Imam Al-Qurthubi menyebutkan sebuah cerita dari Ibnu Shabih, bahwasanya suatu hari ada seorang laki-laki mengadu kepada Hasan Al-Bashri tentang kegersangan atau kemarau panjang yang ia alami, maka Hasan Al-Bashri berkata kepadanya, “Beristighfarlah kepada Alloh!”. Lalu datang lagi orang lain mengadu kepadanya tentang kemiskinan, maka ia berkata kepadanya, “Beristighfarlah kepada Alloh!”.
Kemudian datang lagi orang lain memohon kepadanya, “Do'akanlah aku kepada Alloh, agar Ia memberiku anak!”, maka ia menjawab, “Beristighfarlah kepada Allah!”. Hingga ketika datang lagi yang lain mengadu kepadanya tentang kekeringan yang melanda kebunnya, Hasan Al-Bashri tetap menjawab dengan jawaban yang sama, “Beristighfarlah kepada Allah!”.
Maka Ibnu Shabih bertanya kepadanya, “Banyak orang yang mengadukan macam-macam (perkara) dan Anda memerintahkan mereka semua untuk beristighfar?. Lalu Hasan Al-Bashri menjawab, “Aku tidak mengatakan hal itu dari diriku sendiri. Tetapi sungguh Alloh telah berfirman dalam surat Nuh:
فقلت اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا * يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا * وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا
Yang artinya: "Mohonlah ampun kepada Rabb kalian, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai- sungai". (QS.Nuh : 10-12).
Kisah Imam Hasan Al-Bashri tersebut mengajarkan kepada kita bahwa kalimat istighfar yang kita ucapkan tidak hanya sebagai bukti lisan bahwa kita bertaubat kepada Alloh ta’ala. Istighfar juga bukan sekedar menjadi sebab diampuninya dosa kita, sebagaimana termaktub dalam hadis Qudsi, “Maka beristighfarlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni kalian”. Akan tetapi ternyata istighfar juga akan membuahkan berbagai karunia dan kenikmatan. Beristighfar dengan penuh kesadaran dan keinsyafan, akan mengundang rizki dari Alloh berupa: hujan, harta, anak keturunan, perniagaan dan perkebunan.
Ada sebuah pertanyaan, apa hubungan anugerah rizki dengan istighfar yang kita lakukan? Bagaimanakah logika dan hikmahnya? Jawabnya adalah Hadits Rasulullah SAW: “Sesungguhnya seorang hamba pasti akan terhalang dari rizki disebabkan oleh dosa yang telah ia perbuat” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Hakim).
Jadi jika kita bermaksiat dan berbuat dosa, bukan saja ancaman siksa neraka yang kita dapatkan, tetapi kita juga akan terhalang dari karunia rizki dari Alloh di dunia. Atau menurut Ibnu Rajab, dosa kita akan mengurangi anugerah rizki dan keberkahannya. Dan salah satu cara untuk melancarkan kembali rizki kita adalah dengan memperbanyak istighfar, hingga Alloh Ta’ala berkenan menghapus dosa kita, sang penghalang nikmat dan karunia.
Terkait dengan kedahsyatan istighfar, Rasulullah SAW juga bersabda:
مَنْ أَكْثرَ الْاِسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجَا، وَمِنْ كُلِّ ضِيْقٍ مَخْرَجَا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْث لاَ يَحْتَسِبُ
Yang artinya: "Barangsiapa memperbanyak istighfar (mohon ampun kepada Alloh) niscaya Alloh menjadikan untuk setiap kesedihannya jalan keluar dan untuk setiap kesempitannya kelapangan dan Alloh akan memberinya rizki (yang halal) dari arah yang tidak disangka-sangka". (HR.Ahmad, Abu Daud, An-Nasa'i, Ibnu Majah dan Hakim).
Istighfar yang kita lantunkan dengan penuh penghayatan dan perasaan bersalah juga akan mampu menahan datangnya azab dan bala bencana. Hal ini ditegaskan oleh Alloh Ta’ala dalam surat Al-Anfal, yang artinya: “Dan Alloh sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. dan tidaklah (pula) Alloh akan mengazab mereka, sedang mereka beristighfar (meminta ampun).” (QS. Al-Anfal: 33).
Telah banyak kisah dan pengalaman tentang orang yang banyak beristighfar, dan ternyata istighfarnya membuat Alloh Ta’ala berkenan mengabulkan setiap doa dan harapan yang ia miliki. Seperti dikisahkan dalam kitab Shifatus Shafwah karangan Ibnul Jauzi, bahwa suatu hari Imam Ahmad Bin Hanbal melakukan perjalanan jauh dan kemalaman, hingga sempat kebingungan untuk mencari tempat bermalam. Kemudian ia meminta izin kepada pengurus masjid setempat untuk menmperbolehkannya istirahat di masjid barang satu malam.
Sayang sekali, kendati ketenaran Imam Ahmad sudah sampai di seluruh pelosok neg eri, dan di wilayah tersebut sudah banyak ajaran dan pengikut mazhabnya namun tak banyak orang yang tahu bagaimana sosok dan rupa sang Imam, karena keterbatasan informasi dan teknologi.
Karena itulah, pengurus masjid tak memperbolehkannya menginap di masjid setempat. Sang Imam besar pun sempat luntang-lantung malam itu, hingga akhirnya seorang pengusaha roti bersedia menerima ia di rumahnya.
Ketika sampai di rumah si tukang roti, Imam Ahmad terus memperhatikan amalan yang diwiridkan terus oleh sang tuan rumah. Menurutnya, amalan tersebut sederhana namun istimewa. Sang tuan rumah senantiasa beristighfar dalam setiap aktivitas yang ia lakukan. Lidahnya selalu saja basah dengan zikir dan meminta ampunan Alloh.
"Wahai Tuan, apa fadhilah yang Tuan dapatkan dari amalan selalu beristighfar tersebut?" tanya Imam Ahmad penasaran. Tuan rumah pun tersenyum dan menjawab, "Fadhilahnya, setiap doa yang saya panjatkan kepada Alloh, pasti selalu dikabulkan-Nya," jawab si tuan rumah. Imam Ahmad sangat salut kepadanya.
"Tapi, ada satu doa saya yang hingga saat ini belum dikabulkan Alloh," sambung sang tuan rumah. Imam Ahmad pun kembali penasaran. "Doa apakah itu, Tuan?" tanyanya. "Dari dahulu, saya berdoa kepada Alloh agar saya dipertemukan dengan Imam mazhab saya, yakni Imam Ahmad bin Hanbal. Namun hingga saat ini, saya belum juga dipertemukan dengannya," kata tuan rumah.
Mendengar hal itu, Imam Ahmad terkaget. Inilah rupanya yang memaksanya luntang-lantung tengah malam. Ini juga alasannya, mengapa Imam Ahmad diusir dari masjid dan dipaksa berjalan tengah malam hingga akhirnya dipertemukan dengan si tukang roti itu. Semuanya sama sekali bukan suatu kebetulan, melainkan skenario Alloh SWT untuk menjawab doa si tukang roti.
Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah SAW selalu beristighfar setiap hari minimal seratus kali, beliau bersabda:
إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ كُلَّ يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ
Yang artinya: “Sungguh aku (Rasulullah) beristighfar memohon ampun kepada Alloh ‘azza wa jalla dan bertaubat kepada-Nya setiap hari sebanyak seratus kali” (HR. Nasa’i).
Itulah yang Rasulullah SAW lakukan setiap hari, padahal beliau adalah manusia yang ma’shum, terjaga dari kesalahan. Beliau juga sudah dijamin oleh Alloh tempat yang mulia (maqaman mahmuda) nanti di syurga. Lalu bagaimana dengan kita? Para manusia akhir zaman dengan segunung dosa dan salah yang menyamudera?
Untuk itu marilah kita senantiasa memperbanyak istighfar, dengan sepenuh penyesalan atas dosa yang kita lakukan, dan seutuh pengharapan kepada maghfirah Alloh Ta’ala. Semoga kita termasuk dalam golongan manusia yang berbahagia kelak di yaumul hisab, lantaran banyak beristighfar, sebagaimana sabda Rasululloh SAW:
طوبى لمن وجد في صحيفته استغفاراً كثيراً
Yang artinya: “Berbahagialah mereka yang mendapati lembaran-lembaran amalnya dipenuhi dengan istighfar yang banyak.” (HR. Ibnu Majah, Nasa’i dan Thabrani.)
(Artikel ditulis untuk Buku Kumpulan Khutbah Pilihan IKADI Surakarta - Penerbit Tiga Serangkai)
Selasa, 30 Desember 2014
DAHSYATNYA ISTIGHFAR
Kamis, 18 Desember 2014
JALAN SYURGA ITU BERNAMA TAUBAT
Dari Abu Said Al-Khudri RA suatu hari Nabi Muhammad SAW bercerita, bahwa di antara umat terdahulu terdapat seorang lelaki yang telah membunuh sembilan puluh sembilan orang. Lalu ia bertanya kepada orang-orang tentang penduduk bumi yang paling berilmu, kemudian ia ditunjukkan kepada seorang pendeta.
Ia pun mendatangi pendeta tersebut dan menjelaskan bahwa dia telah membunuh sembilan puluh sembilan orang, apakah taubatnya akan diterima? Pendeta itu menjawab: “Tidak!”. Lalu dibunuhnya pendeta itu, hingga lengkaplah seratus pembunuhan telah ia lakukan.
Kemudian dia bertanya lagi tentang penduduk bumi yang paling berilmu, ia pun ditunjukkan kepada seorang ‘Alim, yang segera dikatakan kepadanya bahwa ia telah membunuh seratus jiwa, apakah taubatnya akan diterima? Orang ‘Alim itu menjawab: “Ya, dan siapakah yang dapat menghalangi taubat seseorang! Pergilah ke sebuah negeri, karena di sana terdapat kaum yang selalu beribadah kepada Alloh, lalu sembahlah Alloh bersama mereka dan jangan kembali ke negerimu, karena negerimu itu negeri yang penuh dengan kejahatan!”.
Lelaki itu pun segera berangkat menuju negeri tersebut. Sampai ketika ia telah mencapai setengah perjalanan, datanglah maut menjemputnya. Lalu berselisihlah Malaikat rahmat dan Malaikat azab mengenai statusnya. Malaikat rahmat berkata: “Dia datang dalam keadaan bertaubat dan menghadap sepenuh hati kepada Alloh”. Malaikat azab juga berkata: “Dia belum pernah melakukan satu pun perbuatan baik!”.
Lalu datanglah seorang Malaikat yang menjelma sebagai manusia menghampiri mereka, yang segera mereka angkat sebagai penengah. Ia pun berkata: “Ukurlah jarak antara dua negeri itu, ke negeri mana ia lebih dekat, maka ia menjadi miliknya”. Lalu mereka pun mengukurnya dan ternyata lelaki itu lebih dekat ke negeri yang akan dituju, sehingga diambillah ia oleh Malaikat rahmat (Shahih Muslim No.49).
Seperti lelaki dalam kisah tersebut tadi, setiap kita pasti pernah melakukan kesalahan. Dosa dan khilaf kita begitu menggunung tinggi dan tak terhitung jumlahnya. Hampir setiap hari, setiap jam, menit, bahkan detik, kita berdosa dan bersalah. Baik itu kesalahan kepada Alloh Ta’ala, atau pun kesalahan kepada sesama manusia.
Betapa kita sadari, hati kita sering berburuk sangka, iri, dengki, dendam, riya’, sum’ah dan banyak lagi dosa hati yang lain. Mata kita sering lalai, terlelap dari kewajiban sholat lima waktu dan melihat hal-hal yang diharamkan oleh Alloh. Lisan kita juga begitu sering mengucap dusta dan perkataan yang menyakitkan orang lain. Telinga kita pun tak jarang mendengarkan hal-hal yang dibenci oleh Alloh Ta’ala. Bahkan tangan kita, kaki kita, dan anggota tubuh yang lain, terus-menerus berbuat maksiat dan kerusakan.
Karena itulah dalam hadits riwayat Imam Ad-Darami disebutkan, semua anak Adam adalah pembuat kesalahan, dan kenapa manusia itu dinamakan Insan? Jawabnya adalah: likatsroti nisyaanihi, karena banyaknya lupa dan khilaf yang ia lakukan.
Namun demikian, sebagai bentuk rahmat dan sayang Alloh SWT kepada manusia, Ia telah memberikan kita jalan keluar. Alloh menganugerahkan kepada kita jalan tembus dari jurang dan kubangan dosa, menuju ampunan dan syurga-Nya. Jalan itu adalah Taubat, yang berarti berhenti melakukan kemaksiatan dan kembali menuju ketaatan, hingga Alloh mengampuninya dan menghapusnya dari catatan dosa.
Dalam Al-Qur’an dan Hadits, banyak sekali kita dapatkan penegasan dari Alloh betapa Ia Maha Penerima Taubat dan Maha Pengampun. Misalnya dalam surat Az-Zumar:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Yang artinya: “Katakanlah: Wahai para hamba-Ku yang melampaui batas terhadap dirinya sendirinya, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Alloh. Sesungguhnya Alloh Mengampuni semua dosa dan Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53).
Betapa banyak orang yang berbuat dosa-dosa besar, kemudian menyesal dan bertaubat, maka Alloh menerima taubat mereka. Alloh Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا * يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا* إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا*
Yang artinya: “Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Alloh dengan sesembahan lainnya dan tidak membunuh jiwa yang Alloh haramkan kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina dan barangsiapa yang melakukan demikian itu niscaya dia mendapat hukuman yang berat. (Yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat dan beriman dan mengerjakan kebajikan maka kejahatan mereka diganti Alloh dengan kebaikan. Alloh Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqan : 68-70).
Alloh juga menegaskan bahwa taubat seorang hamba adalah amalan yang sangat dicintai-Nya, sebagaimana termaktub dalam surat Al-Baqarah:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Yang arinya: “Sesungguhnya Alloh mencintai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Rasulullah Muhammad SAW juga telah menjelaskan kepada kita, “Sesungguhnya Alloh Ta’ala membentangkan tangan-Nya di malam hari untuk menerima taubat hamba yang berdosa di siag hari. Dan Alloh Ta’ala membentangkan tagan-Nya di siang hari untuk menerima taubat hamba yang berdosa di malam hari, sampai matahari terbit dari barat.” (HR. Muslim).
Diriwayatkan bahwa seorang Ulama Salaf berkata, “Sesungguhnya seorang hamba bisa jadi berbuat suatu dosa, tetapi dosa tersebut menyebabkannya masuk surga.” Orang-orang bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Dia menjawab, “Dia berbuat suatu dosa, lalu dosa itu senantiasa terpampang di hadapannya. Dia khawatir, takut, menangis, menyesal dan merasa malu kepada Rabbnya, menundukkan kepala di hadapan-Nya dengan hati yang khusyu’. Maka dosa tersebut menjadi sebab kebahagiaan dan keberuntungan orang itu, sehingga dosa tersebut lebih bermanfaat baginya daripada ketaatan yang banyak.”
Taubat yang tingkatannya paling tinggi di hadapan Alloh adalah Taubat Nasuha, yaitu taubat yang murni, tulus dan serius. Sebagaimana dijelaskan dalam surat At-Tahrim ayat 66, yang artinya "Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Alloh dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam sorga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai".
Jika kita ingin taubat yang nasuha, tidak bisa terlepas dari beberapa syarat: pertama, ikhlas karena Alloh Ta'ala. Yaitu berniat semata-mata mengharap ridho Alloh dan pahala atas taubatnya, serta berharap selamat dari siksaan-Nya.
Kedua, menyesali kemaksiatan yang ia lakukan dan merasa sedih atas dosa yang telah ia perbuat. Taubat tidaklah berarti tanpa didahului oleh penyesalan terhadap dosa yang dikerjakan. Barang siapa yang tidak menyesal atas perbuatan dosa, itu menunjukkan bahwa ia senang dengan perbuatan tersebut dan menjadi indikasi bahwa ia akan terus menerus melakukannya.
Ketiga, menjauhkan diri dari perbuatan maksiat sesegera mungkin dan bertekad untuk tidak mengulanginya di waktu mendatang. Bahkan ada sebagian Ulama yang menjadikannya syarat mutlak, sehingga kapan saja seseorang mengulangi perbuatan dosanya, jelaslah bahwa taubatnya belum benar.
Keempat, hendaknya taubat dilakukan sebelum ditutupnya pintu taubat, yaitu sebelum ajal menjemput atau sebelum terbitnya matahari dari arah barat.
Kelima, jika dosa tersebut berkaitan dengan hak sesama manusia, maka ada satu hal lagi yang harus ia lakukan, yakni ia harus meminta maaf kepada saudaranya yang bersangkutan, seperti minta diikhlaskan, mengembalikan atau mengganti suatu barang yang telah ia rusakkan atau curi dan sebagainya.
Namun apabila dosa tersebut berkaitan dengan ghibah (menggunjing), qodzaf (menuduh telah berzina) atau yang semisalnya, yang apabila saudara kita tadi belum mengetahuinya (bahwa dia telah dighibah atau dituduh), maka cukuplah bagi orang telah melakukannya tersebut untuk bertaubat kepada Alloh, mengungkapkan kebaikan-kebaikan saudaranya tadi, serta senantiasa mendoakan kebaikan dan memintakan ampun untuk mereka.
Hal itu karena dikhawatirkan apabila orang tersebut diharuskan untuk berterus terang kepada saudaranya yang telah ia ghibah atau tuduh, justru dapat menimbulkan peselisihan dan perpecahan di antara keduanya.
Lalu disunnahakan juga saat kita bertaubat melaksanakan sholat dua roka’at, sebagai pemantaban atas taubat yang kita lakukan. Hal ini seperti sabda Rasulullah SAW:
مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ، ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللهَ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ
Yang artinya: “Tidaklah seorang hamba berbuat satu dosa, lalu ia bersuci dengan baik, lalu berdiri untuk shalat dua rakaat, kemudian memohon ampun kepada Alloh, melainkan Alloh akan mengampuni dosanya” (HR.Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).
Semoga kita termasuk hamba Alloh Ta’ala yang senantiasa bertaubat, hingga Alloh berkenan mengampuni segala dosa kita, sebelum ajal menjemput dan sebelum matahari terbit dari barat. Amin, ya Rabbal ‘aalamin…
(Artikel ditulis untuk Buku Kumpulan Khutbah Pilihan IKADI Surakarta - Penerbit Tiga Serangkai)
Rabu, 10 Desember 2014
الانحرافات الجنسية لدى الشباب وعلاجها من منظور اجتماعية التربية
Materi ini dipresentasikan di kelas Program Doktoral Tarbiyah Islamiyah, Universitas Islam Madinah, di bawah bimbingan Prof. Dr. Ali Ibrahim Az-Zahrany. Untuk mendapatkan materi dalam format Power Point silakan click http://www.slideshare.net/hakimuddinsalim/ss-55404734
Selasa, 09 Desember 2014
دور جامعة جالا بفطاني في تعليم الأقلية المسلمة في تايلاند
وكان هذا الترخيص من الأحلام التي تراد المسلمين في جنوب تايلند؛ كون التعليم الإسلامي في تايلند يعاني تقلصا وتقليصا، كما أنه يعاني من تأثير التعليم الرسمي التايلندي الذي يجعل من الثقافة البوذية محورا تعليميا استراتيجيا.
ولقد حاولت الحكومة التايلندية استقطاب رضا المسلمين عبر إنشاء كليات لمقارنة الأديان تتضمن مقررات دراسية عن الإسلام، لكن المسلمين عبروا عن استيائهم لهذا التقصير الحكومي بالإصرار على إرسال أبنائهم للدراسة في الخارج، وبخاصة في الجامعات الإسلامية، كالجامعة الإسلامية في المدينة المنورة، وجامعة الأزهر في مصر، وجامعة الخرطوم بالسودان، وجامعة اليرموك في الأردن، وغيرها من جامعات الدول العربية والإسلامية، ويقدر عدد الطلاب المغتربين لاستكمال التعليم الديني قرابة الخمسة آلاف طالب، معظمهم يدرس على نفقتهم الشخصية.
ولقد كان هذا الإيفاد للخارج هما يؤرق القيادات الدينية الإسلامية في تايلند، لمعرفتهم بضخامة النفقات الباهظة التي يبذلها أولياء الأمور في سبيل تعليم أبنائهم، فكانت هذه النواة التعليمية مشروعا تعليميا استراتيجيا يهدف إلى توفير الوقت والنفقات على المسلمين في تايلند لتعليم أبنائهم.
