثيراً

Yang artinya: “Berbahagialah mereka yang mendapati lembaran-lembaran amalnya dipenuhi dengan istighfar yang banyak.” (HR. Ibnu Majah, Nasa’i dan Thabrani.)


(Artikel ditulis untuk Buku Kumpulan Khutbah Pilihan IKADI Surakarta - Penerbit Tiga Serangkai)

0 komentar: