Lelaki hebat itu bernama
lengkap ‘Utsman bin ‘Affan bin Abil ‘Aash Al-Umawi Al-Qurashi. Ia dijuluki Dzun
Nurain (pemilik dua cahaya), karena Rasulullah ‘alaihis sholatu
wassalam menikahkannya dengan kedua putrinya. Yang pertama dengan Ruqayyah radhiyallahu
‘anha. Setelah Ruqayyah wafat, ia dinikahkan lagi dengan Ummu Kultsum radhiyallahu
‘anha.
Sahabat yang termasuk dalam assabiqun
al-awwalun itu, adalah saudagar kain yang kaya dan dermawan. Sebagai
contoh, ia pernah membeli sumur yang harganya setara dengan emas 2,5 kg, lalu
diwakafkan untuk umat Islam Madinah. Pada perang Tabuk, ia mendermakan 1000
ekor unta dan 70 ekor kuda, ditambah 1000 dirham. Saat musim paceklik di zaman Khalifah
Abu Bakar, ia mendonasikan gandum yang diangkut dengan 1000 unta.
Meski demikian, ‘Utsman terkenal
sebagai sahabat yang low profile, rendah diri, bahkan pemalu. Saking
pemalunya, Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam sendiri juga malu dan
segan dengannya. ‘Aisyah pernah bertanya kepada
Rasulullah, “Ketika Abu Bakar masuk, engkau biasa saja dan tidak memberi
perhatian khusus. Lalu ‘Umar masuk, engkau pun biasa saja dan tidak memberi
perhatian khusus. Akan tetapi ketika ‘Utsman masuk engkau langsung duduk dan
membetulkan pakaian, mengapa?" Rasullullah menjawab, “Apakah aku tidak
malu terhadap orang yang malaikat saja malu kepadanya?” (HR. Imam Muslim).
Ia pun
termasuk salah satu dari al-mubassyarin bil jannah, para sahabat yang
dijamin masuk surga. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bazzar, bahwa Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam bersabda,
“Wahai ‘Utsman, sesungguhnya setiap Nabi memiliki teman, dan engkau adalah
temanku di surga”. Juga yang diceritakan oleh Abu Musa Al-Asy’ari, bahwa
suatu hari ‘Utsman mengetuk pintu Rasulullah, maka beliau bersabda, “Bukakan
untuknya, dan berilah ia kabar gembira dengan surga atas cobaan yang
menimpanya” (HR. Imam Bukhori).
Selain dari itu semua,
‘Utsman adalah teladan utama dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Sepenuh hidupnya
seperti sudah diwakafkan untuk Al-Qur’an. Saat Rasulullah ‘alaihis sholatu
wassalam masih hidup, ia termasuk jajaran huffadzh dan penulis
wahyu. Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan, dahulu Rasulullah suka bersandaran
di rumahnya, sedangkan ‘Utsman duduk di depan beliau. Lalu datang Jibril ‘alaihis
salam membawa wahyu, hingga Rasulullah bersabda, “Tulislah wahai
‘Utsman”.
Hidup ‘Utsman radhiyallahu
‘anhu tak pernah lepas dari Al-Qur’an. Itu tercermin dari kata-kata
terkenalnya, “Sungguh aku sangat benci jika datang suatu hari dan aku tidak
melihat mushaf sama sekali”. Ia juga pernah berkata, “Dijadikan
kecintaanku ada pada tiga hal: memberi makan orang yang kelaparan, memberi
pakaian orang yang membutuhkan, dan membaca Al-Qur’an”.
Di antara kata-kata emasnya
yang lain adalah, “Ada empat hal yang dhohirnya adalah keutamaan namun di
dalamnya ada kewajiban: bergaul dengan orang sholeh adalah keutamaan, namun
meneladani mereka adalah kewajiban. Membaca Al-Qur’an adalah keutamaan, namun
mengamalkannya adalah kewajiban. Ziarah kubur adalah keutamaan, namun bersiap
untuk mati adalah kewajiban. Menengok orang sakit adalah keutamaan, namun
mengambil hikmah darinya adalah kewajiban”.
Imam Nawawi menyebutkan
dalam At-Tibyan, bahwa ‘Utsman termasuk sahabat yang biasa khatam
Al-Qur’an dalam sehari semalam. Bahkan ‘Utsman pernah mengkhatamkan Al-Qur’an
dalam satu roka’at sholat. Hasan Al-Bashri juga meriwayatkan, saking rajinnya
membaca Al-Qur’an, saat ‘Utsman meninggal dunia, mushaf kesayangannya sangat lusuh
dan hampir berhamburan.
‘Utsman mengingatkan kita, bahwa
tilawah Al-Qur’an bisa menjadi tolok ukur kebersihan hati dan jiwa.
Semakin bersih hati seseorang, semakin betah ia berlama-lama membaca Al-Qur’an.
Sebaliknya, jika ia tak pernah tahan lama saat membacanya, dipertanyakan
kesucian hatinya. ‘Utsman pernah mengatakan, “Andai hati kita suci, maka kita
tak akan pernah kenyang membaca firman Rabb kita”.
Sahabat yang masuk Islam
lantaran dakwah Abu Bakar As-Shiddiq itu, juga menekankan akan pentingnya
pemahaman dan pengamalan dari apa yang dibaca. Abu Abdirrahman As-Sullami mengisahkan,
“Dahulu ‘Utsman tidak pernah melewati sepuluh ayat dari Al-Qur’an, kecuali ia
telah menghafalnya, memahaminya dan mengamalkannya. Maka ia belajar ilmu dan
amal bersamaan”.
Tidak berhenti sampai
disitu, ‘Utsman juga sangat giat mengajarkan Al-Qur’an kepada orang lain. Tercatat
beberapa qurra’ terkenal adalah hasil didikan ‘Utsman, seperti Mughirah
bin Abi Syihab, Abul Aswad, Abu Abdirrahman As-Sullami, dan Zirr bin Hubaisy. Ia
lah perawi utama hadits yang sangat terkenal di kalangan Ahlul Qur’an: “Sebaik-baik
orang di antara kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya” (HR.
Imam Bukhori).
Kemudian ketika ‘Utsman
mendapatkan amanah menjadi Khalifah yang ketiga menggantikan ‘Umar bin Khattab,
tugas-tugas kenegaraan sama sekali tidak menjauhkannya dari Al-Qur’an. Justru
‘Utsman menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk lebih maksimal berkhidmat
untuk Al-Qur’an. Tercatat dalam sejarah, di masa Khalifah ‘Utsman lah proyek
besar pembukuan Al-Qur’an tuntas dilaksanakan.
Saat itu wilayah kaum
Muslimin semakin luas, hingga sampai ke Syiria, Khurasan, Persia dan Afrika
Utara. Jumlah orang-orang yang masuk Islam pun semakin banyak. Sedangkan
perselisihan tentang bacaan Al-Qur’an sudah mulai bermunculan. Bahkan di pusat
kekhilafahan sendiri, banyak yang saling mengkafirkan karena kesalahan dan
perbedaan bacaan.
Sebagaimana diriwayatkan
oleh Abu Qilabah, ‘Utsman pun berdiri dan bekhutbah kepada mereka, “Kalian saja
yang disini banyak salah bacaan dan saling berselisih, tentu mereka yang berada
di negeri-negeri yang jauh dari kita lebih dahsyat salah dan perselisihannya.
Berkumpullah wahai para Sahabat Muhammad, dan bukukan untuk manusia sebuah
mushaf sebagai rujukan!”.
Kemudian ‘Utsman mengutus
seseorang untuk mengambil lembaran-lembaran Al-Qur’an yang berada di rumah
Hafshah, istri Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam. Lalu ia perintahkan
kepada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘Ash, dan Abdurrahman
bin Harits, untuk menyusun dan menyalin mushaf, serta mengirimkannya ke
berbagai wilayah Islam sebagai patokan.
Kedekatan ‘Utsman dengan
Al-Qur’an terus belanjut hingga usianya yang senja. Saat Ahlul Fitnah mengepung
rumahnya selama 40 hari, usia ‘Utsman sudah 88 tahun. Sebagai upaya
perlindungan, rumahnya dijaga ketat oleh Zubair bin ‘Awwam, Muhammad bin
Thalhah, dan Ali bin Abi Thalib beserta kedua putranya. Walau sebenarnya
pengepungan itu tidak berpengaruh apa-apa bagi ‘Utsman, selain ia tambah dekat
dengan Al-Qur’an.
‘Utsman terus membaca
Al-Qur’an sampai waktu sahur. Lalu ia berpuasa dan tertidur. Setelah terbangun
ia berkata kepada istrinya, “Aku akan terbunuh malam ini”. Sang istri pun
menyanggah, “Tidak wahai Amirul Mukminin, mereka tidak akan melakukannya!”.
‘Utsman pun berkata, “Aku tadi mimpi bertemu Rasulullah, Abu Bakar dan ‘Umar.
Mereka berkata: engkau akan berbuka bersama kami malam ini”.
:: Artikel ini ditulis untuk kolom Jejak Salaf Bersama Al-Qur'an di www.ibnu-abbas.com
0 komentar:
Posting Komentar