والجدير بالذكر أن فكرة هذه الجامعة قد اختمرت في عقول الكثير من الدعاة والعلماء في تايلند، ولم يتوفر لها الجهد والمال اللازم لتطبيقها، حتى جاء الأستاذ أحمد حسين الأزهري، وهو من قدماء خريجي الأزهر من الطلبة التايلنديين، والدكتور أحمد لطفي فطاني خريج جامعة محمد بن سعود بالرياض، فعقدا العزم على إخراج هذه الفكرة إلى حيز التطبيق، فأسسا المؤسسة الخيرية الإسلامية كخطوة قانونية لاستكمال إجراءات استصدار رخصة الجامعة.
ولقد تعمدت الكلية الإسلامية في جالا أن تستبق الأحداث، فقامت بشراء قطعة أرض في إحدى أحياء مدينة جالا في جنوب تايلند، وأنشأت بعض المباني التعليمية، وبدأت العمل في هذه الكلية بالفعل قبل حصولها على الرخصة الرسمية من الحكومة التايلندية.
ويعود الفضل الأكبر في استصدار الرخصة إلى الدكتور وان محمد نور متها، رئيس البرلمان التايلندي السابق، الذي كان صاحب نفوذ في الحزب الحاكم في حينها، والذي سعى في الحصول على هذه الرخصة، وجميع المسلمين يدركون إنه لولا جهود هذا الرجل - بعد فضل الله تعالى - لظلت الكلية الإسلامية في جالا مجرد حلم يراود العاملين فيها.
وقد واجهت الكلية الإسلامية صعوبات جمة من أجل الحصول على الرخصة التعليمية، كان من أهمها الشروط الهندسية والمعمارية والتعليمية التي وضعتها وزارة التعليم العالي للسماح بإنشاء الجامعات الأهلية، وكان من أهمها أن تكون الجامعة على مساحة مائة فدان على الأقل، وأن تتضمن خمس كليات، ولم تكن مباني الكلية حينئذ منشأة إلا على مساحة 43 فدانا فقط، مما اقتضى السعي للحصول على معونات وهبات لشراء قطعة أرض، وقد وفق القائمون على أمر هذه الكلية الوليدة بشراء قطعة أرض بمساحة أكثر من 200 فدان في إحدى ضواحي جالا جنوب تايلند، كما حصلوا على معونات من دولة قطر والمملكة العربية السعودية وبعض الدول العربية الأخرى لاستكمال بناء المنشآت اللازمة.
بيّن الدكتور لطفي أن للجامعة الآن ثلاث كليات وهي: كلية الدراسات الإسلامية وتضم أقسام الشريعة والدراسات الإسلامية وأصول الدين والدعوة وتنمية المجتمع والكتاب والسنة، وكلية الآداب والعلوم الاجتماعية، وتضم أقسام اللغة العربية واللغة الإنجليزية واللغة الملاوية وعلوم التأريخ والحضارة الإسلامية والإدارة العامة وإدارة الأعمال والاقتصاد المالي والمصارف الإسلامية، وكلية العلوم والتكنولوجيا، وتضم أقسام تكنولوجيا المعلومات والعلوم العامة وعلوم الزراعة وعلوم الأغذية وتكنولوجيا الأحياء والتمريض.
ويكون المنهج المقرر المرخص من قبل وزارة شئون الجامعات كالتالي:
-1 المتطلبات العامة 38 ساعة
-2 المتطلبات الخاصة 102 ساعة وتتضمن:
-متطلبات التخصص الإجبارية 87 ساعة.
- متطلبات التخصص الاختيارية 15 ساعة.
3- المتلطبات الاختيارية الحرة 5 ساعات.
وقد أعلنت الجامعة أن سياستها العامة تقوم على أساس عقيدة السلف الصالح التي تهدف إلى بناء الجيل المؤمن الرباني والعالم الداعية المبني على إخلاص العبادة لله وحده وتجريد المتابعة لرسوله صلى الله عليه وسلم، القادر على نباء الفرد والأسرة والمجتمع كما يقتضيه الكتاب والسنة بواسطة أحدث النظم التعليمية والتربوية المتوازنة المتواصلة الشاملة المتكاملة.
