“Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: sujudlah
kalian kepada Adam! Maka bersujudlah mereka kecuali Iblis, ia enggan dan
takabur, dan ia termasuk golongan yang kafir”. (QS. Al-Baqarah: 34)
Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Qashasul Anbiya’,
Nabi Adam ’alahis salam adalah utusan Alloh ta’ala yang diberi empat
kemuliaan khusus, yaitu: diciptakan oleh tangan Alloh sendiri, ditiupkan
kepadanya ruh ciptaan-Nya, diajarkan kepadanya al-asmaa’ (nama-nama
benda), dan diperintahkan kepada para Malaikat untuk sujud kepadanya.
Dalam terminologi ‘aqidah, sujud ada dua macam. Yang pertama
adalah sajdah ‘ibadah, sujud dalam rangka ibadah, yang hanya boleh
diperuntukkan kepada Alloh ta’ala. Yang kedua adalah sajdah tahiyyah,
yaitu sujud penghormatan, yang merupakan syari’at umat terdahulu dan sudah
dihapuskan. Perintah sujud kepada Nabi Adam adalah sujud penghormatan.
Ketika itu, Malaikat yang diperintahkan sujud kepada Nabi Adam ’alahis
salam langsung taat dan menunaikannya. Malaikat yang diciptakan dari nuur
(cahaya), sama sekali tidak ragu untuk sujud dan menghormat kepada Adam
yang tercipta dari tanah. Makhluk mulia yang digambarkan tak pernah membangkang
dan selalu melaksanakan apa yang diperintahkan itu, mau bersujud kepada manusia
yang sering khilaf dan salah.
Ini adalah teladan ketaatan yang luar biasa. Dalam ranah perjuangan
dakwah, ketaatan kepada qiyadah adalah rukun yang utama. Selagi tidak
bertentangan dengan hukum Alloh, at-tho’ah adalah kewajiban yang tidak
bisa ditawar. Sebagaimana sabda Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam
yang diriwayatkan oleh ‘Irbadh bin Sariyah, “Aku wasiatkan kepada kalian
untuk bertaqwa kepada Alloh dan mendengar juga taat (kepada pemimpin) meskipun
ia seorang budak hitam dari habsyi”. (HR. Imam Ahmad)
Memang, selalu terbuka celah untuk bertanya, menyampaikan argumentasi, atau mengajukan persepsi lain kepada pimpinan. Namun terkadang untuk rasionalisasi
perintah, butuh waktu dan teknis yang tidak mudah. Atau alasan itu tidak bisa disampaikan karena masalah etika dan keamanan. Saat seperti ini, ketaatan
harus didahulukan. Sambil membangun husnudhon bahwa ada hikmah dan pertimbangan tertentu di balik semua itu. Seperti yang dicontohkan para
Malaikat.
Bukan seperti Iblis, yang enggan melaksanakan perintah Alloh ta’ala
untuk bersujud. Bahkan ia takabbur dan membandingkan dirinya dengan
Adam. Sebagaimana tercatat dalam Al-Qur’an, “Apakah yang menghalangimu untuk
bersujud (kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu? Iblis menjawab: aku lebih baik
dari padanya, Engkau ciptakan aku dari api, sedang ia Engkau ciptakan dari
tanah” (QS. Al-A’raf: 34).
Padahal, argumen qiyas yang diajukan Iblis tak sepenuhnya
benar. Justru tanah yang lebih baik dan lebih bermanfaat. Sebab pada tanah
terkandung sifat-sifat keseimbangan, kesantunan, kelembutan dan pertumbuhan.
Sedangkan api terkandung padanya sifat-sifat liar, ringan dan cepat membakar.
Meskipun sebenarnya masalah utama bukan tentang siapa yang lebih
baik. Semua bisa saja diperdebatkan dan Allah Maha Tahu mana yang benar. Tapi problem
utamanya adalah pembangkangan terhadap perintah. Yang diperparah dengan sikap
sombong dan merasa lebih dari yang lain.
Sebagai hukuman atas kedurhakaannya, akhirnya Iblis diusir dari
surga dalam keadaan terlaknat. Alloh ta’ala berfirman, "Maka
keluarlah kamu dari surga, sesungguhnya kamu adalah makhluk yang terkutuk.
Sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan". (QS.
Shaad: 77-78).
Tapi sayang hukuman tersebut tidak membuatnya sadar dan bertobat. Pembangkangan
dan kesombongannya malah berlanjut pada dendam dan permusuhan. Ia meminta
diberi tangguh hingga hari kiamat dan selama itu ia bertekad menyesatkan Adam
dan keturunannya, "Demi
kekuasaanMu, aku akan menyesatkan mereka semuanya!” (QS. Shaad: 82).
Inilah contoh lapis-lapis kedurhakaan yang harus dijauhi. Padahal dulunya
Iblis adalah hamba yang taat dan setia, hingga berhak tinggal di surga. Berawal
dari mendebat perintah, lalu merasa lebih dan sombong, kemudian membangkang,
yang berlanjut pada penyesatan dan permusuhan abadi. Hingga tidak ada lagi
baginya jalan untuk kembali.
Kalau dipikir-pikir, apa susahnya bagi Iblis untuk sekedar
bersujud? Bukan kah itu sangat mudah jika dibandingkan dengan konsekuensi
terusir dari surga dan bakal kekal di neraka? Itulah hakikat perintah. Sering
kali ia hanya sebuah ujian dan cobaan. Yang bukan hanya menguji ketaatan, namun
sebagai tolok ukur seberapa kokoh ketawadhu’an, keikhlasan, dan kesejatian
dalam pengabdian.
:: Artikel ini ditulis untuk perintisan buku Jejak Dakwah Para Nabi
0 komentar:
Posting Komentar