Al insaanu ibnu bii’atihi, manusia adalah anak dari lingkungan yang melingkarinya. Karakter, perilaku, hobi, dan gaya hidup seseorang akan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang menaunginya. Dan lingkungan sosial pertama kali yang akan dirasakan setiap manusia adalah keluarga, yang merupakan sekolah pertama (al-madrosah al-uulaa). Dari keluargalah kebiasaan-kebiaaan positif dapat diserap dengan sangat efektif oleh segenap anggotanya.
Di
antara yang harus dihadirkan dalam lingkungan keluarga adalah nuansa
ilmiah dan cinta ilmu. Rasululullah Muhammad SAW, sebagai teladan ideal
bagi para pemimpin keluarga, dalam berbagai fragmen kehidupannya
terlihat berusaha keras mewujudkan tradisi keilmuan dalam rumah tangga.
Hal
itu karena Rasulullah SAW menyadari sepenuhnya, bahwa dasar atau titik
tolak segala kebaikan dan kebahagian hidup manusia adalah ilmu. Sehingga
wahyu yang pertama kali turun kepadanya adalah perintah untuk berilmu
dengan membaca, “Bacalah dengan nama Rabbmu yang telah menciptakan” (QS.
Al-‘Alaq: 1).
Suatu
hari Fatimah RA, putri tercinta Rasulullah SAW, mengadu dan mengeluh
kepada sang ayahanda karena tiap hari harus menumbuk gandum yang membuat
tangannya menjadi kasar. Alih-alih memberi harta atau mencarikan
seorang pembantu untuknya, Rasulullah SAW malah menggunakan kesempatan
itu untuk mentransfer ilmu yang baru saja beliau dapatkan dari Malaikat
Jibril AS, dengan mengajarkan kepada Fathimah beberapa dzikir sebelum
tidur yang jauh lebih baik dari apa yang ia minta.
Begitu
juga dalam kehidupan suami-istri, Rasulullah SAW selalu menyisipkan
muatan ilmu dalam dialog dan interaksi sehari-sehari. Seperti Aisyah
Binti Abi Bakr RA, yang tidak hanya sekedar menjadi zaujah bagi
Rasulullah SAW, tetapi juga sebagai murid utama dan tersetia. Rasulullah
SAW sangat giat mengajarinya berbagai disiplin ilmu seperti akhlak,
aqidah, fiqih, faraidh, dan tafsir.
Hingga
Aisyah pun menjadi sosok perempuan Islam yang paling faqih, yang
menjadi rujukan keilmuwan para sahabat pada waktu itu, sebagaimana yang
dikatakan oleh Atho’ Bin Abi Rabbah RA, “Aisyah adalah manusia yang
paling paham dengan agama, paling berilmu dan paling baik pendapatnya”.
Aisyah
juga menjadi sumber utama periwayatan hadits, tercatat sebanyak 2210
hadits telah diriwayatkan oleh para sahabat dari Aisyah. Hingga Abu Musa
Al-Asy’ari RA mengatakan, “Tidaklah kami mendapatkan suatu masalah
tentang hadits, lalu kami datang dan bertanya kepada Aisyah, kecuali
pasti kami mendapatkan jawabannya”.
Takdirnya
sebagai perempuan, tak menghalanginya berkiprah dalam kancah ilmiah.
Hingga dari didikan Aisyah telah lahir para imam dan ulama terkemuka
dari kalangan Tabi’in seperti: ‘Urwah Bin Zubair, Masruq Bin Ajda’, dan
Qosim Bin Muhammad, yang menimba ilmu dari Aisyah di balik hijab di
Masjid Nabawi.
Contoh
yang lain adalah istri Rasululullah SAW yang bernama Shofiyah Binti
Huyai RA, yang merupakan wanita paling terhormat di kalangan Bani
Quraidhah dan Bani Nadhir. Bapaknya adalah Huyai Bin Akhtab, pemimpin
dan Ulama terkemuka Yahudi Madinah. Imam Tirmidzi meriwayatkan bahwa
suatu hari Shofiyah menangis tersedu-sedu karena Hafshah baru saja
memanggilnya dengan “Anak Yahudi”, yang sangat menyakiti hatinya.
Bukan
menghibur dengan gombalan kosong, tetapi Rasulullah SAW menjawab
Shofiyah dengan fakta ilmiah yang mampu meredakan kesedihannya, “Sungguh
Engkau adalah anak Nabi, dan pamanmu adalah Nabi, dan sekarang Engkau
menjadi istri Nabi, lalu apa yang membuat Hafshah mengejekmu?”. Dan
memang benar jika dirunut asal-usul nasabnya, Shofiyah merupakan anak
keturunan Nabi Harun AS yang merupakan saudara kandung Nabi Musa AS.
Kesungguhan
Rasulullah dalam menanamkan kecintaan kepada ilmu sejak usia dini juga
terbukti dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakroh dan Abdullah
Buraidah, bahwasanya suatu hari Rasululullah SAW pernah berkhutbah di
mimbar, menyampaikan ilmu di hadapan para sahabat, sambil membawa Hasan
dan Husein RA yang masih belia di sisinya.
Bahkan
ternyata bukan hanya para putri, istri, dan cucu saja yang merasakan
manisnya ilmu dalam rumah Rasulullah SAW, pembantu beliau yang bernama
Anas Bin Malik juga kecipratan nikmat itu. Karena Sang Teladan bukan
hanya menghormatinya dan tidak pernah mencela hasil kerjanya sebagai
pembantu, tetapi juga dengan penuh kasih sayang mengajarinya berbagai
ilmu.
Bagaimana
dalam berbagai kesempatan seperti saat melakukan perjalanan, ketika
menemani ke pasar, ketika berperang, ketika berdua di dalam rumah,
bahkan ketika beberapa kali Rasulullah SAW menegurnya, Anas selalu
memperoleh pancaran ilmu yang begitu berharga. Seperti ketika Rasulullah
mengingatkannya untuk mengucap salam sebelum masuk rumah, “Wahai
anakku, jika Engkau memasuki rumah, ucapkanlah salam, maka itu akan
menjadi keberkahan untukmu dan untuk keluargamu” (HR. Tirmidzi).
Hingga
saking banyaknya hadits yang ia hafal dari Rasulullah SAW, di kemudian
hari Anas Bin Malik menjadi rujukan utama para perawi hadits. Ia pun
menempati urutan ketiga setelah Ibnu Umar dan Abu Hurairah dalam
periwayatan, dan tercatat sekitar 2282 hadits termaktub dalam musnadnya.
Begitulah
Rasulullah SAW, bersungguh-sungguh menghadirkan budaya ilmu dalam
kehidupan berkeluarga. Dengan begitu sabar dan telaten ia mengajari,
menjawab, berdialog dan berdiskusi dengan segenap istri dan
putri-putrinya. Berbagai macam masalah kehidupan diselesaikan dengan
sudut pandang keilmuan yang arif dan bijaksana.
Tentu
hal ini sangat berbeda dengan fenomena sebagian Ustadz, Murobbi, Da’i,
Guru, atau aktivis Dakwah, yang di masyarakat terkenal sebagai orang
berilmu, begitu fasih menjawab soalan dan pertanyaan umat, namun giliran
ditanya oleh istri atau anaknya terlihat malas dan ogah-ogahan, atau
bersikap cuek dan menjawab sekenanya. Bahkan tak jarang menganggapnya
sebagai angin lalu.
Padahal
bagi para pelaku dakwah, keluarga seharusnya menjadi objek dan target
utama sebelum yang lainnya. Sebagaimana saat awal menyebarkan Islam di
kota Mekkah, Rasulullah SAW diperintah Alloh Ta’ala untuk lebih
memperhatikan dan mengutamakan keluarganya, “Dan berilah peringatan
kepada keluargamu yang terdekat” (QS. As-Syu’araa: 214).
Semoga
kita mampu menjadi pemimpin keluarga ideal seperti Rasulullah SAW, yang
berhasil menghadirkan tradisi keilmuan dalam keluarga. Tentunya dengan
berbagai metode dan cara seperti: sabar berdiskusi suami-istri, telaten
berdialog penuh kehangatan dengan anak, mengajak mereka silaturrahmi
tokoh atau Ulama, agenda berbelanja buku bersama, dan serius
menghadirkan budaya membaca dalam keluarga. Wallahu a’lam bisshowab.
(Artikel ditulis untuk rubrik Rumah Tangga Nabi, Majalah Parenting Permata)
(Artikel ditulis untuk rubrik Rumah Tangga Nabi, Majalah Parenting Permata)
0 komentar:
Posting Komentar