تمنح الجامعة درجة العالية (الليسانس) في الشريعة وأصول الدين وغيرهما في مختلف التخصصات. وتقبل الجامعة كل الطلبة الذين استكملوا الدراسة في المعاهد الدينية الثانوية المنتشرة في طول البلاد وعرضها، ولكنها تشترط استكمال التعليم الرسمي التايلندي حتى السنة الثالثة المتوسط لأنه شرط متضمن في قانون إنشاء الجامعات.
وعند تقديم الطالب نفسه الجامعة يجرى له اختبار دخول يتضمن امتحانا أساسيا في اللغة العربية لمعرفة مدى مقدرته على استيعات الدروس باللغة العربية، فإذا كانت لغته العربية تعاني ضعفا تعد له دورة تعليمية مكثفة في اللغة العربية لمدة سنة ثم يتأهل بعد ذلك للدراسة في أولى سنوات الكلية.
تتقاضى الكلية مصروفات رمزية إلى حد كبير، ومداخيل الكلية ما زال قائما على الإعانات الداخلية والخارجية، وما تحتاجه الكلية بالفعل أوقاف دائمة تدر دخلا ثابتا يوفر عليها الكثير من المصروفات التي تنفق على المسيرة التعليمية في هذه الجامعة المباركة إن شاء الله تعالى.
وعن الخطط المستقبلية للجامعة أوضح الدكتور جافاكيا أن الجامعة تتطلع لقبول ألف طالب و30 مدرساً وافداً من خارج تايلند وخاصة من الدول المجاورة، والتطلع لتطبيق نظام الجودة الشاملة بحكم أن الجودة جزء من التزام المسلم العقدي والعبادي وأن التعليم العالي يحتاج إلى توجيه الاهتمام إلى النوعية والجودة لما يتعرض له من إفرازات العولمة وهو مادفع الجامعة للأخذ بنظام الجودة العالمي وتبني معاييره وآلياته مشيراً إلى أن جامعة جالا تقع على عاتقها مسؤولية كبرى لتطبيق هذا النظام العالمي باعتبارها تقدم دراسات في العلوم الشرعية والإنسانية وتسعى إلى توجيه العلوم التطبيقية أكاديمياً في بيئة الأقلية المسلمة وأضاف الدكتور لطفي أن الجامعة ضمن خطتها الخمسية التي تنتهي في العام الدراسي 2010م ـ و في العام الدراسي 2008م فتحت برنامج الماجستير في أقسام الكتاب والسنة والمناهج وطرائق التدريس والعلوم السياسة وبدأ بمرحلة الدكتوراه لقسم الدراسات الإسلامية في العام الدراسي 2010م.
.1العناية بالقرآن الكريم حفظا وفهما وتطبيقا وتعليما.
2.استغلال الفترة الذهبية (الفترة الجامعية) من العمر بربط الشباب بالقرآن الكريم وتعاليم الإسلام.. 3. تربية الشاب تربية إيمانية شاملة.
.4 العناية بالنماذج النوعية المتفوقة من الشباب والارتقاء بهم.
.5 توفير الجو المناسب للتحصيل والتعلم.
والرسالة الاولي التي يعمل من أجلها مركز الشفيع هي اعداد نماذج قرآنية تحمل الصفات الاربعة (الحفظ – الفهم – التطبيق – التعليم) لذلك اعتمد المركز برامج رئيسية مثل الدورة الشرعية، وملتقى الحفاظ، واسبوع القرآن، والقافلة القرآنية، ومسابقة الفهم، والمخيم القرآني، مع منهج محدد للحلقة النموذجية يضم التفسير والايمان والعبادات والسيرة، مع مذكرة مرتكزات الفهم، هذا مع بعض الأنشطة المصاحبة من أجل تعميق المفاهيم القرآنية في نفوس طلاب الجامعة.
موقع النهار، تاريخ الدخول: 2/11/2014
موقع عكاظ، تاريخ الدخول: 2/11/2014
موقع الإسلام ويب، تاريخ الدخول: 2/11/2014
موقع تايلاند السياحية، تاريخ الدخول: 2/11/2014
موقع مذكرة الإسلام، تاريخ الدخول: 2/11/2014
موقع السكينة، تاريخ الدخول: 2/11/2014